Pendahuluan
Berdasarkan data provinsi Sulsel
2012, Kabupaten Maros memproduksi udang windu sebesar 1.472 ton. Terbesar ketiga setelah Kab.
Luwu Timur sebesar 4.329 ton dan Kab. Pinrang sebesar 2.931 ton. Udang windu
asal Maros kemudian dijual ke perusahaan udang di Makassar untuk diolah dan
diekspor ke luar negeri. Pada umumnya metode yang digunakan yaitu sistem tambak
tradisional. Tambak yang ditandai dengan luas petakan berkisar 0,5 – 3 hektar,
dengan satu atau dua pintu air setiap petak. Biasanya pemasukan dan pengeluaran
dari pintu air yang sama. Suplai air diperoleh secara gravitasi dan sepenuhnya
tergantung dari gerakan pasang surut. Dasar tambak berupa pelataran dan caren
di sekelilingnya dengan kedalaman 0,3 – 0,5 m. Pelataran merupakan tempat
makanan alami yang ditumbuhkan melalui persiapan tanah dasar dengan pemupukan.
Kedalaman air yang baik di atas 60 cm dari pelataran.
Menurut Utojo, 2011, luas
keseluruhan tambak di Maros yaitu 10.249,1 ha. Utojo melakukan analisis
kelayakan dan membaginya menjadi berkelayakan sedang (3.111,4 ha) dan rendah
(7.137, 7 ha), tersebar di Kecamatan Bontoa, Lau, Marusu, dan Maros Baru. Tambak
tersebut terletak di pesisir Kab. Maros yang meningkat landai hingga ke wilayah
pemukiman dan persawahan. Pertambakan Maros juga diuntungkan dengan adanya
sumber air yang berasal dari banyak sungai, seperti sungai Maros, Sungai
Pajukukang, Sungai Marana, Sungai Bawalangiri, Sungai Singkanipisi, Sungai
Borongkalukua, dan Sungai Kuri Lompo. Keberadaan sungai ini memungkinkan
budidaya udang pada lahan yang jauh dari pantai, dan biasanya merupakan alih
fungsi lahan sawah. Sedangkan, tambak yang dekat pantai biasanya merupakan
lahan hasil konversi mangrove.
Menurut Mustafa et al 2006), di kawasan pesisir Kab.
Maros terdapat peningkatan luas tambak dari 7.184,3 ha pada tahun 1991 menjadi
9.818,6 ha pada 2002 atau terjadi peningkatan luas tambak seluas 2.634,3 ha
selama 11 tahun atau 239,5 ha/tahun. Sebaliknya, terjadi penurunan luas sawah
yang ada di kawasan pesisir Kab. Maros dari 24.518 ha menjadi 23.418 ha atau
terjadi penurunan luas sawah seluas 1.099,6 ha.
Namun tambak-tambak tersebut belum
sepenuhnya dikelola sesuai dengan standar pengelolaan yang baik, baik itu
berdasarkan standar CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik), maupun berdasarkan BMP
Budidaya Udang Windu secara Tradisional, WWF - Indonesia. Hal tersebut
menyebabkan kurang optimalnya hasil yang diperoleh dan akan berpengaruh
terhadap stabilitas ekonomi masyarakat setempat. Kendala pengetahuan dan modal
menjadi faktor utama kurang optimalnya produksi udang.
CBIB adalah skema sertifikasi
yang dibangun oleh DKP pada 2004 dan dikenal sebagai Good Aquaculture Practices / Best Aquaculture Practices (GAP/BAP).
CBIB mengutamakan aspek keamanan pangan dan jaminan mutu pangan dalam proses
budidaya, seperti sanitasi, benih, pakan, obat ikan & bahan kimia-biologis.
Pada tahun 2011 CBIB mulai disesuaikan dengan standar ASEAN GAP dan standar
FAO.
BMP adalah panduan yang
dikeluarkan oleh WWF – Indonesia untuk membantu penerapan praktek perikanan
yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. BMP sesuai dengan standar Aquaculture Stewardship Council (ASC). Diharapkan,
dengan adanya survei GAP Assessment Based
BMP pada tiga sampel tambak di Maros dapat diperoleh gambaran besar kecilnya
kesenjangan antara standar pengelolaan tambak yang baik dan kenyataan
pengelolaan tambak yang dilakukan masyarakat Maros.
Metode
Melakukan wawancara dan observasi
tambak berdasarkan format isian Gap Assessment
Based BMP Udang Windu sistem tradisional. Pengelompakan isian dalam BMP,
terdiri atas; (1) aspek kepemilikan, lokasi, dan perizinan, (2) kelembagaan
pembudidaya, (3) teknis budidaya berupa konstruksi pematang, pengeringan,
pengapuran, pemupukan, pemasukan air, pengendalian hama, benur, pakan, kualitas
air, pengendalian penyakit, panen, pencatatan, dan keberlanjutan usaha.
Tambak yang dijadikan sampel
yaitu ada enam tambak ; (1) tambak milik Husain, Dusun Kokoa, Desa Marannu,
Kec. Lau, (2) tambak milik Dg. Salla, Desa Lengkese, Kec. Bontoa (3) Dg. Areng,
Desa Bahari, Kec. Bontoa.
Hasil dan Pembahasan
Kepemilikan, lokasi dan Perizinan
Tambak-tambak tersebut telah
memiliki surat resmi-sertfikat kepemilikan petak lahan dari otoritas yang
berwenang. Lahan tambak di Maros ada yang jauh dari pantai yang merupakan bekas
lahan sawah yaitu di Desa Kokoa, Kecamatan Lau dan ada yang dekat dengan pantai
yang merupakan hasil konversi mangrove, yaitu desa Lengkese serta Bonto Bahari
Kecamatan Bontoa.
Tambak sebaiknya terletak di
lokasi Rencana Tata Rulang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan pemerintah.
Namun, tambak desa Lengkese dan Desa Bonto Bahari Kecamatan Bontoa yang
termasuk dalam RTRW tersebut juga merupakan tambak konversi mangrove. Dimana
tutupan lahan mangrove di daerah tersebut sudah menipis atau hampir tidak ada.
Meski demikian, tambak konversi tersebut telah dibuka sebelum Mei 1999. Namun,
dikarenakan sudah berkurangnya tutupan lahan mangrove di lokasi tersebut,
sangat dibutuhkan dukungan pemerintah dan masyarakat untuk segera melakukan
konservasi mangrove pada kawasan tersebut, dengan penanaman kembali mangrove.
Saat ini belum ada klausa khusus
untuk tambak tradisional, dimana tambak konversi mangrove sebelum tahun 1999
harus melakukan penanaman mangrove minimal 50 persen ekosistem terdampak
(Ketentuan BEIA). Aturan lainnya menyebutkan bahwa tambak tradisional yang
berada di kawasan/area dilindungi tidak lebih dari 25 persen dari total area
dilindungi. Meski begitu, ketiga tambak yang diassessment tersebut tidak berada
di kawasan sabuk hijau.
Peluang untuk perbaikan ekosistem
pesisir dengan penanaman mangrove di sekitar lahan tambak cukup besar. Dengan
banyaknya hasil penelitian yang menunjukkan hasil positif keberadaan tumbuhan
mangrove bagi organisme, termasuk budidaya, seperti dengan jelas diuraikan oleh
Haroen, 2002, bahwa terdapat kegunaan mangrove bagi organisme, yaitu (1)
tingginya konsentrasi bahan organik yang merupakan bahan dasar dari jaringan
makanan pada ekosistem mangrove, (2) perairan mangrove yang keruh menyebabkan
menurunnya jangkauan penglihatan predator, sehingga memperluas daerah
pembesaran ikan dan meningkatkan tingkat hidup ikan-ikan muda, (3) struktur
keragaman, habitat yang sesuai serta niche
yang bertingkat merupakan hal yang paling penting di kawasan mangrove,
sehingga banyak ikan – ikan muda yang tersedia. Secara khusus bagi hewan yang
dipelihara, menurut Panduan Penanaman Mangrove di tambak, WWF – Indonesia,
keberadaan mangrove akan meningkatkan kualitas air yang masuk ke tambak
(biofilter) serta mengurangi atau menetralisir limbah buangan tambak,
menyediakan pakan alami bagi udang yang dipelihara, kestabilan pematang tambak
terjaga (jenis mangrove yang sesuai), sehingga struktur tanah pematang lebih
kuat dan padat, tutupan mangrove yang rindang dapat menjaga suhu tambak agar
selalu stabil untuk kenyamanan udang dan dapat mengurangi timbulnya pirit dalam
tambak.
Pesisir Kab. Maros memiliki jenis
tanah alluvial, jenis tanah yang cocok untuk mangrove. Dimana sepanjang pantai
ditumbuhi mangrove jenis Avicennia sp
(dominan), menyusul jenis Sonneratia sp.,
Bruguiera sp., dan Rhizophora sp. Lebar jalur hijau di
pesisir tersebut berkisar 30 – 100 m. Sedangkan pada tepi sungai dirimbuni oleh
jenis Nypa sp. Namun kondisi tanah
pada tepi sungai kurang baik untuk lokasi budidaya. Menurut Utojo, 2011,
kondisi tanah di sebagian pinggir sungai Maros merupakan lahan gambut yang
mengandung bahan organik tinggi, pH rendah, Fe, Al serta pirit yang tinggi,
sehingga tidak sesuai untuk budidaya. Sementara pada pesisir pantai sangat
memungkinkan karena mudahnya akses air melalui proses pasang surut, sekaligus
sebagai proses remediasi tanah tambak.
Pertambakan di Maros juga
diuntungkan dengan kondisi curah hujan yang berkisar 2000 – 2.500 mm/tahun
dengan 132 hari hujan/tahun (Anonim, 2009). Curah hujan tersebut tidak
mengganggu aktivitas budidaya tambak. Daya dukung lahan dan iklim yang memadai
tersebut, membuat kawasan pesisir Maros cukup potensial untuk aktivitas
budidaya tambak. Namun, pada musim-musim tertentu, beberapa daerah di Maros
mengalami kekeringan dan berdampak pada kurangnya air yang dapat diperoleh dari
sungai terdekat. Hal ini terjadi di Desa Bonto Bahari, dimana masyarakat
mengeluhkan kekeringan yang selalu melanda masyarakat desa.
Hanya saja, pada poin 6 untuk
kelompok BMP (kepemilikan, lokasi dan perizinan) ini masing-masing petambak
tidak memiliki izin dari instansi terkait untuk difungsikan untuk budidaya
udang. Rata-rata beranggapan bahwa tidak ada larangan dalam mengelola lahan
sendiri. Melihat kenyataan ini, petambak tidak melakukan koordinasi dengan
pihak yang berwenang, sehingga akan sulit dilakukan pengaturan terhadap
kebijakan-kebijakan yang akan mendukung kepentingan bersama dan perbaikan
lingkungan. Seperti penyesuaian ke depan tentang rencana perbaikan tata ruang
wilayah ataupun rencana penanaman mangrove secara bersama.
Kelembagaan Pembudidaya
Tersedianya kelompok tani akan memudahkan para
petambak dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan kualitas lahan dan
produksinya. Petambak yang tergabung dalam kelompok pun dapat saling bantu
membantu dalam melakukan aktivitas budidaya, sejak persiapan, pemeliharaan
(termasuk pengukuran kualitas air), hingga panen. Peran utama kelompok yaitu
mengorganisir petambak agar dapat arif dalam pengelolaan air yang digunakan
bersama (satu aliran sungai), untuk mencegah tersebarnya penyakit, yang
biasanya dengan cepat tersebar karena melalui kontak air sungai yang digunakan
bersama. para petambak diharapkan melakukan koordinasi dengan kelompok untuk
setiap kegiatan budidayanya.
Para petambak yang disurvei belum
bergabung dalam kelompok dan dalam pengambilan keputusan pada usaha budidayanya
masih sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan karena belum kuatnya kultur lembaga
di masyarakat petambak Maros. Ada pun lembaga yang biasa terbentuk, lebih pada
urusan administrasi saat distribusi bantuan-bantuan dari pemerintah.
Kemungkinan lainnya, petambak belum merasa butuh terhadap keberadaan lembaga.
Dikarenakan karena tidak punya pengalaman kelembagaan dan tidak adanya tokoh
pemersatu. Hipotesis awal yaitu petambak susah disatukan dalam kelompok karena
masing-masing petambak berbeda jadwal tebarnya, penggunaan bibit yang sumber
berbeda, sumber pakan berbeda, sumber keuangan berbeda serta dimungkinkan
karena tingginya temperamen atau wajah ego orang Bugis-Makassar dalam mengelola
tambak. sehingga terkesan lebih individualis dan terkadang ada upaya saling
menjatuhkan.
Padahal dengan adanya lembaga
tersebut, para petambak yang tergabung dalam lembaga dapat diarahkan untuk
melakukan desain ulang tambak, yaitu dengan menambah pintu air keluar (outlet),
sehingga air kotor (bekas pemeliharaan/yang mengandung penyakit) dapat dibuang
ke saluran yang berbeda dan tidak akan mengganggu/mencemari penerimaan air
tambak lainnya. Kemudian dalam kelompok petambak juga dapat kerjasama untuk
mendesain saluran air bersama, baik itu saluran sungai air untuk pemasukan air
maupun saluran air untuk pembuangan air.
Namun aktivitas mendesain dan
pembuatan saluran air pembuangan bersama-sama itu sering mengalami kendala, dan
kendala utama yaitu kepemilikan lahan. Sangat jarang petambak yang ingin
merelakan sepotong tanahnya untuk diubah fungsi menjadi saluran air. Penyakit
pun dengan cepat menyebar yang bermula dari pengelolaan tambak masing-masing
petani yang tidak memenuhi kaidah daya dukung lingkungan, dimana konversi
mangrove begitu massif, penggunaan bahan kimiawi (pupuk organik) dan bahan antibiotik
yang menyebabkan bakteri dan virus menjadi resisten.
Ini pula yang menggambarkan
fenomena wajah ego orang Bugis-Makassar yang cukup sulit berbagi untuk
kepentingan bersama. Sehingga butuh penelitian mendalam tentang aspek
antropologi masyarakat petambak untuk dapat mencari jalan keluar tentang
pengelolaan tambak berbasis kelembagaan yang baik.
Fenomena kuatnya kelompok tampak
di beberapa tempat lain, seperti kelompok yang pernah saya lihat di
Blangmangat, Kab. Lhokseumawe, Prov. Aceh, disebabkan adanya tokoh kuat, yaitu
Azhar yang memimpin UD. Bina Tani Beumakmue. Pada kelompok tani itu terjalin
hubungan saling menguntungkan antara petambak dengan koperasi/kelompok, sebab
semua kebutuhan petambak baik itu pakan dan bibit bisa diperoleh dari koperasi
dan jika petambak tersebut melakukan panen, hasil panen harus dijual ke
koperasi. Begitu pula kelompok yang terbentuk di Sabanparu, Kec. Suppa,
Pinrang, yang dipimpin oleh ketokohan Ir. Taufik, pemilik hatchery udang windu
dan pembina petambak di kelurahan tersebut. Saat ini tambak yang tergabung
dalam kelompok tersebut menghasilkan panen optimal dengan sistem tradisional
plus (pakan tambahan berupa wereng/Promina
suppa, sp). Saat ini Ir. Taufik juga mengelola bantuan dari program
budidaya DKP Pinrang.
Konstruksi Petak/Pematang
Poin-poin konstruksi
petak/pematang rata-rata dipatuhi oleh ketiga petambak, seperti (1) pengecekan
dan penambalan kebocoran tanggul; (2) meninggikan, melebarkan dan meratakan
bagian atas tanggul, (3) penyesuaian kedalaman caren. Kegiatan-kegiatan
tersebut merupakan aktivitas utama untuk
keberlangsungan budidaya. Sebab, jika terjadi kebocoran tanggul dapat
menyebabkan lalu – lalangnya kepiting dan udang-udang kecil yang dapat
menyebarkan penyakit yang berasal dari luar. Selain itu kebocoran juga dapat
menyebabkan lolosnya organisme budidaya ke perairan lepas. Sedangkan kedalaman
ceren setiap tambak sudah memenuhi, yaitu minimal 1 meter dan kedalaman pelataran
minimal 0,7 m. Pada kedalaman tersebut guncangan perubahan suhu bisa diatasi
dan udang dapat berlindung dari terpaan sinar matahari sehingga membuatnya
nyaman dan tidak stress. Kondisi tersebut dapat meningkatkan nafsu makan udang.
Caren juga berfungsi sebagai tempat berlindung udang windu yang hendak berganti
kulit (moulting) dan kedepannya akan memudahkan alam pemanenan.
Namun, saluran air pada ketiga
tambak hanya satu, yang berfungsi sebagai pintu masuk air sekaligus pintu
keluar. Kondisi tersebut menjadi rentan ketika tambak terserang virus/penyakit
dan tanpa treatment tertentu dilakukan pengeluaran di pintu yang sama. Hal
tersebut menyebabkan air yang terkontaminasi tersebut terbuang ke saluran utama
dan akan terbawa ke tambak-tambak lain di sepanjang alur sungai
tersebut/jikalau tambak yang lainnya tidak memperoleh informasi munculnya
penyakit sehingga dengan tidak sengaja memasukan air yang tercemar tersebut.
Dua dari tiga tambak tersebut
tidak memiliki tandon. Dengan demikian air yang berasal dari sungai langsung
dimasukkan ke petak tambak tanpa ada treatment/perlakuan khusus, seperti
pendiaman air, pemanfaatan biofilter seperti rumput laut gracillaria,
kekerangan, ataupun cascing (kotoran cacing). Biofilter tersebut akan membantu
mereduksi kandungan tercemar pada air yang hendak dimasukkan ke dalam tambak.
Air yang masuk ke ketiga tambak
yang disurvei hanya memiliki satu saringan. BMP Udang Windu menganjurkan untuk
memasang dua saringan air pada pintu masuk. Dengan dua pintu air kemungkinan untuk
menahan kotoran masuk ke tambak lebih meyakinkan. Pada poin konstruksi tidak
dijelaskan luas petakan, tapi berdasarkan BMP udang windu WWF - ID dijelaskan
bahwa kontruksi tambak sebaiknya petakannya tidak terlalu luas, yaitu berkisar
0,5 – 1 hektar. Dengan ukuran seperti itu, petani tidak akan kewalahan dalam
memantau udang yang dipelihara.
Pengeringan
Pengeringan merupakan fase
penting dalam aktivitas budidaya udang windu. Sebab pengeringan yang baik
(dilakukan selama 5 – 7 hari), dimana pengeringan dapat mengurangi/mematikan
bakteri/virus di dalam tanah. Dengan demikian ke depannya akan mempermudah dan
mengurangi biaya operasional sebab penyakit sudah dapat minimalisir. Dalam
pengeringan ini para petambak harus menghindari kemunculan Fe (Zat besi).
Unsur pembeda dalam pengeringan
tambak yaitu waktu pengeringan. Namun dalam pengeringan ini kadang tidak
maksimal karena dikejar-kejar tenggang sewa lahan yang sudah hampir habis. Masih
banyak tambak di Sulawesi Selatan, termasuk Maros yang bukan punya hak milik
pribadi, tapi merupakan tambak sewa yang dibayar pertahun. Harga sewa
berbeda-beda pada masing-masing kabupaten atau wilayah, seperti yang saya
temukan di Sabanparu, Kec. Suppa, Kab. Pinrang dalam satu petak seluas satu
hektar dihargai Rp 6 juta sedangkan di Barru seharga Rp. 9 juta.
Sebaiknya pengeringan hingga 100 persen. Jika
masih terdapat air di dalam caren, itu bisa ditreatment dengan penaburan kapur
untuk membunuh bakteri. Pengeringan yang terbaik itu yaitu pengeringan hingga tanah
retak-retak. Selain kadar air berkurang, tanah retak juga menambah oksidasi
sehingga tanah bisa bernafas dan mengurangi bakteri anaerob. Pada ketiga tambak
yang disurvei semuanya melakukan pengeringan. Namun tidak ada keterangan
tentang lama pengeringan dan juga tidak ada informasi mengenai lama siklus dan
berapa kali siklus tambak.
