Kami tiba di Sekretariat WWF
Indonesia site Kei pada pukul 14.30 WIT, Minggu, 23 Maret 2014. Jaraknya tak
jauh dari pusat kota, di sebuah kawasan kecil yang disebut Pokarina. Di sana
kami (Saya, David, dan Rustam) duduk-duduk di halaman belakang, bersama
beberapa staff lokal yang sedang bercanda-canda dengan logat Kei/ambon. Di situ
kami mencari angin, yang sesekali menyapu wajah, sembari mengomentari apa saja
yang tampak di hadapan, yaitu pohon jeruk, kerikil, keringat yang lengket, juga
tentang perjalanan sebelumnya yang panjang.
Di dalam kantor, sedang ramai
guru-guru dari berbagai sekolah dasar di Kei berkumpul untuk belajar memahami
kondisi alam kei dan permasalahan lingkungannya. Sesekali saya menengok ke dalam
kantor, melihat-lihat mimik ibu dan nona yang dengan hikmat mendengarkan
penjelasan pemateri. Mereka tenang dan jenaka, yang terdengar hanya getar
intonasi suara pemateri yang menggelambir turun.
Sehabis makan siang, kami
melakukan perjalanan pertama. kala itu kami ke Ngadi, sebuah desa di Kec.
Dullah Utara, melewati jembatan yang menjadi penanda batas kota Tual dan Kab.
Maluku Tenggara, melewati jalan kota dan juga pasar, dinding-dinding jalan
masuk kota berwarna senja, ada seruat magis pada kotak-kotak dinding, pada
patung burung yang menghadang kita di puncak. Tual terlihat lebih ramai di
banding Maluku Tenggara, kotanya lebih semarak oleh bangunan-bangunan kuno,
mungkin saja peninggalan Belanda.
Di Dullah Utara, kami memasuki
sebuah kawasan sepi, yaitu Kawasan Minapolitan Terpadu. Suasana dalam kawasan
jauh berbeda dengan suasana di luar kawasan. Banyak pohon dan terdapat
taman-taman yang tertata rapi. kantor polisi dan kantor tentara mengapit
batas-batas wilayah itu, satu dua polisi berjaga di pos-nya, begitu juga dengan
tentara. Saya mengira-ngira, apa kelebihan dari kawasan ini? Dimana tak ada
aktivitas perikanan, kapal teronggok-onggok di luar kawasan, kantor-kantor
berdiri megah namun dingin. Tak ada orang lalu lalang, tak ada mobil yang
terparkir, lantas, dijaga begitu ketat?
Di luar kawasan, Desa Ngadi, kami
memandangi laut, kapal nelayan tampak tidur di pinggir pantai. Konon,
kapal-kapal itu sudah tidur begitu lama dan karat-karat telah merajalela
mengelupas badan-nya. Kami hanya bertanya-tanya, dan Om Yan pun seperti
menyimpan banyak rahasia. Tampaknya ia bukan tipe pembeber, lautan informasi
masih luas tersimpan, memang tak mudah seseorang mengungkapkan rahasia suatu
kampung/kota pada orang-orang yang belum dikenal baik. Tapi dalam perjalanan
saya mendengar satu nama, dan nama itu saya jerat baik-baik, Tomi W.
Kami kembali ke kantor dan
membawa oleh-oleh gambar, gambar di hari pertama. satu gambar yang terus
mengganggu pikiran, yaitu pasir pantai yang terbungkus dalam sak semen,
jumlahnya puluhan. Sepertinya pasir-pasir itu sudah siap untuk diangkut dan
hinggap entar di halaman rumah siapa. Belakangan saya ketahui, setelah lima
hari di Maluku Tenggara (Malra), ketika kembali menelusuri jalan-jalan di
Dullah Utara, saya baru sadar bahwa aktivitas menambang pasir menguar di
sepanjang pesisir pantai. Gundukan pasir putih hingga jalan yang longsor akibat
kerukan - kerukan.
Membahas soal ini memang rumit,
dimana perut-perut warga juga diisi dari hasil pertukaran pasir ini. Kita tak
dapat dengan mudah menghardik-hardik bahwa aktivitas tersebut merusak
lingkungan. Persoalannnya bukan hanya berbicara tentang ekologi, tapi juga
tentang ekonomi, tentang kekuatan benteng keluarga dan sekolah anak-anak.
Mereka pun melakukannya dengan susah payah, dengan tenaga yang tak sedikit. Kita
pun tak dapat dengan mudah menuduh mereka sebagai kolot dan rendahan, walau
mereka mungkin tak tamat sekolah, dan tak punya pengalaman banyak di luar
pekerjaannya sebagai nelayan. Memang, ini juga ada kaitan dengan sumberdaya manusia
dan tentu juga ada hubungan dengan sumberdaya alam. Sumberdaya manusia terkait
dengan wawasan, keluasan dan kejauhan daya pikir, sementara sumberdaya alam
terkait kondisi alam, syarat-syarat materialnya yang terpenuhi untuk melakoni
aktivitas lain yang lebih menguntungkan dan lebih ramah pada alam. Saya tak
menemukan rumput laut terpasang di kejauhan laut, sebab angin tak berpihak pada
kawasan itu. Kala itu musim barat dan Dullah Utara berada di posisi timur pulau
dan lautannya sedang teduh-teduhnya. Jikalau teduh, penyakit rumput laut
menjangkiti lalu membuat pembudidaya jengkel. Mungkin, saat itu warga menutupi
kurangnya pendapatan akibat berhenti sejenak membudidayakan rumput laut, dengan
menambang pasir. Ah, melihat itu, menyeringai itu, kehidupan memang seperti apa
yang digambarkan oleh Albert Camus, seperti De Sisyphus.
Di kantor kami melakukan rapat
kecil-kecilan, membahas rencana esok dan lusa hari. saat itu kami mendapat
banyak sekali wejangan dari Om Yan dan Usy Mien. Usy terlihat terampil memaparkan
kondisi budaya dan sosial masyarakat Kei. Menurutnya, Orang Kei itu sangat
susah diorganisir. “Ketika kita menyatukan mereka dalam satu kelompok
(nelayan), mereka justru akan berkonflik,” ujar Usy. Sehingga jalan keluar yang
ditempuh dengan memasukkan pemahaman dan nilai-nilai konservasi ke
masing-masing kepala dan membiarkan saja mereka melakoni aktivitasnya secara
mandiri. “Itu lebih efektif, sebab mereka justru akan patuh dengan pemahaman
barunya. Dan tak usah kita berepot-repot membentuk kelompok,” tambah Usy.
Saya menggadang-gadang pernyataan
itu. Kira-kira untuk pembudidaya rumput laut, apakah terjadi hal serupa? Soalnya
saya ke Maluku Tenggara lantaran ingin mengamat-amati rumput laut, secara
teknis, situasi alam, serta kondisi sosial masyarakatnya. Tentang rumput laut,
Usy tidak berkomentar. Dia hanya bilang kalau pada hari Selasa, ada panen raya
di Desa Letvuan dan saya harus ikut.
Tentang indivualisme itu,
terdengar menarik, sebab menjadi sebuah paradoks pada kelompok masyarakat yang diklaim
sangat menghargai kekerabatan dan komunitas. Satu sisi mereka kuat secara hukum
adat, dimana hukum itu bersandar pada mitos dan petuah, tentang cerita
telur-telur yang berserakan dan berasal dari ikan yang sama. Satu sisi mereka
begitu sulit untuk disatukan dalam satu kelompok, untuk sama-sama berusaha,
menemukan solusi terhadap permasalahan bersama.
Saya tidak heran dengan pernyataan
tersebut. Sebab mereka adalah nelayan yang punya kapal masing-masing, saling
merebut dan mengadu nasib terhadap sumberdaya ikan di laut-laut Maluku
Tenggara. Sehingga, tak ada urusan dengan kerjasama. Yang menjadi urusan yaitu
bagaimana mereka tidak saja melampaui batas-batas adat. Contoh tindakan
melanggar tatakrama terhadap laut, yaitu penangkapan ikan dengan metode bius
atau bom.
Dua hari berikutnya saya
mendengar dua nelayan berdiskusi, bahwa di kampungnya ditemukan orang luar
pulau yang melakukan pengeboman di sekitar laut Kei. Mereka berang, dan
menuntut agar pengebom-pengebom ikan itu segera ditangkap. Dari situ saya mulai
paham begitu terikatnya para nelayan dengan adat dan nilai-nilai bijak yang
terkandung di dalamnya. Sebenarnya mereka sudah jauh lebih mengerti
dibandingkan dengan kita-kita yang tergolong orang luar dan bukan nelayan.
Mereka pun lebih khawatir bahwa aktivitas pengeboman yang pelakunya selalu
bersumber dari luar itu akan merusak sumber-sumber penghidupan ikan, lantaran
hanya ingin memperoleh banyak ikan dalam satu waktu. Nelayan Kei tidak berfikir
seperti itu, mereka lebih arif dalam memandang sumber-sumber daya ikan. Dimana
kelak mereka akan dihadapkan pada persoalan kelangkaan. Sehingga, mereka
melakukan adaptasi teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan keberlanjutan
masa depan kehidupan ikan-ikan.
Nelayan Kei hanya menggunakan
pancing ulur untuk menangkap Geropa (Kerapu). Dengan pancing ini, nelayan
menangkap ikan satu demi satu, dengan bersabar menunggui ikan yang bersembunyi
di balik batu-batu besar memakan umpan. Kadang nelayan memperoleh 10 – 15 ikan
perhari dan kadang nihil. Jika dijual ke pengumpul ikan segar (ikan hidup) di
Keramba Jaring Apung, Geropa jenis Tong Seng dapat dihargai Rp.340 ribu
perkilonya. Mereka sudah tampak senang dengan penghasilan seperti itu.
Terdengar kabar dari seorang
nelayan, bahwa mereka mengambil ikan yang berukuran di atas enam ons, jika
berat ikan kurang dari enam ons, maka nelayan akan mengembalikannya ke alam.
Secara ilmiah juga diakui bahwa kerapu yang masih berukuran di bawah 6 ons,
termasuk ikan yang belum dewasa atau belum memijah. Jadi, secara tidak
langsung, nelayan Kei telah memberi keluasan pada para ikan-ikan untuk memijah
(bertelur) terlebih dahulu agar laut-laut menetaskan mereka dan menjadi
ikan-ikan bebas lagi, sebelum mereka menyempurnakan dirinya di hadapan umpan
pancing ulur nelayan.
Setelah rapat, kami
berleyeh-leyeh dahulu di depan tivi, kemudian melanjutkan perjalanan malam hari
ke Pasir Panjang. Di sana terdapat penginapan yang dihadapannya terhampar
jejeran bakau dan laut. kata orang, pasir daerah ini sangat halus dan orang
selalu membawa pulang pasir itu (dalam botol aqua) sebagai oleh-oleh. Saya
heran dengan prilaku orang kota, yang dengan dalih oleh-oleh, telah
mengeksploitasi keindahan pasir itu.
Alangkah indahnya jika hanya alam
saja yang merekayasa mereka, tangan-tangan kita yang sok bersih sebenarnya
telah membawa duka-duka pada pasir, yang halus dan mungkin saja, nanti akan
menjadi kasar.
Tulisan ini sudah terlalu panjang
dan hanya bercerita tentang perjalanan sehari. Masih ada hari-hari berikutnya,
yang harus pula saya rekam. Okelah kalau begitu, semoga tulisan ini dapat
kembali mengingatkan saya kelak tentang keindahan Kei, kelembutan orang-orang
Kei, serta segala pesona mulai dari pasir, laut, karang, dan juga
matahari.
Selasa, 01 April 2014
Rumah Kecil, identitas Unhas
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar