Tebing dan deretan bukit itu,
dengan hamparan sawah menghijau itu, sebenarnya sudah lama terdengar
kemahsyurannya. Ya, Rammang – rammang pun merupakan tempat suaka yang cukup
diminati oleh kawan-kawan saya, kawan yang saya kenal berwatak bebas, tak
senang otoritas, sukanya hal baru dan jalan-jalan. Informasi dan bisik-bisik
tentang Rammang-rammang seperti berlalu lintas, beberapa kali saya diajak, tapi
saya tidak sempat dan kadang juga saya tidak mau. Saya berfikir,
Rammang-Rammang sama saja dengan pemandangan yang hampir tiap hari saya lihat
di Maros, yaitu bukit-bukit, deretean tebing.
Pada Sabtu, 23 Agustus 2014, saya
kembali diajak oleh junior-junior di koran kampus-identitas Unhas untuk mengunjungi Rammang-Rammang. Pada hari itu,
sebenarnya ada hal penting yang ingin saya kerjakan atau ingin saya pelajari,
tapi karena seliweran informasi sebelumnya yang menggiur, maka saya pun dengan
sedikit enggan mengiyakan. Tapi, motivasi mendasar saya adalah untuk
memperlebar penghayatan saya terhadap alam, yang sebelumnya telah saya pupuk
pelan-pelan ketika berjalan-jalan di kampus Unhas, saban pagi.
Berangkatlah kami bertujuh, saya,
Ria, Fadli, Heri, Latif, Diana, dan menyusul Eca yang berangkat dari rumahnya
di Sudiang. Kami menempuh sekitar lebih dari 30 kilometer dari Tamalanrea ke
Maros Utara, tepatnya pada jalur masuk ke lokasi eksplorasi Semen Bosowa. Tak
jauh dari jalur masuk Bosowa, kami berhenti di dekat jembatan dan melihat
sungai dangkal yang terdapat batu besar. Batu itu bukanlah batu sungai, tapi
merupakan bagian dari batu tebing, yang mungkin dahulu terlempar oleh letusan
gunung, ataukah terderet arus kencang pada saat sebagian besar daratan Maros terendam
air pada masa pencairan es (glasial), ataukah batu-batu itu telah terkikis oleh
masa dan air, dan yang tersisa hanya potongan-potongan kecil, yang jika
dibandingkan dengan tebing-tebing kars itu.
Kami bertujuh sepakat untuk
menyewa perahu jolloro, untuk mengantar kami menuju lebih dekat ke deretan
tebing. Kami pun dengan girang masuk dan duduk di atas perahu, ponsel kami
lebih sibuk dibandingkan kami-nya sendiri, hahaha.. Latif mengabadikan-merekam
perjalanan dari depan, ria sibuk meminta Heri untuk memotret dirinya yang lagi
duduk manis di pangkal perahu, Eca yang badannya agak bongsor itu
bergerak-gerak sesuai arah kameranya dan membuat perahu bergoyang, pada
perjalanan itu, saya pun sesekali berdiri di atas perahu, melihat lebih tinggi
pada tebing-tebing itu, gua-gua yang hitam dan misterius, serta deretan nipa
dan bakau di sisi kiri-kanan sungai.
Saya membayangkan sungai itu,
bagaimanakah dahulu sungai ini, sejak kapan sungai ini terbentuk? Dari yang
saya dengar dari pakar kars, mengatakan bahwa gunung kars yang strukturnya
berupa batu kapur itu punya kemampuan untuk menyimpan air. Sehingga, saat hujan
turun di atas pegunungan kars, bulir-bulir airnya meresap masuk melalui
pori-pori gunung, entah itu telah dilapisi tanah atau masih berupa padatan batu
keras nan berlubang. Air bergerak melalui cela-cela dalam gunung, hingga tiba
di telaga ataukah tertampung pada suatu tempat di dalam gunung itu sendiri,
yang mungkin kita akan temukan ketika kita mencoba menelusuri gua-guanya. Saya
yakin, sungai ini, yang airnya tampak abadi ini, juga bersumber dari mata air
yang keluar dari gunung.
Air yang kami lalui itu, eh,
kumpulan H2O yang kami melaju di atasnya itu, saya jilati dan
terasa asin. Tingkat keasinannya sedang atau payau. Berarti cukup kuat air laut
masuk ke sungai kecil itu, dan saat itu air sedang surut, jika air pasang dapat
dipastikan bahwa kadar garam akan meninggi seiring bertambahnya NaCl yang
bergumul dari laut. tapi, orang-orang kimia yang tiba-tiba mereduksi air
menjadi H2O itu apakah memikirkan bagaimana kaitan antara struktur
dasar air itu, warnanya yang hijau, airnya yang asin, ikan-ikan yang menangkap
oksigen atau kita yang awam sebut sebagai udara itu di dalam air? Terus bagaimana
perahu kita dapat begitu gampang mengapung dan kita berdelapan dapat dengan
aman duduk-duduk di atasnya?
Pertautan-pertautan itu
menimbulkan ‘tremendum et fascinosum’,
yaitu rasa getar pada misteri, menakutkan dan memesona. Tapi saya tak yakin,
kita manusia modern terlalu sibuk mengurus-urusi hal-hal yang partikular. Kita
mulai melakukan penyelidikan hingga ke dasar dan misteri itupun tersingkap.
Kita pun akhirnya kagum dan puas, setelah itu rasa pesona memudar. Kita tak
lagi menaruh rasa hormat pada air sebagai sesuatu yang suci. Kita sejak kecil
mulai diperkenalkan oleh guru-guru kimia kita, bahwa air itu adalah H2O.
Dengan jiwa anak-anak saya,
dengan jiwa hewaniah saya, mulai mengamat-amati tanah-tanah basah di antara
pepohonan nipah (Nypa), mulai
melihat-lihat tumbuhan bakau (Rhizophora
sp) yang beradaptasi dengan air dan lumpur, dengan akar yang melengkung dan
seperti mengangkat tumit, akarnya yang naik itu memiliki kemampuan untuk
mengeluarkan garam. Nipa dan bakau, serta sesekali saya melihat pohon api-api (Avicennia) merupakan tumbuhan mangrove
sejati, yang relatif terisolasi secara taksonomi dari komunitas daratan.
Keberadaan mangrove di sisi-sisi sungai itu, tentunya berperan penting untuk
keberlangsungan ekosistem di kawasan estuari tersebut, mangrove menjadi salah
satu bagian yang menghidup-hidupi keseluruhan sistem. Pada mangrove-lah
hewan-hewan biasa berteduh dan mencari makan, di sini siklus hidup berlangsung,
ikan besar memakan ikan kecil, kepiting mencari ikan dan udang, udang mencari
plankton, tiram-tiram mencari unsur hara, zooplankton mencari phitoplankton.
Dan akar-akar mangrove menstabilkan kualitas air, menetralisir atau
menstabilkan bahan-bahan yang berlebihan seperti nitrogen dan phospat,
menghasilkan udara yang segar karena mangrove juga bernafas dan mengeluarkan
oksigen, menahan lumpur agar tak jauh ke dalam.
Ah, saya tampaknya telah membahas
terlalu jauh, tapi saya senang melihat buah bakau yang panjang dan mirip kacang
panjang itu bergelantungan di ranting-ranting bakau. Saya pun senang menikmati
dan memikirkan kompleksitas ini, kompelksitas antara bebatuan, air, tumbuhan
dan hewan-hewan, yang diramu oleh kesadaran manusia yang melihatnya. Manusia
yang dalam paradigma ilmu pengetahuan empirik dianggap juga sebagai hewan,
hewan yang berfikir, Homo rationale. Tapi
bagaimana kah kaitan antar ini semua? Kaitan antar entitas-entitas yang berbeda
tingkatan, kualitas atau eksistensinya.
Batu, air, tanah, serta
unsur-unsur di dalamnya adalah benda mati atau pelikan, ia sepenuhnya
dipengaruhi oleh dunia luar-eksternal. Sehingga sangat determinan atau sesuai
dengan hukum kausalitas ilmiah. Batu tak punya daya untuk berkembang, air tak
punya daya untuk tumbuh, bergerak sesuai keinginan dari dalam, serta tanah
hanyalah kumpulan dan rangkaian unsur-unsur yang saling bertaut, tempat nutrien
tempat tumbuhan memperoleh makanan. Sementara tumbuhan, dari dalam dirinya
terdapat potensi untuk tumbuh, hingga berbuah, dan buah itu kembali menebar
benih baru. Pada tumbuhan terhadap unsur hidup yang tak terjelaskan.
Reaksi-reaksi kimia dan fisika tak cukup menjelaskan fenomena pergerakan dan
pertambahan ukuran pada tumbuhan. Dimana tumbuhan selalu bergerak mengikuti
matahari, walau pergerakannya sangat perlahan dan tentu, metabolisme dalam tubuhnya
sangat perlahan.
Bagaimana pula dengan hewan, umur
hewan tak selama tumbuhan-tumbuhan kayu itu. Sebab proses-proses dalam tubuh
hewan (metabolisme) bergerak demikian cepat. Tapi, pada diri hewan, telah
dikaruniai kemampuan untuk bergerak sesuai kehendak dan selera, tapi masih
dibatasi oleh naluri memangsa atau menghindari pemangsa. Hewan telah memiliki
kesadaran atau kognisi, tapi masih demikian kabur. Mereka sadar bahwa ada
organisme atau entitas lain di sekitarnya, melalui persepsinya, perasaan, intuisi
dan panca indranya. Namun, hanya sebatas itu saja kesadarannya. Hewan tak
pernah berfikir untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan-kebuntuan dan
mengatasi problem-problem alam dengan lebih kreatif. Mereka seperti dikaruniai
alam untuk mengambil apa saja yang ada di alam. Nah, ketika makanannya sudah
tidak ada di alam, atau mereka kesulitan mengikuti tradisi atau kesadaran
nalurinya, mereka pun tersingkir dan punah.
Lantas, manusia, menurut E. F. Schumacher, filsuf kontemporer Inggris, manusia adalah kesatuan antara itu
semua, di dalam diri manusia, terdapat unsur mati (fisika, kimia-eter), sifat
tumbuhan (astral-biologi), sifat hewan (jiwa-cognition), dan kesadaran (ruh-conciousness).
Pada manusia terdapat kesadaran akan dirinya, akan potensi dirinya, akan kecemasan-ketakutannya,
akan rasa, gairah dan bahagianya. Kesadaran akan sejarah (makna), masa kini
(nilai), dan masa depan (maksud). Betul, manusia menempati posisi yang tinggi
diantara susunan hirarkit, pelikan, tumbuhan, hewan, manusia. tapi justru karena
itulah, maka manusia harus menghormati entitas-entitas lainnya. Manusia harus
bersyukur diberkahi oleh sesuatu yang paling halus dari entitas-entitas yang
lain (kekuatan di dalam-batin), dan manusia memiliki kemampuan untuk memperkuat
potensi batin itu melalui proses belajar (pendidikan), melalui tradisi, budaya,
ajaran moral dan agama. Dengan kesadarannya itu, semestinya manusia dapat lebih
sadar terhadap lingkungan, sadar bahwa pada masing-masing spesies dan alam
memiliki nilai intrinsik dalam dirinya dan diperlakukan dengan sebaik mungkin.
Dalam kelembutan manusia, mampu melihat dan menghayati hal-hal yang abstrak dan
kasar pada mahluk lain. Sementara mahluk lain hanya dapat mengetahui, tapi tak
mampu menghayalkan kita sejauh kita menghayalkan mereka.
Tampaknya sudah terlalu jauh,
pada perjalanan itu, kami singgah dan mendaki - menurun hingga tiba di telaga
bidadari. Air jernih dan segar terkumpul pada telaga itu. Peluh kami pun
terlepas dan teroksidasi oleh angin. Ada rasa bebas yang kami rasakan. Begitu
halnya ketika kami tiba di Desa Berue’, kami dikelilingi bukit, dengan hamparan
sawah yang telah panen, dan kolam-kolam yang sedang istirahat memelihara ikan.
Tak lama kami di sana, hanya berjalan-jalan di pematang, menghirup udara segar,
mengambil gambar dan foto bareng, lalu kami kembali ke perahu.
Di perahu kami berdiam diri, kami
tampak merenung-renung, menghayal, sebagian teman tertidur. Dan dalam benak
saya terlintas senyumannya. Dan membayangkan dia ada di sampingku, menemaniku
ke desa itu, ke telaga itu.
Poncol, Jakarta Selatan
26 Agustus 2014
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar