Dalam beberapa kali perjalanan, yang singkat dan dekat, seperti mengunjungi laundry di area kos-kos-an dekat kampus, saya sebenarnya beberapa kali memperoleh "insight", tapi tak sempat saya tulis. Hal-hal yang biasa kita lihat, dan berulang - ulang, yaitu pertumbuhan sebuah kawasan, bertambahnya toko-toko, bangunan-bangunan yang bertingkat, manusia-manusia yang lalu lalang. Saya terus terang saja khawatir, tentang pertambahan orang-orang. Entah kenapa saya pesimis terhadap jumlah orang yang semakin banyak membanjiri kota, padahal hal itu sesuatu yang niscaya.
Saya sadar bahwa hal itu tak dapat kita tampik, dengan bertambahnya orang-orang, berarti semakin melimpah orang yang butuh banyak hal, dan semakin meningkat pula pihak yang dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan orang-orang, hingga yang menyajikan itu juga menjadi sentosa hidupnya. Dalam kehidupan kos-kos-an, hal itu kemungkinan menciptakan pola yang baik, karena yang menyalurkan terdiri atas banyak orang. Berarti dapat terjadi apa yang disebut pertumbuhan ekonomi, orang yang belanja semakin banyak, dan uang yang beredar semakin melimpah. Apalagi barang-barang yang diedarkan adalah barang-barang kebutuhan sehari-hari, bukan barang-barang mewah yang sekali belanja dapat menguras modal untuk konsumsi setengah bulan.
Hal itu berlaku bagi orang yang mengerti pasar, orang yang dapat melihat kemungkinan atau peluang pasar. Kasihan lah bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan itu, dan memang dari awal tidak diberi bekal untuk sensitif pada hal-hal seperti itu, dan akhirnya membuat mereka sekadar menjadi penonton. Selain menjadi penonton, lantaran tuntutan hidup, mereka juga dengan terpaksa menjual tenaga-nya, karena hanya tenaganya saja yang dapat diperjual-belikan. Mungkin, dengan pendidikan yang baik dan meluas, orang-orang yang menjual tenaganya kelak akan menipis. Tapi, saya tidak dapat memastikan kapan itu terjadi, soalnya di negara yang kaya sumberdaya ini, orang-orang kaya yang jumlahnya 20 persen itu, menguasai sekitar 50 persen pendapatan nasional, sementara orang miskin yang jumlahnya 40 persen hanya menguasai 16 persen pendapatan nasional. Dan dalam orang miskin itu, masih banyak dari mereka yang menjual tenaga dengan harga yang sangat murah. Akibat ketimpangan sejati ini, orang miskin bertambah miskin, dan yang kaya semakin kaya.
Seperti kita-kita ini, yang berhasil mencicipi pendidikan, akan dengan mudah menjadi kaya. Tapi, apa yang salah ketika kita menjadi kaya? Menurut saya, tidak salah menjadi kaya, yang salah adalah ketika kita menjadi kaya, tapi kemudian dengan mudah melupakan mereka yang lemah secara ekonomi. Padahal dalam harta seorang yang kaya, terdapat bagian bagi mereka yang miskin. Wajar kiranya jika revolusi terjadi, jika orang-orang kaya semakin pelit dan orang miskin marah lalu meminta hak-haknya melalui tetesan darah. Menurut Islam dan pedoman Nabi Muhammad pun, menganjurkan agar kekayaan tidak boleh ditimbun dan ditumpuk, kekayaan harus diputar, eksploitasi ekonomi dan segala bentuknya harus dihilangkan. Itulah sebabnya, ada konsep zakat, sadaqah, dan infaq, mekanisme itu mengharuskan orang-orang kaya mendistribusikan kekayaannya kepada orang miskin, agar jurang kemiskinan menyempit, dan stabilitas sosial terbangun.
Namun, hal itu hanya ada dalam kisah - kisah perjuangan nabi, yang berupaya menciptakan masyarakat madani di Madinah. Tapi, dalam kenyataan sehari-hari hal itu jarang terjadi.
Semalam, saya menyempatkan diri merayakan jelang tahun baru di salah satu cafe mewah di Jalan Pettarani Makassar, bersama orang yang kasihi. Suasananya menghibur, dengan lantunan musik jazz, cahaya api dengan lilin mungil berwarna hijau, arsitektur bangunan bergaya kolonial Belanda, dan pengunjung yang dominan bermata sipit dan kulit terang. Saya hanya menemukan satu atau dua pengunjung yang berkulit sama dengan saya, yang banyak adalah penyaji dan pelayan.
Tak dapat dipungkiri, bahwa yang menguasai ekonomi makassar adalah mereka yang matanya sedikit sipit, dan raut wajahnya agak mirip dengan artis-artis korea yang sering ditonton oleh anak muda saat ini. Dan saya tak dapat menyangkal hal itu, karena mereka memang memiliki semangat juang dalam bekerja, semangat tolong-menolong antar sesama mereka. Tapi, apakah distribusi kekayaan dapat diharapkan pada mereka? saya tak yakin. Itu harus kita periksa pada cara-cara mereka memperlakukan karyawan, gaji yang diberikan ke karyawannya, apakah sudah layak? Serta pada cara-cara mereka memanfaatkan hasil usahanya, apakah ada cost untuk orang kecil? Ini membutuhkan pengamatan yang jeli. Sebab, banyak juga penguasa berkulit cokelat yang memperlakukan karyawannya dengan semena-mena.
Hal ini saya tanyakan ke kekasih saya, apakah kita sama dengan mereka? apakah hati dan pikiran kita sama? Dia menjawabnya, ya. Pada dasarnya hati dan pikiran kita sama, yang membedakan hanya kulit dan ukuran mata. Nah, kalau begitu, apa yang harus kita lakukan untuk distribusi sosial, agar mereka-mereka yang kaya memperhatikan yang miskin? Saya rasa kita butuh dialog, kita juga butuh pengertian, mereka juga butuh pengertian, kadang-kadang kita harus merendah sedikit dan mengajak orang-orang kaya berdialog, dimana saat ini orang-orang miskin berdialog sesamanya dan orang-orang kaya hanya berdialog sesamanya pula.
Ketika dialog tak mampu membuat mereka melakukan distribusi sosial? Apa gerangan yang harus kita lakukan? saya tak tahu. Mungkin rakyat yang lebih tahu, mungkin rakyat yang ekonominya lemah itu, yang sedari dulu menderita akan melakukan hal-hal yang sebenarnya tak kita inginkan, yaitu meneteskan darah.
Makassar, 1 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar