Saya membicarakan kampus kali ini
bukan sebagai tempat belajar, tapi sebagai tempat berjalan. Melangkahkan kaki
di permukaan tanah, menyapu debu, menginjak rumput-rumput. Kaki melangkah pada
jalur-jalur yang mungkin sudah ratusan hingga ribuan kali saya lewati, dahulu. Jalur-jalur
itu pun sedikit menyimpan kenangan, akan ketergesaan, akan keinginan untuk
segera tiba di tujuan. Tapi, pada jalan-jalan belakangan ini, saya tidak ingin
cepat-cepat sampai, saya justru ingin sampai pada setiap langkah, pada ketika
mata terpesona pada objek daun, bunga, batang pohon, rerumputan, dan ketika
telinga sedang asyik mendengar desir-desir, gemericik-gemericik, kicau-kicau
burung, dan mungkin, kepakan-kepakan sayap kupu-kupu.
Saya memulainya bukan pada pagi
betul, tapi ketika matahari menghangatkan bumi dengan sudutnya yang lancip.
Udara saya hirup dalam dan menghembusnya perlahan, ku lihat juga beberapa
manusia kampus dengan baju seragam orange, yang semenjak awal pagi menata dan
merapikan tumbuhan, mengangkut-angkut sampah, menggeser-geser daun-daun yang
lepas dan terjatuh dari pohon. Saya mengamati mereka dan mereka seakan-akan tak
mengamati saya. Mereka mungkin mengamati orang lewat, orang yang sebentar lagi
akan berlalu lalang, begitu banyak.
Saya pun terus melangkahkan kaki,
mengaktifkan kamera dan mengambil beberapa gambar, gambar rumput, gambar taman
dan kebun, gambar pohon-pohon, gambar deretan pohon, gambar bunga, daun-daun
merambat. Sehari saja saya konsentrasi mengambil gambar, hari-hari berikutnya,
gambar-gambar itu hanya saya rekam di dalam ingatan, dimana ketika saya
menghirup nafas, gambar-gambar itu hadir dan menghiasi mata. Sayangnya, pada
hari-hariku yang telah lewat itu, saya belum sempat menanyakan pada orang yang
tahu, apa nama-nama pohon itu. Saya pun hanya tahu beberapa nama saja, seperti
pohon asam, ki hujan, palem, ketapang, beringin, jati, dan mahoni. Tentang
hewan, yang saya amati adalah burung-burung di sekitar pepohonan beringin di
lapangan dekat fakultas pertanian, jalur-jalur hutan antara kehutanan menuju
farmasi, serta di rerumputan dan danau buatan di belakang Asrama Mahasiswa
(Ramsis) dan dekat jalan sahabat, di situ saya melihat burung belibis melompat,
dan di danau saya melihat ikan gabus dengan tenang berdiam dalam air.
Lalu, apa yang saya peroleh? Pada
langkah-langkah itu saya mendapatkan kebahagiaan. Itu jawaban final dan
subjektif. Kebahagiaan itu diantar oleh suasana lingkungan-alam yang bebas,
membuat pikiran kita pun menjadi bebas. Bersama ayunan tangan dan gerak ritmik
kaki dan hirupan udara di alam, kita sebenarnya mencoba untuk menjelajah keluar
dari kebisingan, sejenak menghindari dari kotak-kotak tembok persegi, batu-batu
yang telah remuk dan dibentuk, kemudian dipoles agar tampak indah. Sisi
manusiawi kita telah berususah payah memanusiakan tembok, dengan memberi
ornamen, memberi warna agar tampak meriah atau kalem, namun tembok tetaplah
benda mati dan kaku, semakin kita amati tembok itu, sisi kemanusiaan kita pun
kian guyah.
Apalagi, kemanusiaan kita secara
sengaja maupun tidak sengaja terbatu-kan dan termesin-kan, seiring dengan
interaksi kita yang intens dengan jalanan, tembok-tembok, mesin-mesin dan
teknologi komunikasi. Sehari-hari mata kita diguyur oleh benda-benda mati,
mulai dari kamar tidur, kita bangun melihat tembok-tembok dan mesin handphone,
lalu ruang-ruang rumah, kemudian jalanan yang sibuk dan ribut, lalu kantor
kerja yang bagai sel-sel tahanan. Telinga kita bergaung-gaung suara mesin
kendaraan, suara televisi, suara musik, yang semuanya dari teknologi yang
demikian canggih. Kita pun mulai berdiskusi via chatting facebook, teknologi
merubungi kita, bahkan mempengaruhi cara berkomunikasi kita. Akibat dari itu
semua, tak pelak lagi kita mengalami kemorosotan sensitifitas terhadap riak-riak
alam, suar-suar angin, hingga kita tidak lagi merasakan sesuatu yang sublim
ketika memandangi pohon, antara melihat pohon dan melihat mesin kita merasakan
hal yang sama. Padahal, yang hidup dan yang mati tentulah jauh berbeda.
Dalam sehari-hari ketika jalan pagi, saya baru
sadar bahwa hidup kita harus diperbaharui setiap saat. Hidup kita butuh
pandangan dan perspektif yang berbeda untuk lebih memahami apa itu hidup?
Perjalanan hidup? Apa yang kita ingin capai? Serta bagaimana kita manusia dapat
saling memahami, dapat lebih paham habitat kita, spesies lain, bumi tempat kita
bernafas. Kita akan kesulitan untuk berinteraksi, kesukaran untuk memahami
lingkungan, jikalau kita sehari-hari hanya berkutat dengan perangkat keras,
serta pada buku-buku yang mengajarkan kita mencintai pakaian, mencintai
benda-benda, mencintai materi dan kekayaan.
Dan dalam hari-hari belakangan
ini, dalam pengalaman mengamat-amati
sekitar, saya merasa lebih damai dan lebih dekat dengan alam. Hal itu
tiba-tiba menimbulkan rasa cinta, bukan hanya pada alam, pada pepohonan, pada
kicau burung, tapi juga pada hal-hal lain yang menyentuh, seperti simpati dan
kasih sayang manusia.
Pada jalan-jalan itu, tanpa saya
sadari indra saya, baik itu mata, telinga, kulit atau pandangan, pendengaran,
perabaan, serta perasaan, kian terasah. Saya tiba-tiba dilatih oleh alam untuk
meresapi, untuk menghayati, untuk menggunakan indra sebaik-baiknya. Saya tak
tahu, bagaimana membahasakan rasa dan sensitifitas itu. Tampaknya sedikit
bersinggungan dengan aspek psikologi- mental, dan mungkin metodogis. Mental
yang bebas akan memudahkan kita untuk mencerapi apa-apa yang tampak,
gejala-gejala yang muncul atau sensasi-sensasi. Pada Mata dalam kedalaman
pengamatannya, menghadirkan gambaran-gambaran baru pada diri kita. Pohon-pohon
bukan lagi sekadar pohon yang tumbuh begitu saja atau karena dirawat, tapi
pohon telah menjadi mahluk hidup, mahluk yang bernafas dan mengalami
perkembangan. Pohon dalam pandangan baru kita adalah sesuatu yang berdegup,
sesuatu yang hidup dan punya nilai. Dan akhirnya akan melahirkan kesadaran
bahwa pohon pun harus dihargai, harus diperlakukan dengan patut. Pohon itu,
saya tak tahu, tapi saya merasa bahwa dia juga merasa, dia juga merasakan
kehadiran kita.
Tampaknya, dengan merendah dan
mencoba mendengar, mencoba untuk membebaskan diri dari egoisme spesies kita (Homo sapiens-red), maka kita telah masuk ke zona baru, zona
kesalinghubungan, zona interaksi dan persahabatan dengan alam, dengan spesies
lain. Kita pun kembali ke asal, kembali menjadi manusia abad lalu dimana
nenek-nenek kita dengan rutinnya melatih diri meresapi alam. Saya membayangkan
nenek kita bangun pagi-pagi, berjalan pagi untuk ke sawah ataukah ke tambak,
dengan gesit mengalirkan air ke sawah-sawahnya, ataukah nenek yang lebih jauh
yang belajar keras memahami cuaca, untuk menentukan hari baik untuk berburu,
belajar keras untuk memahami bebauan daun, untuk mengetahui mana daun yang
dapat dimakan dan mana daun yang dapat merobek sel dan meracuni.
Tentunya, dari pengalaman berkenalan
dan bersentuhan dengan alam ini, kita dan alam sama-sama membuka diri hingga
kita sedemikian sadar akan makna hidup. Bahwa dalam menjalani hidup, yang utama
adalah kualitas hidup, kualitas saling menghargai, menghormati antar sesama
mahluk hidup. Kita pun merongrong alam hanya untuk kebutuhan vital saja, agar
alam tetap dapat meregenerasi diri, menyesuaikan diri terhadap
perubahan-perubahan yang terlanjur kita sebabkan. Setidaknya, suara Mahatma
Gandhi kembali bergaung di sini, bahwa bumi hanya dapat menampung kebutuhan
ummat manusia, dan tak sanggup menanggung keserakahan manusia. Juga suara Arne
Naess, yang mengatakan bahwa yang kita inginkan dalam hidup adalah kualitas
yang bersumber dari nilai-nilai, agama, moralitas, bukan standar hidup yang ditopang
oleh kepemilikan materi. Setidaknya Arne Naess menunjukkan bahwa, akar
persoalan lingkungan itu pada tingkah laku-etika manusia, pada gaya hidup
manusia yang tinggi dan keinginan-keinginan yang absurb dan membosankan.
Idham Malik
Tamalanrea, 22 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar