Seingatku, September 2011 lalu,
untuk pertama kalinya saya menginjak Maluku Tenggara (Malra). Dengan
tergesa-gesa dan hanya bermandi seperti ular untuk secepatnya menuju Bandara
Pattimura Ambon, tanpa tiket, tanpa kejelasan keberangkatan. Beruntung, supir
ojek membawa motor seperti kesetanan, rambut terhempas-hempas, kami tiba
beberapa menit sebelum pesawat Trigana Air terbang ke Tual. Saya mondar-mandir,
mencari tiket, tiba-tiba saja ada pegawai travel yang menawarkan tiket
penumpang lain yang batal terbang, saya menyabetnya, deal. Akhirnya berangkat
ke Tual/pulau Kei. Setiba di Kei, lebih aneh lagi, saya tidak punya kerabat
seorang pun, hanya saja, semalam sebelumnya saya menghubungi Bung Babra Kamal,
yang kebetulan punya kawan dekat di Tual, beliau bernama Gani. Di rumah gani
itulah saya berteduh selama lima hari, yang pada pagi harinya saya sering
bergurau di ruang tamu bersama Bapak Muslim, bapak dari Gani yang pada 2012
lalu sudah berpulang ke alam baka.
Itu 2011 lalu, sekarang cerita
sudah lain, dahulu Kei tak ada bayangan dan tak ada kesan. Pada pemberangkatan
kali ini, Kei sudah menjadi berat dalam kenangan, ia bukan lagi sebuah pulau
kecil di peta, yang bisa saja tiba-tiba hilang terhapus tsunami. Untuk itu,
pada dini hari minggu (24/03), beberapa jam sebelum berangkat ke Ambon, dalam
perjalanan dari Makassar ke Maros, di atas motor saya terus mencoba membuka
file-file, kenangan tentang Kei. Kenangan akan keluarga Gani yang bersahaja,
kenangan akan jalan-jalan lengang antar kampung, yang samping kiri kanan
terhampar tetumbuhan alami berupa semak-semak, pakis-pakisan, pepohonan kerdil
dan kurus, yang berupaya tumbuh di atas lapisan tanah berkarang, menonjol
memecah pasir dan debu-debu.
Saya membayangkan reaksi dari
Alfred Russel Wallace (1823 - 1913), jika saja ia berhasil mencapai pulau Kei
dalam perjalanannya dari Ambon dan Seram, dimana ia hanya mencapai kepulauan
Matabello dan Goram, selatan timur Seram, lantaran ombak dan perbedaan arah
angin (Perjalanan Oktober 1859 – 1860). Ia barangkali merenung lama sembari
mengelap keningnya yang memerah oleh terik matahari, garam-garam dalam tubuhnya
yang terus mencuat untuk mengatasi suhu luar tubuh yang hangat. Barangkali ia
membayangkan pula pulau berkarang (atol) ini tiba-tiba berojol ke permukaan
akibat meletusnya sebuah gunung besar di laut. ia memandangi jenis tetumbuhan
yang dapat beradaptasi terhadap tanah karang. Tetumbuhan yang sangat berperan
dalam menyediakan air tawar buat penduduk yang mendiami pulau-pulau tersebut. Ia
lalu melakukan pencatatan hewan-hewan dan tetumbuhan lokal, jenis-jenis burung
yang melintas-lintas. Hingga pencatatan marga dan kategori manusia, manusia Timur,
termasuk manusia Kei menurut Wallace lebih ekspresif dan estetik dibanding Melayu.
Estetika orang timur pada umumnya terlihat dalam karya patung dan lukisan itu
menunjukkan kecerdasan alamiah mereka. Kecerdasan yang noneksploitatif, dimana
penghormatan utama ditujukan pada laut sebagai sumber penghidupan. Tentu,
sangat berbeda dengan kecerdasan akademik manusia modern, yang ketika terjun ke
dunia kerja tumbuh menjadi manusia penjarah, manusia penggerus, manusia
perampok alam.
Namun, muncul pula kekhawatiran,
jika saja kelak warga Kei, khususnya nelayan, meniru-niru cara berfikir orang
modern, dimana segala sesuatu dikalkulasi, segala sesuatu dinilai dengan
hitung-hitung, tukar menukar materi. Barangkali saya tak salah untuk memikirkan
hal tersebut, dimana yang sahaya lihat hanyalah permukaan, dimana awan bolong-bolong
diterpa cahaya, biru langit memantul dalam biru laut. di atasnya hiduplah
manusia-manusia yang getir, yang kaya akan pengalaman, dan mungkin ada satu
fase pada babakan hidup mereka terjadi suatu peristiwa fantastis, dimana
perubahan datang begitu cepat. ‘Pasang’ datang sebentar, lalu surut kemudian.
Ketika itu harta mulai menipis, alam pelan-pelan iba dan hanya mensisahkan
sedikit.
Pada dini hari, 24 Maret itu,
saya tiba di Maros, lalu segera bersiap-siap menuju Bandara pada pukul 03.30
Wita. Penerbangan ke Ambon pada pukul 04.50 WIta. Saya begitu kelelahan, badan
saya baringkan di sofa depan tivi, berharap mata istirahat sejenak, barang
sejam sahaja. Betul, saya bangun pada jam 3 lewat, mandi dan membangunkan adik
untuk mengantar ke Bandara. Degdegan juga rasanya berangkat menjelang subuh
hari, kesigapan sangat diperlukan, sedikit saja saya lengah dan lambat bangun,
saya pastinya akan ditinggalkan pesawat dan tiket saya menjadi hangus.
Di ruang tunggu Bandara
Hasanuddin, saya bertemu dengan David dan Rustam, tim WWF Jakarta yang juga
menunggu penerbangan ke Ambon. Mereka tampak sumringah ketika melihatku
melangkah di kejauhan. Memang, sudah lama kami tak bertemu. Pun ketika bertemu
di Jakarta, hanya sebentar saja, berbicara basa basi sekadar untuk menimbulkan
kehangatan. Pada subuh yang menggerutu itu, kami pun masuk ke pesawat dan
menuju Ambon.
Suasana bandara Pattimura menjadi
lain, atau hanya saya saja yang tidak betul-betul memperhatikan bangunan kota
ambon, yang merah dan kekuningan. Kami meninggalkan bandara menuju Kota Ambon,
ke rumah Rustam, teman kami yang masa kecilnya terpuaskan di lorong-lorong kota
Ambon. Kenangan-kenangan kembali bergelanyut, jalan-jalan poros bandara – kota
Ambon sudah lebar dan mulus, tapi bangunan-bangunan masih seperti 2011 lalu,
dengan pepohonan kelapa, semak-semak, dan satu dua gereja cantik yang tampak
relegius.
Di perjalanan saya mencari-cari,
letak nyata dimana kenangan itu aku simpan. Dan kutemukan akhirnya posisi
ketika pagi itu dia berjalan, dengan jilbab hitamnya, dengan keningnya yang
mengkilat. Di antara batu-batu krikil ia tak acuh dan terlihat keheranan.
Singkapan itu kemudian bersembunyi lagi dalam lubuk, mobil melaju ke kota.
Kami singgah sejenak di Rumah
Rustam, di pinggiran atas kota Ambon. Di sana kami berleyeh-leyeh, melepas kaos
kaki dan menghirup udara segar. di belakang rumahnya terdapat sungai kecil,
teronggok batang pohon sagu memotong jalur air sungai. Di tepi-tepi sungai juga
tumbuh liar pepohonan sagu. Saya pikir masyarakat harus mempertahankan pola
konsumsi karbohidrat berbahan lokal, semisal sagu. Upaya berasisasi yang
dipaksakan oleh pemerintah orde baru tak lain adalah pemaksaan atas kebebasan
memilih makanan. Yang justru menimbulkan krisis dimana beras semakin berkurang
dan mulut yang hendak makan bertambak banyak.
Itu satu hal. Pada sisa waktu
yang singkat itu, kami dipersilahkan menyantap hidangan buatan orang tua
Rustam. Berupa ikan baubara/kue yang dimasak dan yang digoreng. Dua-duanya luar
biasa nikmatnya. Ditambah sambal ambon yang tak kalah dengan sambal di
Makassar. David saat itu memilih menu ubi jalar sebagai pengganti nasi. Saya
memilih nasi hanya karena tidak terbiasa dengan ubi jalar. Hehehe.. sehabis
makan, kami ditawarkan lagi buah durian. Yang amboii rasanya. Luar biasa, aroma
buah ini menembusi dinding-dindingkeras berduri, masuk menusuk hidung. Jika
kita tak pernah menyantapnya, mungkin kita akan berpikiran bahwa aroma durian
serupa aroma comberan atau nasi basi.
Jam menunjukkan pukul 10.00 WIT,
kami harus bergegas ke Bandara, penerbangan ke Tual sekitar jam 12.30 WIT. Di
perjalanan, saya minta singgah di Waeheru, Balai Budidaya Laut (BBL) Ambon,
untuk bertemu Kak Umar. Kak Umar merupakan kenalan baik Bapak Hironimus,
pengusaha rumput laut Ambon. Namun saya tak menemukan Kak Umar, tapi memperoleh
nomor kontaknya. Kembali di perjalanan, saya mengontak beliau, “Kak, ada
nomornya Pak Hiron?” beliau menjawab, saya tak punya dek. Saya menerka-nerka,
apa gerangan penyebab Kak Umar terdengar bingung dengan nama Hiron? Hironimus
adalah orang yang pernah saya wawancarai terkait sejarah rumput laut di Maluku
Tenggara yang pada 2011 lalu telah memproduksi rumput laut olahan berupa chip kertas. Memang, Pak Hiron ketika
itu tampak jumawa dan meyakinkan. Itulah kenapa kementerian rela memberi
bantuan ke Bapak Hiron. Dan setelah diskusi dengan pihak-pihak pengembang
rumput laut di Malra, industri Bapak Hiron sudah tenggelam dan tak ada kabar.
Saya pun bertanya-tanya, sebegitu rumit kah gesekan-gesekan itu? Sebegitu
besarkah bualan, kepergian dan mungkin kematian?
Kami tiba di Bandara Pattimura
dan duduk-duduk di ruang tunggu. Rustam sudah menyumbat kupingnya dan tampak
asyik dengan lagu-lagu, David juga demikian, duduk dengan kepala tertunduk
lemas. Saya dengan terang menghirup suasana, melihat-lihat orang bermalas-malas
di sofa merah. tak lama juga kami menunggu, 10 menit sebelum jam 1 siang kami
sudah di atas pesawat wing air yang gerah, keringat keluar-keluar saja dan
aroma asin meruap-ruap di ruang bagan pesawat. Penumpang mengipas-ngipas,
berebut angin. Pesawat seperti berada ditungku perhitungan. Pramugari
senyum-senyum saja, berceloteh bahwa penumpang harap bersabar, kalau pesawat
sudah berangkat, ac akan berfungsi baik.
Lepas landas, keringat masih
menetes satu dua. Di samping saya seorang ibu-ibu Tionghoa. Ia masih gelisah
dengan suhu ruangan yang tinggi. Diambilnya koran di jok kursi lalu
dikipaskannya wajah hingga rambutnya terurai-urai. Saya pun asyik sendiri
melihat pulau Ambon dari atas, melintasinya hingga pulau itu tak tampak. Yang
tampak berikutnya hanya awan-awan yang semakin lama semakin membosankan. Perjalanan
menempuh satu jam lebih, saya memanfaatkan waktu itu untuk mengunyah novel
“orang asing” karya Albert Camus. Bercerita tentang seorang lelaki yang melihat
kenyataan dengan apa adanya, dan mencoba melepaskan diri dari kegelisahan
orang-orang sekitarnya. Orang yang terlihat asing itu punya gaya berfikir
sendiri, dimana kehadirannya di dunia menjadi sandaran. Kemudian menepis
hal-hal yang tak nyata dan tak masuk akal. Yang tak bisa ia nikmati seperti
seperti berduaan dengan pacarnya, ataukah bermandikan matahari di pantai.
Kehidupan pun menurutnya merupakan sesuatu yang absurd, sesuatu yang tak
berangkat dari hal-hal yang jelas dan terang. Ketika dia menjadi terang orang
lain pun menganggapnya sebagai sosok aneh-asing, yang ketika jiwanya dicari
kita hanya menemukan kekosongan.
Pesawat landing, langit begitu cerah, kaki menapak-napak di landasan lalu
mata tertumbuk oleh bangunan baru, bandara baru di Ibra, bukan di Bandara
Angkatan Laut Dumatubun, yang pada 2011 saya pertama kali menginjakkan kaki di
Malra. Bandara Ibra ini agak jauh dari kota, sekitar 1 jam perjalanan. Kami pun
disambut oleh “Panglima” WWF Indonesia untuk Maluku Tenggara, yaitu Om Yan
Manuputi. Dia datang bersama Taufik, staff WWF - ID juga.
Dalam perjalanan, kami melewati
jalan yang di sisi-sisinya mirip dengan suasana perjalanan di film-film
amerika, ketika hendak memasuki sebuah kelompok manusia yang belum
teridentifikasi dan dalam bayangan menyeramkan. Dan, ketika itu, saya hanya
mengingat-ingat, dan tertawa-tawa.
Idham Malik,
28 Maret 2014, Kota Tual
0 komentar:
Posting Komentar