Namun ketiga tambak tidak ada
aktivitas pembalikan tanah. Alasannya karena membutuhkan waktu tambahan dan ada
pelaku tambak yang memang tidak punya kebiasaan melakukan pembalikan tanah.
Pembalikan tanah berguna untuk menambah oksigen dalam tanah. Namun pembalikan
tanah di beberapa daerah berpotensi memperburuk kualitas tanah karena
terbukanya lahan gambut atau naiknya besi (Fe) ke dalam air dan Zat besi-pirit
akan menutupi insang udang dan menyebabkan stress. Jika dalam tambak terdapat
lumpur hitam, sebaiknya lumpur hitam diangkat ke luar tambak, bukan di
pematang, luruh ketika terkena hujan. bakteri aerob tumbuh pada kedalaman 10
centimeter dan banyak pada lumpur hitam.
Setelah pengeringan dan
pengangkatan lumpur, dilakukan pemasukan air selama 1 – 2 hari kemudian
dibuang. Hal tersebut dilakukan berulang-ulang untuk meminimalisir kandungan
zat besi dalam tanah. Namun dua diatara tiga tambak yang disurvei tidak
dilakukan pembuangan air setelah pemasukan air pertama. sehingga bisa jadi
masih terdapat zat besi atau kandungan yang tidak diinginkan dalam air kolam.
Pengapuran
Pengapuran dilakukan setelah
pengeringan dan pencucian tambak. Pengapuran dilakukan untuk menetralisir pH
tanah atau mengurangi keasaman tanah (kandungan besi (Fe+), aluminum
(Al) yang menghambat pertumbuhan posfor (P) dan kalsium (Ca) yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan plankton. Fe, Al dan Mn biasanya juga dapat menjadi toksik
bagi hewan budidaya. Kapur juga berfungsi meningkatkan kesadahan dan
alkalinitas air yang membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, mempercepat
dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi (Chanratchakool, 1995).
Sebelum pengapuran dilakukan
pengukuran pH tanah. Pengukuran pH dan pengambilan sampel tidak boleh hanya
pada satu titik, tapi diambil pada beberapa titik di dalam tambak. hasil dari
pengukuran akan menentukan seberapa besar kapur yang ditebar ke dalam tambak. menurut
panduan BMP Udang Windu, jika pH tambak sekitar 4 – 5 ditebar kapur 500 – 1000
kg/ha, jika pH 5 – 6 ditambahkan kapur 250 – 500 kg/ha, dan juka pH 6>
ditambahkan kapur 100 – 250 kg/ha.
Pemupukan
Pemupukan dibutuhkan untuk
menumbuhkan pakan alami di perairan tambak berupa pitoplankton. Menurut Mahmud,
2012, pertumbuhan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara
makro dan mikro serta dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan. Suplai nutrien pada perairan tambak berasal dari sungai
yang menyediakan air sebagai media budidaya perikanan tambak, juga berasal dari pupuk yang ditambahkan
untuk meningkatkan produktivitas sistem perikanan tambak.
Ketiga tambak yang disurvei telah
memanfaatkan pupuk organik, yaitu pupuk yang berasal dari tanaman, kotoran
hewan yang telah diproses menjadi kompos dan teksturnya seperti tanah dan tidak
berbau lagi. Pupuk organik berfungsi untuk memperbaiki tekstur tanah. Hal itu
tersebut merupakan perkembangan positif mengingat kebiasaan petambak di
Sulawesi Selatan yang menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan.
Biasanya pada suatu lahan tambak
dilakukan kombinasi antara pupuk organik dan pupuk nonorganik. Dosis untuk
pupuk organik yaitu 500 kg/ha sedangkan pupuk buatan jenis urea dengan dosis 20
kg/ha, SP36 dengan dosis 10 – 15 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan 5 – 7 hari
sebelum penebaran bibit, agar ketersediaan pakan alami cukup.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
kelimpahan plankton sebelum melakukan penebaran benur. Namun ketiga pelaku
tambak yang disurvei tidak melakukan pemeriksaan kelimpahan plankton.
Kelimpahan plankton dapat dilakukan secara visual dengan melihat warna dan
kecerahan air. Kepadatan alami yang kurang dapat diamati melalui pemeriksaan
usus udang yang putus-putus. Jika terlihat seperti itu maka diperlukan
pemupukan susulan. Pedoman pemupukan susulan menurut panduan BMP udang windu
yaitu menggunakan pupuk urea dengan dosis 20 kg/ha, SP 36 dengan dosis 10 – 15
kg/ha dan ditambah dengan kapur sebanyak 20 kg/ha.
Pengisian Air
Sebaiknya memasukkan air bersih
terlebih dahulu ke dalam tandon (pendiaman air). Ketinggian air yang baik bagi
pertumbuhan udang yaitu di atas 60 cm dan kedalaman dari caren yaitu 1 m.
Kedalaman air yang rendah akan berdampak pada fluktuasi suhu dan menyebabkan
udang stress, sehingga metabolismenya terganggu. Namun belum terdapat alat
untuk mengukur ketinggian air pada masing-masing tambak, seperti ketersediaan
papan ukur.
Penggunaan saringan ganda
diperlukan dalam proses ini untuk mencegah bibit predator dan ikan-ikan liar
masuk dalam tambak. Namun jika di dalam tambak masih terdapat ikan maka
digunakan disinfektan organik seperti saponin.
Pengendalian Hama
Pengendalian hama dilakukan
dengan memanfaatkan akar tuba/teh (saponin) sebagai pestisida alami (organik). Para
petambak yang disurvei telah menggunakan saponin dalam pengendalian hama. Saponin
direndam dalam air dengan wadah tertentu (tong plastik) yang telah disiapkan
selama 6 – 12 jam agar zat saponin larut ke dalam air tawar. Saponin ditebar ke
saluran tambak untuk membasmi hama ikan-ikan dan di dalam tambak air payau dengan
dosis 15 – 20 ppm. Untuk membasmi ikan yang kemungkinan masuk ke dalam tambak,
diamkan selama 4 hari untuk menetaskan telur yang masuk ke tambak, baru setelah
itu ditebar saponin. Ikan yang mati kemudian diangkat dan dibuang ke tempat
khusus atau dikubur untuk memutus mata rantai bakteri (vibrio).
Dalam mengatasi hama biasanya
menggunakan pestisida, namun penggunaan pestisida berefek buruk bagi kualitas
tambak. diantaranya; (1) membunuh pakan alami udang pada dasar dan kolom air,
(2) udang jadi sulit tumbuh dan gampang sakit, (3) membunuh mikroba tanah
sehingga kualitas tanah memburuk, (4) menyebabkan udang terkontaminasi racun
dan ditolak konsumen, (5) buangan air yang mengandung pestisida ke perairan
umum akan merusak lingkungan serta mematikan anak ikan dan udang. Namun
sayangnya dua dari ketiga petambak masih menggunakan pestida untuk membasmi
hama dan penyakit, seperti bekicot.
Dalam pengendalian hama ini
dianjurkan untuk tidak mematikan hewan liar yang ada di sekitar tambak. namun
rata-rata petambak melakukan pembunuhan terhadap hewan yang mengganggu tambak,
seperti membunuh biawak.
Benur
Ciri-ciri benur yang baik dan asal usul benur
Benur yang
berkualitas juga ditandai dengan; (1) perut benur udang yang terisi makanan
ditunjukkan dengan perut berwarna hitam dan cokelat penuh, (2) Ukuran benur
seragam, hanya 10 – 15 persen ekstrim kecil dan besar, (3) Aktif berenang dan
benur yang sehat ditandai dengan bergerak melawan arus, (4) sensitif terhadap
rangsangan berupa sentuhan dan kejutan, (5) menggunakan benur umur >PL 11 /
gelondongan. Jika di bawah PL 11, usus dan hepatopangkreas benur belum sempurna,
sehingga pencernaanya terganggu. (5) Perbedaan salinitas/kadar asin air tambak dan
pembibitan maksimal 3 ppt, (6) memastikan untuk membeli benur yang bebas virus,
memperoleh sertifikat (SPF/Spesies
Pathogen Free). (sumber : BMP Udang Windu dengan Pakan tanpa Aerasi).
Para petambak yang disurvei tidak
melakukan pemeriksaan kelengkapan organ tubuh benur dan tidak melakukan
pemeriksaan kesehatan benur (analisis lab). Petani hanya memeriksa keaktifan
benur saat membeli di hatchery. Sumber benur pun tidak berasal dari satu
hatchery, tapi beberapa hatchery. Asal usul induk benur juga sama sekali tidak
diketahui petambak.
Sebaiknya petambak mengontrol bibit
tersebut dengan melihat langsung ke lokasi pembenihan hatchery. Di sana akan
diketahui asal induk untuk meminimalisir penyakit. Virus dapat berasal dari
dari induk dan berjangkit ke keturunannya. Dalam hatchery kita pun dapat
mengetahui kondisi benur. Dengan cara mengamati keadaan benur dua jam sebelum
pengambilan benur, jangan sampai banyak benur yang mati di hatchery tersebut
dan tidak kita ketahui. Kadang kita mengambil benur di hatchery dan tidak
melihat lagi kondisi benur lainnya. Sebab benur yang mati itu biasanya dibuang
atau di-shipon keluar. Langkah lainnya yaitu dengan melakukan uji PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mengetahui keberadaan virus dalam tubuh benur.
Transportasi Benur
Pengangkutan benur sebaiknya pada
pagi atau sore hari (pagi hari maksimal pukul 09.00 dan sore hari setelah malam).
Transpor benur di bawah dalam kondisi tidak panas, sebab udang adalah hewan
nocturnal. Selanjutnya memastikan jumlah bibit udang dalam kantong sesuai
dengan ukuran dan jumlah oksigennya cukup untuk menghindari stress dalam
perjalanan, meski jarak perjalanan dekat. Baik jika ada alat untuk mengukur DO
dan kita mengecek DO sebelum menebar bibit.
Saat
pengantaran benur, tidak boleh lebih tiga jam pada mobil terbuka (pick up) dan
sekitar delapan jam pada ruang tertutup dan menurunkan suhu udara hingga 240C
agar benur tidak aktif. Selain itu petambak harus memastikan alat transportasi
yang digunakan bersih dan tidak mengangkut bahan-bahan kimia, pupuk dan
sebagainya.
Dalam survei
ditemukan bahwa ketiga petambak mematuhi poin-poin dalam transportasi benur,
seperti pengemasan dalam wadah beroksigen memadai, alat transportasi bersih
(rata-rata menggunakan motor), waktu tempuh dalam perjalanan cukup cepat yaitu
hanya berkisar 1 sampai dua jam perjalanan, dan pengangkutan dilakukan pada
pagi atau sore hari. Seorang yang disurvei menyebutkan bahwa benur diperoleh
dari Kab. Barru, yang memang memakan waktu tempuh 2 jam.
Penebaran Benur
Penebaran
benur dilakukan setelah pakan alami telah tersedia di dalam tambak, ditandai
dengan warna hijau dan cokelat. Plankton biasanya tumbuh baik setelah 7 – 10
hari setelah pemupukan. Pakan buatan juga bisa ditambahkan pada hari pertama
benur, sebab benur membutuhkan nutrisi sejak hari pertama tebar. Penebaran
dilakukan pada pagi dan sore hari dan penebaran dilakukan dengan hati-hati
karena benur masih dalam kondisi lemah dan mudah stress. Usahakan suhu dalam
kantong dengan kolam tidak terlalu berbeda. Sebaiknya aklimatisasi segera
dilakukan, sebab sisa-sisa metabolisme dalam plastik jika terlalu lama akan
berefek buruk bagi kesehatan benur.
Padat penebaran untuk pola tradisional tanpa pakan
tambahan dan hanya mengandalkan pupuk susulan 10% dari pupuk awal adalah 1-7
ekor/m². Sedangkan apabila menggunakan pakan tambahan pada bulan ke dua
pemeliharaan, maka disarankan dengan padat tebar 8-10 ekor/m².
Pada tambak
yang disurvei, ketiga menebar benur setelah ketinggian air cukup. Namun benur
ditebar tanpa diketahui ketercukupan plankton dalam tambak. dua dari tiga petambak
tidak melakukan pemeriksaan tersedianya pakan alami tersebut. Sedangkan yang
melakukan pemeriksaan pakan alami hanya berdasarkan pengalaman petambak. Begitu
pula dengan pengecekan kualitas air (faktor fisik), seperti DO, pH, suhu, dan
salinitas, ketiga petambak tidak melakukan pemeriksaan faktor fisik. Tampaknya
petambak tidak memiliki fasilitas pengecekan tersebut, sehingga mereka tidak
mengetahui perubahan-perubahan kualitas air dalam tambak yang dapat
mempengaruhi kesehatan hewan budidaya/udang. Pada waktu penebaran, dilakukan
pada pagi dan sore, namun tidak dilakukan pemeriksaan suhu air. Petambak pun
melakukan penebaran sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi dan tidak serentak
dengan petambak lainnya.
Saat menebar
dua dari tiga petambak yang disurvei tidak melakukan pemasukan air kolam ke
dalam plastik (aklimatisasi). Padahal metode tersebut bertujuan untuk
penyesuaian kadar garam antara air tambak dengan air dalam plastik. Setelahnya
benur akan keluar perlahan dari plastik sebagai pertanda bahwa benur telah
menyesuaikan diri terhadap air tambak. tanda lainnya yaitu udang akan
menggembur-gemburkan air pada dasar plastik. Penebaran sebaiknya tidak
dilakukan pada pojok tambak (titik mati), dimana air tidak bergerak pada daerah
tersebut. Namun, masih ada petambak yang menebar benur pada sembarang sisi,
termasuk pada pojok tambak.
Pada poin
penebaran benur ini, tingkat kepatuhan petambak terhadap BMP masih rendah.
Dimana dari 9 indikator hanya 3 – 4 indikator yang dipatuhi.
Pengelolaan Pakan
Pada hari
pertama pemeliharaan dianjurkan untuk pemberian pakan buatan. Tindakan tersebut
bertujuan untuk memudahkan benur dalam memperoleh makanan. Pada umur-umur awal,
benur masih kesulitan atau membutuhkan energi yang cukup besar untuk menangkap
dapnia dan copepoda (pakan alami). Pada hari pertama itu pula benur kehilangan
banyak energi akibat stress setelah penanganan dalam transportasi benur.
Pemberian pakan buatan pada 7 – 10 hari pertama akan memudahkan benur
memperoleh asupan energi dan akan meningkatkan daya hidup (SR)-nya. Sebenarnya
juga menyesuaikan dengan kebiasaan ketika masih di pembenihan (hatchery),
dimana benur selalu diberi pakan tambahan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
usus udang, apakah usus penuh dengan makanan setelah empat hari pemeliharaan.
Namun, para
petambak di Maros banyak yang tidak memberi pakan tambahan pada hari-hari awal
pemeliharaan. Penyebabnya belum diketahui pasti, apakah petambak sudah merasa
cukup hanya dengan pakan alami atau karena mereka tidak mengetahui akibat
ketika benur kekurangan gizi pada masa-masa awal pemeliharaan.
Pakan komersil
yang digunakan, sebaiknya diperiksa kandungan gizi pakannya. Usahakan pembelian
pakan dengan sumber protein berasal dari perikanan yang ramah lingkungan. Kemudian,
jumlah pakan yang diberikan ke hewan budidaya tidak melebihi jumlah pakan yang
disebutkan dalam tabel. Dimana penentuan banyaknya pakan berdasarkan ukuran
udang dan jumlah udang yang bertahan hidup. Pemantauan konsumsi pakan udang
menggunakan anco. Bila jumlah pakan dalam anco tidak habis maka lakukan
pemotongan 20 % dari jumlah pakan. Namun bila pakan di anco tidak dimakan,
pemberian pakan dapat dihentikan atau diberi perhari sebanyak 1 kg dan terus
dipantau ususnya. Bila pengamatan usus terlihat putus-putus, diberi makanan
tambahan lagi dengan melakukan perhitungan biomass dikalikan dengan % FR 3 – 8
persen, (BMP Udang Windu, WWF Indonesia).
Petambak telah
menggunakan pakan komersil walau pemberian pakan tidak dilakukan pada awal
penebaran. Sedangkan seorang petambak menggunakan pakan yang berasal dari
kekerangan/tude. Tampaknya petambak tidak melakukan pengamatan-pengukuran
optimal terhadap jumlah pakan yang diberikan ke udang yang dibudidayakan. Sebab
ketiga petambak tidak menggunakan anco sebagai alat mengukur. Meski begitu,
pemberian pakan tetap mereka sesuaikan dengan tabel pakan harian.
Sebaiknya
petambak melakukan pergeseran waktu penebaran pakan tambahan, yang biasanya
diberikan pada pertengahan pemeliharaan di geser pada awal tebar dengan tetap
menumbuhkan pakan alami. Sebab penggunaan pakan tambahan terus menerus akan
menyulitkan petambak tradisional yang modalnya sedikit. Penggunaan pakan
tampaknya tidak berlebihan, dan ini baik bagi kualitas air tambak, sebab jika
pakan berlebih dan tidak termakan justru akan menjadi racun dan mencemari
perairan.
Informasi yang
merupakan hal baru bagi para petambak yaitu pemberian antibiotik alami pada
pakan berupa minyak ikan dan bawang putih, serta pemeriksaan usus udang pada
hari ke tujuh. Kedua poin ini tidak dilakukan oleh para petambak.
Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan
kualitas air berkaitan dengan pergantian/pengisian air yang bergantung pada
laju pasang. Air yang baik berasal dari pasang tertinggi pada bulan purnama.
Puncak periode pasang tertinggi berlangsung dua kali setiap bulan, yaitu
sekitar tanggal 14 – 17 dan tanggal 28 – 2 pada Kalender Arab (lunar calender). Namun hasil survei
menunjukkan bahwa petambak di Maros tidak harus memasukkan air pada saat pasang
tertinggi dan mereka tidak melakukan pencatatan saat pemasukan air. Pencatatan
pemasukan air belum menjadi kebiasaan para petambak, sehingga membutuhkan waktu
untuk membiasakan petambak mencatat setiap kejadian dalam pemeliharaan udang.
Pergantian air
tidak menyebabkan pergolakan air dan tanah dasar. Tapi terdapat seorang
petambak yang disurvei tidak mempermasalahkan pergolakan air tersebut. Padahal
jika tanah dasar bergolak, bahan organik yang telah terdekomposisi secara
anaerob dapat bercampur dengan kolom air dan dapat meningkatkan kadar asam
tanah dan berefek buruk bagi kesehatan udang. Bahan organik tersebut berasal
dari endapan karbohidrat, protein, dan sel-sel lainnya. Bahan organik di
degradasi oleh mikroorganisme yang biasanya berasal dari sisa makanan, pupuk
dan organisme mati. Akan tetapi keberadaan bahan organik tersebut dapat
dipertahankan pada kondisi optimal, dengan melakukan pengaturan penggunaan
jenis ikan, budidaya polikultur, densitas penebaran, densitas pupuk dan
frekuensi pemberian pakan, pergantian air, dan pemberian aerasi (Boyd, 1995).
Sebaiknya
dilakukan pengecekan kualitas air setelah hujan. Sebab setelah hujan biasanya
terjadi fluktuasi kualitas air secara drastis, bisa disebabkan oleh
meningkatnya pH perairan karena adanya input asam dari air hujan, juga karena
perubahan produksi plankton akibat tidak adanya cahaya matahari sehingga
phitoplankton tidak dapat berfotosintesis. Pada kondisi tersebut juga dapat
terjadi kematian plankton massal dan menurunkan kandungan oksigen dalam
perairan serta meningkatnya bahan organik dan dapat menyebabkan organisme
budidaya (udang) mengalami stress dan sering pula menyebabkan kematian. Namun,
tiga petambak yang disurvei tidak melakukan pengecekan kualitas air setelah
hujan. Hal tersebut terjadi karena petambak tidak memiliki fasilitas alat ukur
kualitas air.
Poin
berikutnya adalah kedalaman air dalam tambak, dimana patokan utama, kedalaman
iar dari caren di atas satu (1) dan kedalaman air dari pelataran di atas 60 cm.
Ketiga tambak yang disurvei telah memenuhi kriteria tersebut. Jika kedalaman
air hanya di bawah 60 cm, suhu air akan meningkat dan menyebabkan udang stress.
Jika udang stress daya tubuhnya akan menurun dan patogen baik itu bakteri
maupun virus akan mudah menyerang tubuh udang.
Pengendalian Penyakit
Poin ini
merupakan poin kunci dalam budidaya udang windu, mengingat maraknya serangan
penyakit/patogen yang menurunkan produksi udang para petambak. Pengendalian
penyakit dilakukan dengan mencegah masuknya air yang telah tercemar ke dalam
tambak, menunda pembuangan air yang tercemar penyakit saat petambak lain
sementara melakukan pengisian air, memantau udang yang dipelihara dengan uji
shrimp test, mengubur udang yang telah mati, serta Pengamatan intensif dalam 1
minggu setelah diketahui serangan penyakit dan setelah 1 minggu setelah
berhasil diatasi (2 minggu).
Petambak yang
disurvei telah mematuhi poin tidak memasukkan air yang tercemar, namun ada
petambak yang tidak tahu menahu tentang kondisi perairan di sekitarnya,
sehingga dia memasukkan air yang berasal dari sungai tanpa memperoleh informasi
tentang tercemarnya air dalam saluran ataupun di sungai. Sedangkn poin menunda
pengeluaran air, dua dari tiga petambak sudah sadar bahwa air tidak boleh
tergesa-gesa dibuang karena akan merugikan petambak lain yang akan memasukkan
air. Seorang petambak masih membuang air sesuai keinginan hati atau belum paham
tentang dampak membuang air tanpa adanya kontrol air. Namun pengontrolan air
setelah tambak terkena penyakit membutuhkan waktu tambahan sebelum memulai
pemasukan udang baru. Salah satu alasannya karena tambak sewa, tapi ketiga
petambak adalah pemilik sah tambak tersebut.
Menurut Wahyu
Subachri, Senior Fisheries WWF-Indonesia, bahwa untuk mengantisipasi adanya
penyakit, dalam dua bulan pertama petambak harus melakukan persiapkan tambak,
sehingga memperoleh kualitas air yang baik. Tapi petambak harus menanggung
resiko biaya tambahan, sebab biasanya pupuk yang sudah jadi harus dibuang.
Dalam
pengendalian penyakit, para petambak mesti memperhatikan spesies-spesies yang
bisa menjadi carier virus (White spot) ataupun bakteri, diantaranya udang geli,
kepiting, burung bangau, burung camar. Petambak harus menghalau spesies-spesies
tersebut melintas dalam tambak, baik dengan pembuatan pagar kayu atau jaring,
sesuai prinsip-prinsip biosekurity. White spot dapat dikendalikan dengan
penggunaan antibiotik (Eritromicin), yaitu minimal satu bulan sebelum dipanen.
Tapi penggunaan antibiotik merupakan cara terakhir setelah yang lain sudah
dicoba tapi tetap terserang penyakit.
Hal yang tak
boleh dilupakan dalam pengendalian penyakit yaitu sejarah virus, virus memang
sudah ada dalam tubuh benur dan ditularkan dari induk, sehingga petambak harus
membeli benur yang punya sertifikat bebas virus. Pengendalian juga dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh organisme budidaya melalui
pakan yang telah diberi obat alami, seperti bawang putih dan daun pepaya dalam
memperbaiki kondisi usus udang. Sebab, udang tidak memiliki kapasitas menyimpan
antibodi atau produksi darah putih. Udang dapat bertahan jika virus itu belum
banyak dalam tubuhnya. Namun ketika kondisi ekstrim, virus itu kian berlipat
karena anti bodi menurun.
Strategi
pengendalian penyakit dapat pula dengan penggunaan tandon. Dalam tandon
terdapat organisme-organisme (biofilter) yang dapat mereduksi bahan-bahan
organik dan mengurangi kandungan bakteri dalam air.
Ketika tambak terserang penyakit,
udang-udang yang mati secepatnya harus dikubur. White spot dalam satu siklus
berumur 14 hari dan Jika tidak dikubur, virus dalam udang akan berpindah dan
mencemari lingkungan sekitar. Udang dan kepiting yang mati akibat terpapar
virus oleh petambak jika memungkinkan akan dikonsumsi, kalau tidak memungkinkan
akan dikubur. Tetapi petambak di Desa Lengkese tidak mengkubur udang yang mati
tapi dibuang di sekitar tambak.
Kemudian langkah yang harus
ditempuh oleh petambak yang tambaknya telah terserang penyakit, yaitu melakukan
pengamatan intensif dalam satu minggu setelah diketahui serangan penyakit dan
seminggu setelah berhasil ditangani. Pengamatan tersebut akan membantu proses
penggalian informasi perkembangan virus dan pengendaliannya. Sehingga dapat
menjadi pembelajaran tentang cara penanganan dan perkembangan virus jika
penyakit kembali menyerang. Namun petambak tidak melakukan pengamatan dan
ketika udang terserang penyakit, mereka langsung melakukan pemanenan dini.
Pemanenan
Panen dilakukan menjelang pagi
selesai atau sebelum matahari terbit. Namun hanya seorang petambak dari tiga
petambak yang disurvei melakukan pemanenan sebelum matahari terbit. Seorang memanen
pada pagi hari dan ini dilakukan oleh pada umumnya petambak di Sulawesi
Selatan. Mereka memanen dengan bantuan petambak lainnya atau tetangga-tetangganya
di desa (tim panen). Seorang petambak melakukan pemanenan pada sore hari.
Setelah udang dipanen, udang
kemudian dicuci bersih, lalu dilakukan penimbangan berat awal udang. Prosedur tersebut
rata-rata dipatuhi oleh petambak, mengingat begitu penting untuk menjaga
kualitas udang agar memperoleh harga bagus dari penjual.
Petambak tidak boleh mencampur
hasil panen 1 petak tambak dengan petak tambak lainnya. Alasannya untuk agar
udang dapat dilacak asal usul udang (tracybility). Petambak tidak melakukan
pencampuran hasil panen dari beberapa tambak, sebab rata-rata petambak di Maros
hanya memiliki satu petak tambak saja. Berikutnya, saat panen udang ditempatkan
ke dalam wadah tertutup ditambah Es 1:1, sehingga udang dapat tetap dingin
untuk tiba di tempat penampung awal. Rata-rata petambak menerapkan prosedur
tersebut. Dalam hal ini, es dan air bersih harus tetap tersedia, untuk mencegah
rigormortis yang terlalu cepat.
Pencatatan
Dalam usaha pertambakan, satu
mekanisme yang selama ini kurang diperhatikan oleh para petambak tradisional,
yaitu mekanisme pembelajaran melalui pencatatan. Petambak selama ini
mengandalkan pengalaman dan tidak tercatat. Sementara kondisi tambak selalu
berubah seiring dengan perubahan ekosistem di sekitarnya.
Poin-poin yang dicatat yaitu; (1)
Pencatatan daftar kebutuhan, modal dan hasil panen. Pada umumnya petambak
melakukan pencatatan, karena berkaitan dengan hitung-menghitung untung dan rugi.
(2) pencatatan tahapan aktivitas siklus budidaya. Umumnya aktivitas ini tidak
tercatat. Petani tidak punya keahlian dan kebiasaan dalam mencatat proses
budidaya. (2) pencatatan kualitas air. Petambak tidak melakukan pencatatan
lantaran tidak memiliki alat mengukur kualitas air dan belum paham tentang
ukuran-ukuran kualitas air, masih berbasis pengalaman sederhana. (3) Penyimpanan
dan pengarsipan data-data pencatatan tahapan dan parameter fisik siklus
budidaya secara rapi dan mudah diakses/dilihat. Sama dengan sebelumnya, ini
masih sulit diterapkan di masyarakat petambak tradisional. Perlu ada pelatihan,
pendampingan dan FGD untuk metode pencatatan aktivitas, dan lain-lain.
Keberlanjutan Usaha dan Lingkungan
Kegiatan akuakultur merupakan
kegiatan untuk menghasilkan keuntungan. Makanya dalam aktivitas budidaya sangat
dibutuhkan kemampuan dalam mengelola modal dan keuntungan/laba. Agar terjadi
keberlanjutan usaha, dimana masyarakat tidak kewalahan lagi dalam menjalankan
aktivitas budidaya berikutnya.
Pada poin keberlanjutan usaha,
dua dari tiga petambak telah melakukan penyisihan sebagian pendapatan hasil
jual panen untuk modal siklus selanjutnya yang memenuhi kebutuhan untuk
budidaya mengacu sesuai BMPs. Seorang petambak mengaku tidak menyisihkan modal
untuk siklus berikutnya. Namun alasan dibalik itu tidak diketahui.
Dalam usaha budidaya, petani juga
dituntut untuk terlibat dalam perencanaan dan kegiatan pelestarian mangrove di
sekitar tambak. dua dari tiga petambak mengaku tidak terlibat dalam aktivitas
pelestarian mangrove. Petambak dari Desa Bahari dan Desa Marannu tidak menanam
karena di sana memang bukan kawasan tambak, tapi merupakan hasil konversi dari
sawah. Sedangkan petambak dari Desa Lengkese memang menanam mangrove, karena
tambaknya merupakan tambak hasil konversi lahan mangrove.
Begitu pula dengan keikutsertaan
dalam pemeliharaan/perlindungan (termasuk pemangkasan dan penjarangan) mangrove
dalam/dan diluar tambak (saluran utama) serta kawasan greenbelt dan/atau
sepadan sungai utama dan sepadan pantai, Cuma dilakukan oleh petambak dari Desa
Lengkese.
Penutup
Demikianlah paparan yang
diperoleh dari hasil survei GAP Assessement Based BMP Udang Windu Tradisional.
Menunjukkan bahwa petambak di ketiga desa tersebut belum menjalankan
pengelolaan yang baik dalam aktivitas budidaya udang windu. Hal ini disebabkan
oleh faktor pengetahuan yang belum memadai, modal yang kurang, perhatian
pemerintah yang belum massif/kurangnya penyuluhan, kelembagaan. Ini berdampak
pada kurangnya hasil yang diperoleh, yang hanya berkisar 70 – 100 kg/siklus. Jika
poin-poin dalam BMP dapat dipatuhi, tidak menutup kemungkinan hasil yang
diperoleh petani bisa di atas angka tersebut.
Idham Malik
Seafood Savers Officer for Aquaculture, WWF - Indonesia
Sunda Banda Seascape
Tim Survei
Ervandi, Mahasiswa BDP Unhas.
Tabel Kualitas Air Maros menurut
Utojo, BRPBAP Maros.
Tabel
Peubah
kualitas air
|
Satuan
|
Kisaran
nilai
|
Nilai
ideal
|
Salinitas
-
Laut
-
Muara sungai
-
Tambak
-
Air tanah
|
Ppt
Ppt
Ppt
|
26,76 – 28
21,08 – 26.77
3,24 – 20.57
2.36 - 9
|
30 – 35
10 – 20
15 – 25
|
Suhu
|
0C
|
29.29 – 36.8929.29 – 36.89
|
29 - 31
|
pH
|
|
7.48 – 10.02
|
7 – 8.5
|
Tunggang
pasang surut
|
cm
|
140
|
-
|
DO
|
Mg/L
|
2.32 –
11.72
|
4 – 7
|
NH4-N
|
Mg/L
|
<0 .0025="" 1.5225="" b="">0>
|
0,3
|
NO2-N
|
Mg/L
|
<0 .0008="" 0.0705="" b="">0>
|
0.25
|
NO3-
N
|
Mg/L
|
<0 .0015="" 0.7810="" b="">0>
|
0.008
|
PO4-P
|
Mg/L
|
0.0062 –
0.6012
|
0.015
|
Padatan
tersuspensi total
|
Mg/L
|
3 - 209
|
-
|
Bahan
organik total
|
Mg/L
|
2.53 –
37.75
|
29.5
|
Daftar Pustaka
Haryadi, 2008,
“Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pada Budidaya Udang Windu (Panaeus monodon) Secara Tumpang Sari”.
Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta.
Mustafa, Rachmansyah, 2008, “Kebijakan
dalam Pemanfaatan Tanah Sulfat Masam untuk Budidaya Tambak”. Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau, Maros.
Tim Perikanan WWF Indonesia, 2011, “Better
Management Practices (BMP) Budidaya Udang Windu – dengan Pemberian Pakan Tanpa
Aerasi”.
Utojo, Ahmad
Mustafa dan Hasnawi, 2011, “Peruntukan Kawasan Pesisir Kabupaten Maros, Sulawesi
Selatan sebagai Lokasi Pengembangan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan”. Balai
Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros.
Wahju
Subachri, 2013, Notulensi Pelatihan Praktek BMPs Budidaya Udang Windu,
Lhokseumawe.
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.
Salam,
(Tommy.k)
WA:081310849918
Email: Tommy.transcal@gmail.com
Management
OUR SERVICE
Boiler Chemical Cleaning
Cooling tower Chemical Cleaning
Chiller Chemical Cleaning
AHU, Condensor Chemical Cleaning
Chemical Maintenance
Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
Degreaser & Floor Cleaner Plant
Oli industri
Posting Komentar