Sejauh ini saya merasa berdosa,
bukan karena berbuat maksiat, tapi karena diam. Ya, kadang-kadang bahkan
seringkali mendiamkan sesuatu yang sebenarnya harus saya ungkit, minimal dengan
ungkitan kekesalan, gerutu bahwa ada yang tidak beres di sekitar kita, ada yang
ganjil dan mesti diluruskan atau digenapkan segera. Kita selalu bersembunyi
dalam diam kita, kita pura-pura tidak mengerti bahwa yang tampak di hadapan
kita itu adalah kesewanang-wenangan.
Harus saya akui bahwa
kesewenang-wenangan itu hadir dalam keseharian, dan entah karena apa hati atau
perasaan itu sudah begitu pejal dan tak mampu lagi untuk sensitif merasa,
apalagi tergerak untuk membantu. Saya sudah lupa kapan saya mencucurkan air
mata sebagai bukti bahwa saya bersedih terhadap kesewenang-wenangan yang dimana
saya diam terhadapnya.
Foto : Nur Ahyani
Mungkin kawan-kawan juga begitu,
mungkin saya tidak sendiri, mungkin kita selalu diam. Mungkin kita hanya
berbicara ketika kita butuh, ketika kita lapar, nah pada saat kita kenyang kita
akan diam dan akhirnya hanya membicarakan hal-hal yang sepele, yang kita
senangi dan melupakan hal-hal yang berbau lumpur, berbau besi karat dan daki.
Jangan-jangan kita bersuara
seperti suara keledai, hanya bersuara ketika mau makan atau ketika kesakitan?
Atau jangan-jangan kita bersuara ketika kita ingin disuap, atau bersuara
sekadar untuk permainan saja, permainan wacana agar kita dapat melanjutkan
hidup sendiri. Kita memilih-milih objek yang dibicarakan, kita membuat pagar,
bahwa suara saya hanya tentang ini, bukan tentang itu. Urusan si miskin hanya
milik ilmuan sosial dan tugas wartawan, bukan milik kita yang saintis misalnya.
Wartawan dan ilmuan sosial pun memilih-milih objek bicara, hanya bicara terkait
kepentingan tertentu, projek tertentu. Ia dan saya pun pada dasarnya sadar
bahwa sering terjadi kesewenang-wenangan di hadapan kita.
Saya merasa berdosa karena selama
ini saya banyak diam. Diam melihat orang kelaparan, diam melihat orang
dijambret, diam melihat anak-anak kecil kesulitan bekerja di jalanan. Saya pun
tak tahu hendak bicara sama siapa, dan mungkin itu juga penyebab saya diam.
Teman-teman bicara kita kadang orang-orang yang tak pusing dengan debu-debu dan
ketimpangan. Kita bicara pun sekadar memenuhi fitrah manusiawi kita, yaitu
saling bertukar informasi, bercanda, mengobati jiwa kita untuk mendengar
kisah-kisah orang lain. Seperti menurut Witgenstein, bahwa komunikasi pada
dasarnya adalah permainan bahasa yang bertujuan untuk menyampaikan informasi
dan memudahkan makna diterima oleh subjek yang lain. Komunikasi adalah
kebutuhan kita sebagai manusia sosial, manusia simbol, manusia ekonomi, dan manusia-manusia
lainnya. Tapi kadang-kadang sebagai manusia simbol, kita pun diam terhadap
informasi-informasi tertentu. Kita diam pada informasi yang akan mengancam
kita, kita takut membeberkan informasi dan bicara terkait hal-hal yang akan
mencelakakan kita, walau ketika informasi itu dikeluarkan justru akan
menyelamatkan pihak-pihak lain.
Untuk itu, saya meminta maaf
dengan diam saya. Saya baru sadar bahwa diam tidak selamanya berarti emas. Diam
bisa berarti setuju, seperti diamnya seorang gadis ketika dilamar seseorang.
Berarti dengan diamnya kita, kita secara tidak langsung menyetujui
kesewenang-wenangan itu. Ali bin Abi Thalib pun pernah berkata, bahwa
kesewenang-wenangan adalah hasil kerjasama antara yang menindas dan yang
tertindas. Ketidakadilan tidak akan terjadi, jika yang merasa dirugikan hanya
diam-diam saja dan tidak melawan. Ungkapan menantu Rasulullah itu seperti
menampar muka kita.
Ke depan saya pun harus belajar
untuk bicara, sepahit apa pun hasilnya, saya harus bicara lewat oral maupun
lewat tulisan, terhadap setiap keganjilan, kecemasan-kecemasan yang muncul.
Tentu, setelah bersuara kita dituntut untuk berbuat. Berbuat semampu kita. Lalu
mengorganisir, membagi kegelisahan ke banyak orang, agar orang lain juga
bicara, tidak diam. Tidak membiarkan kesewenang-wenangan menampar mukanya dan
dia hanya membisu.
Maros, 13 Oktober 2014
0 komentar:
Posting Komentar