Sungai telah
berbuat banyak pada peradaban. Peradaban besar yang kita kenal pun selalu
berdekatan dengan sungai, kita mengenang peradaban Hindus yang dirayapi sungai
indus, peradaban mesir kuno yang lekat dengan Sungai Nil, peradaban Cina
berhadapan dengan Sungai Kuning serta peradaban Irak yang diapit dua sungai
besar, yaitu Eufrat dan Tigris. Kita pun terpesona oleh kemolekan Venesia dengan
lika – liku transportasi sungainya, kagum dengan pantulan senja merah sungai Seine di Paris, ataukah rintik hujan di Sungai James yang mengilhami kekuatan ekonomi
Kerajaan Inggris.
Namun,
sungai pun tak lain serupa gurat sejarah, yang di dalamnya terdapat keserakahan
manusia. Sungai tergerus laju peradaban yang bersilangan, antara kemurungan dan
kebahagiaan. Seperti genangan hitam tinta buku-buku perpustakaan Bagdad pada
sebuah sungai, seperti matinya ikan-ikan pada muara sungai Porong Sidoarjo.
Ataukah abrasi pada Sungai Bengawan Solo dan berubahnya warna hijau pada Sungai
Citarum Jawa Barat, ataukah melubernya air Sungai Ciliwung hingga ke
beranda-beranda warga Jakarta.
Jika sawah
sebagai organ-organ tubuh sebuah kota, maka sungailah urat nadinya. Yang
menggemburkan tanah-tanah, yang melegakan dahaga para petani. Tapi, kini sungai
di kota hanyalah sebagai saluran, medium gerak yang membawa kotoran-kotoran
kota untuk diambangkan di samudra. Sungai pun kehilangan elan vitalnya sebagai
sumber air minum yang bersih, atau sekadar sebagai air siram tanaman. Air
sungai kota yang jorok hitam legam itu pun tak dapat lagi digunakan untuk
sekadar menyiram jalanan yang berdebu. Lantas, bagaimana kah kondisi sebenarnya
sungai kita, tepatnya sungai yang ada di Makassar ini, Sungai Tello dan
Jeneberang? Saya tak dapat menjawabnya, saya butuh penelitian tentang sungai-sungai itu, menelusurinya dan mencatat segala hal di sepanjang jalan. Semoga di masa yang akan datang, saya diberi kesempatan untuk melakukan penelitian itu. Pada tulisan kali ini saya hanya membahas garis besar tentang problem sungai di Indonesia.
Sungai - sungai adalah sejarah panjang kota-kota yang bertengger di tepiannya. tentang
air yang segar dan dapat memuaskan dahaga dengan menyentuh air sungai tinggal
kenangan. Kini sungai hanyalah orkestra kotoran keserakahan manusia, yang tak
jemu-jemu mengkonsumsi dan membuang. Walau tak dapat dipungkiri, sungai tetap
menjadi sokongan air minum warga, meski telah disterilkan berkali-kali, tentu
dengan biaya yang dahsyat. Bagaimanakah
menimbulkan kesadaran warga agar sopan terhadap sungai? Siapakah yang paling
bertanggungjawab dalam penangan sungai? bagaimanakah sikap kita terhadap
sungai?
Kebiasaan
membuang sampah di sungai, tak dapat dipungkiri sebagai akibat semakin
tergantungnya kehidupan manusia oleh bahan baku produksi pabrik, khususnya yang
berbahan plastik. Sebut saja, pembungkus sabun colek, pembungkus krupuk
jajanan, pembungkus sikat gigi, sandal bekas, kantong-kantong plastik, hingga
pakaian-pakaian bekas yang kainnya sangat lama untuk terurai. Sampah-sampah ini
pelan-pelan menumpuk, di sudut-sudut sungai atau di tengah sungai jika air
sedang tak beriak atau terhalangi oleh bambu dan batang pohon.
Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto turun mengait sampah terapung di Kanal Jongayya, Jl Nuri Baru, depan AMI Veteran, Makassar, Rabu (28/5/2014), foto Tribun Timur.
Lantas, kenapa
warga sekitar bantaran sungai doyan membuang sampah sisa konsumsi-nya? Apakah mereka
tidak punya kesadaran bahwa sampah-sampah yang dibuang itu akan berdampak negatif
bagi kesehatan sungai, termasuk di dalamnya kesehatan ikan, spesies lain dalam
sungai, serta ekosistem secara keseluruhan. Barangkali mereka punya kesadaran,
tapi tertutup kabut kesusahan-kesusahan yang mereka alami dalam hidup. Ungkapan
lainnya, boro-boro memikirkan lingkungan, memikirkan apakah ada makanan besok
saja sudah membuat kepala mereka pening. Kesadaran terhadap lingkungan, tak
dapat dipungkiri juga dipengaruhi oleh kemampuan mereka melepaskan diri dari
wacana-wacana yang berkaitan dengan perut, sehingga mereka punya perhatian
khusus pada isu-isu lain, misalnya isu tentang sampah dan lingkungan.
Saya kembali
teringat dengan percakapan sederhana dengan Kak Nawir di Warkop Mammiri pada
akhir 2012, saat itu kami membahas tentang Ekonomi Pasar Sosial (EPS), yaitu
tentang perjuangan orang-orang kelas bawah untuk bertahan hidup dan masuk dalam
jejaring pasar, melalui jajanan kue-kue tradisional, jajanan di pasar
tradisional. Terlepas dari itu, diskusi kita menyerempet pada gaya hidup orang
kota yang menurutnya masih bergaya kampung. Seperti Makassar, tindakan membuang
sampah sembarangan itu sebenarnya pola hidup yang berasal dari kampung, yang
dimana pola konsumsi di kampung berbeda dengan pola konsumsi di kota. Di
kampung, bahan makanan berasal dari hasil panen padi dan hasil tangkap ikan di
sungai atau di laut, terjadi tukar menukar menggunakan sarana uang yang dengan
nominal rendah. Dalam proses konsumsi di kampung itu, orang membuang sisa-sisa
makanan di belakang rumah. Tapi, sampah yang dibuang ke belakang rumah itu adalah
bahan yang mudah terurai, ada juga bahan yang sulit terurai tapi jumlah
sedikit.
Foto Sungai Musi. (Penduduk dan Sungai)
Kemudian,
karena desakan ekonomi di desa, dimana lahan semakin sulit dikelola ataukah
tersingkir karena ketidakmampuan bertahan di desa lantaran pendapatan minim
hingga akhirnya menyerah dan menjual lahan kepada pemilik modal atau priyayi
menengah di desa, dan mencoba peruntungan dengan bermigrasi di kota dengan
menjadi tenaga buruh harian ataukah pegawai rendah di pusat-pusat perbelanjaan.
Di kota, terdapat kendala ruang, mereka pun menempati ruang-ruang marginal di
kota, dimana bantaran sungai sebagai tempat yang paling mungkin untuk dimukimi
dengan biaya rendah. Semakin lama, semakin banyak orang bermukim di pinggir
sungai, makin banyak orang berarti makin banyak sampah, dan makin banyak orang
membuang sampah di belakang rumahnya dan di sungai. gaya hidup kampung itu
kembali diterapkan di kota, maka jadilah sungai sebagai tempat menampung
keserakahan warga kota. Sampah pun merupakan material yang tak diinginkan, tapi
terus bertambah banyak. Menurut Kanda Asratillah, sampah adalah anak haram dari
modernitas.
Saya tak
menyalahkan sepenuhnya warga yang tinggal di pinggiran sungai, yang dengan gaya
hidup tradisionalnya membuang sampah di sungai. lebih-lebih karena kesulitan
ekonomi, makanya mereka tidak terlalu memperhatikan hal-hal sepele seperti
sampah. Saya sebenarnya lebih prihatin terhadap gaya hidup orang kaya yang
justru lebih parah di bandingkan orang-orang miskin di tepi sungai. Orang-orang
kaya ini terkadang membuang sampah tanpa tedeng aling-aling, sering kita
saksikan orang kaya membuang botol minuman keluar dari mobil dengan seenaknya
saja. Sering kita lihat bagaimana orang kaya, dengan tingkat produksi dan
konsumsi tinggi, dengan semena-mena membuang sisa-sisa konsumsinya itu di
pinggir jalan, orang kaya juga banyak yang membuang sisa-sisa makanannya karena
terlalu bernafsu untuk makan. Jadi, persoalan kesadaran ini tidak ada
hubungannya dengan kelas sosial ataupun status sosial. Saya pun membayangkan
penebangan kayu Indonesia jaman dulu itu tidak lepas dari nafsu orang-orang
kaya untuk membangun rumah dari bahan kayu yang berkualitas, penebangan hutan
juga akibat nafsu orang kaya yang ingin memperoleh villa di perbukitan. Penambangan
emas pun terjadi karena nafsu yang tinggi dari para orang-orang kaya untuk
mempercantik diri dengan emas. Ataupun terjadi penambangan nikel yang massif,
karena nafsu manusia yang parah terhadap kendaraan berbahan baku nikel.
Saya pun
kembali tak tahu, kemana cerita tentang sungai ini akan bermuara, sungai pun
mendangkal karena prilaku manusia menebang pohon-pohon mangrove di tepi sungai
untuk dijadikan bahan bangunan, atau dikonversi menjadi tambak. cerita tentang
sungai juga sarat berkenaan dengan industri-industri di sekitar sungai, yang
membutuhkan sumber air yang banyak untuk menormalkan mesin industri, sungai pun
menjadi wadah untuk menampung limbah-limbah industri.
Ah, tampaknya
sudah terlalu panjang lebar, yang awalnya saya hanya ingin membahas sungai,
tiba-tiba menyerempet kepada pembahasan orang kaya – orang miskin, kelas sosial
dan status sosial. Yang jelasnya, terdapat masalah pada relasi kita sebagai
manusia dengan sungai. Kita pun selalu mengkategorikan diri kita sebagai subjek
yang berkuasa, sementara sungai selalu kita anggap sebagai objek yang tidak
memang ditakdirkan untuk menderita. Lantas, kenapa pandangan itu muncul dan
meresap ke alam bawah sadar kita, itu sangat panjang lagi ceritanya, berangkat
dari pandangan rasionalitas, determinisme, individualisme, hingga reduksi
analitik. Sebaiknya tema ini kita bahas pada tulisan lain saja.
Yang pasti,
sungai pada detik ini tidak mampu lagi mengakomodasi keserakahan manusia. ada
baiknya kita, sebagai mahluk yang berakal dan berkehendak, mulai melihat sungai
sebagai entitas tersendiri, yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Sungai pun
walau terdengar antroposentrik, sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia,
seperti untuk kebutuhan air minum, kebutuhan pengairan sawah dan tambak, serta
untuk Mandi Cuci Kakus (MCK) manusia. Untuk itu, mulailah menghargai sungai,
sebelum sungai tidak ramah lagi dan menebar racun. Lantas, darimanakah sumber
racun itu, yah kan dari sampah-sampah manusia?
Kalibata, 26 Oktober 2014
Tiba-tiba kepikiran tentang sungai
0 komentar:
Posting Komentar