Sejak pertarungan Pilpres 2014
ini, terdapat beberapa media yang santer memberitakan isu-isu miring dan
menyesatkan. Persepsi tentang kata ‘menyesatkan’ barangkali akan berbeda pada
setiap orang, sangat ditentukan oleh wawasan dunianya, tempatnya
bergumul-bergaul, dan cita-cita dan harapan masa depannya. Namun, izinkan saya
untuk memaparkan dan menjelaskan berdasarkan subjektivitas saya, dengan latar
belakang jurnalis kampus, pecinta sastra, dan senang mencicipi karya filsafat.
Terdapat dua media yang paling
jahil dalam memberitakan sosok-sosok tertentu, pihak-pihak tertentu yang
dianggap membahayakan, dianggap jahat dan harus dilawan. Yaitu Obor Rakyat dan
VOA – Islam. Obor Rakyat telah mendapat reaksi keras dari warga Indonesia dan
telah dihentikan, sedangkan VOA – Islam masih aktif dan menebar berita-berita
fitnah melalui media sosial kita. Memang, sebagai pembaca, berita-berita
tersebut tidak terlalu menganggu, karena kita dapat membaca hal-hal lain yang
lebih menarik, yang lebih rasional dan lebih sesuai dengan kebutuhan kita.
Tapi, tetap ada kekhawatiran bahwa berita-berita tersebut berpotensi untuk
menimbulkan pecah belah warga dengan secara terus menerus menebar kebohongan,
imajinasi liar, minim verifikasi, hanya asumsi-asumsi.
Berita-berita VOA-ISLAM mendasarkan
produksi beritanya hanya pada pandangan dan asumsi, bukan berdasarkan fakta dan
data. Sangat minim mekanisme dan disiplin verifikasi dalam penyajian berita.
Jauh dari skeptisisme dan keberimbangan. Yang utama adalah kehebohan dan
bumbu-bumbu. Tujuan dari pemberitaan itu adalah untuk membangun opini publik
dan menebar kebohongan. Beruntung, karena kebohongan-kebohongan itu hanya
diyakini oleh sebagian orang. Bagi orang-orang yang berakal sehat pasti akan
mengejar berita itu dan mempertanyakan data-data, fakta-fakta dan sumber
informasinya. Namun, jika hal ini dibiarkan terus menerus, seperti prinsip
Hitler waktu menghantui Eropa, kebohongan yang disebar seribu kali akan menjadi
kebenaran.
Gambar Ulil dalam Situs VOA - Islam
Berita-berita tersebut bermaksud
untuk menebar kebencian pada pihak-pihak tertentu. Kebencian menjadi bahan
bakar berita, tujuan dari kebencian demi kebencian tersebut tak lain
diperuntukkan untuk merekatkan persatuan golongannya dalam Islam. Ketika
terdapat musuh bersama diantara kita, secara tidak sadar kita menjadi semakin
kuat dan bersatu untuk menghancurkan musuh. Berita-berita media tersebut selalu
menampilkan hal-hal buruk kepada lawan, semua yang dilakukan lawan selalu tidak
benar, dan menampilkan hal-hal baik tentang golongannya. Segala sesuatu tentang
golongannya adalah baik. Sehingga, yang terjadi adalah demarkasi, kita dan
mereka, kita yang baik dan mereka yang jahat. Media seperti ini berpotensi
menebar permusuhan dan memecah belah masyarakat.
Salah satu strategi media-media
seperti ini Menurut Jalaluddin Rachmad dalam kumpulan essai "Reformasi Sufistik" yaitu pemberian atribut-atribut buruk pada pihak yang dianggap
musuh. Tindakan tersebut sebagai upaya untuk mendehumanisasi pihak yang
disudutkan. Waktu
Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, dia berulang kali diberitakan sebagai
sosok Cina penghisap darah, Kapitalis, komunis, liberalis, dan lain-lain. Beragam
cap buruk disematkan pada Jokowi, dan hal itu hanya bersandar pada
asumsi-asumsi kabur dan menyesatkan. Sama halnya dengan berita Mark Zuckerberg
yang datang ke Indonesia dan bertemu dengan presiden terpilih Jokowi dalam
VOA-Islam terbaru. Dalam berita tersebut digambarkan Mark sebagai Yahudi yang
membawa pesan-pesan Yahudi dan maksud Yahudi Internasional menguasai Indonesia.
Padahal, VOA-Islam menyebar informasi-informasi buruknya itu pada
dinding-dinding facebook. Contoh lainnya pemberian status Sepilis (Sekularis, pluralis, libaralis) pada Ulil Absar Abdalah. Saya tidak membela Ulil, tapi cara-cara VOA-Islam dalam mendehumanisasi Ulil dengan penggambaran Sepilis (imajinasi kita tertancap pada penyakit sipilis-kelamin), sangatlah kejam.
Pemberian status yang merendahkan itu juga dapat
berakibat pada kekerasan simbol dan fisik. Orang yang telah disematkan status
buruk padanya, berarti dapat pula diperlakukan buruk, karena orang tersebut
tidak lagi dianggap sebagai manusia sebagaimana manusia yang beradab, tapi
manusia yang memang harus diluruskan atau dimusnahkan. Dia seperti duri yang
harus dicabut untuk menghentikan rasa sakit.
Kekhawatiran lain yaitu tidak
adanya tindakan untuk mengantisipasi berita-berita buruk seperti ini, yang
sejak kemunculan media sosial terus menerus menghiasi dinding-dinding facebook
kita dan kemudian pelan-pelan meracuni pikiran kita. Membuat pandangan kita
menjadi sempit dan membuat persaudaraan dan persahabatan menjadi permusuhan dan
kebencian, lebih hanya karena perbedaan pendapat, perbedaan golongan dan
pandangan dunia. Parahnya lagi, media seperti ini menggunakan atribut-atribut
Islam, dimana Islam digambarkan dengan kaku, keras, pembenci, penghasut, dan
Islam menjadi agama yang tidak bersahabat. Padahal tujuan dan cita-cita agama
Islam yaitu membawa kedamaian di tengah-tengah masyarakat, memenangkan akal
dibandingkan nafsu, menegakkan keadilan di muka bumi.
Kamis, 16 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar