Sejak Rabu, 17 Desember hingga 22 Desember hari ini, saya menyewa mobil untuk beragam keperluan kerja. Dalam sehari, waktu saya habis di jalanan cukup banyak, mulai dari jemput teman di bandara, keluar untuk cari tempat makan, dan untuk keperluan lain-lain, seperti tarik uang di atm. Sejak 17 Desember itu, saya agak sensitif terhadap orang yang lalu lalang di jalan raya. Saya tiba-tiba berfikir, kenapa begitu banyak orang berjualan di pinggir jalan, dengan beragam kebutuhan, mulai dari pulsa, pulpen, sikat gigi, atau jual ban. Banyak yang menjual berarti banyak juga yang membeli. Hidup ini seperti diatur oleh aktivitas-aktivitas itu, membeli dan menjual. Saya kemudian berfikir, apa yang telah saya jual? terus, apa yang telah saya beli? Ah, pikiran seperti itu tampak tidak ada gunanya, sebab sejak jaman dahulu orang hidup dengan aktivitas-aktivitas seperti itu.
Lantas, saya melihat anak-anak kurang kerjaan di pinggir jalan, melihat tukang becak, melihat tukang bakso. Saya membayangkan, apa kira-kira kesenangan orang-orang ini? Apa hobby mereka? Hal-hal apakah yang membuat gairah mereka bertambah? dan jika saya bandingkan dengan diri saya, yang mengisi waktu dengan banyak membaca buku, kira-kira bagaimanakah rasa hidup mereka yang kurang baca buku? yang hidup sehari-hari sudah susah begitu? Bagaimana mereka memaknai hidup dengan informasi, impian-impian yang terbatas, lantaran terbatasnya akses pada sastra, pada musik, pada lukisan, pada filsafat, pada ilmu pengetahuan?
Saya tiba-tiba ngeri membayangkan hal itu. Dan saya bersyukur dengan hidup saya yang dilimpahi kebebasan - kebebasan. Dari sini saya berfikir lagi, bagaimana jika setiap orang mampu mengakses informasi dengan gampang, jurang kelas semakin sempit, orang-orang mampu membeli apa yang ia inginkan, bagaimanakah hidup kita jika seperti itu? Saya juga tak mau membayangkannya. Sebab, di satu sisi kita ingin mengangkat harkat martabat manusia agar dapat mengikuti selera dan gaya hidup kelas menengah yang mewah, di sisi lain terdapat juga ketakutan, jika semua orang mampu untuk mengakses dan mengelola alam, bagaimanakah nasib alam itu sendiri? Dimana faktor terbesar kerusakan alam karena gaya hidup manusia yang boros, mewah, membuang-buang energi, atau lain kata adalah jejak ekologisnya kian panjang dan dalam.
Lantas, yang mana lebih kita dahulukan, pertumbuhan ekonomi meningkat hingga bisa mengangkat begitu banyak orang miskin menanjak menjadi kelas menengah? Yang pada akhirnya kelas menengah ini menambah begitu banyak mobil, ac, televisi, jejak perjalanan (pariwisata), sampah, dll, ataukah tetap dengan pertumbuhan rendah, demi resiko jejak ekologis yang juga rendah.
Di sinilah dilemanya, kita selalu ingin manusiawi, dengan standar manusiawi yang lebih tinggi, yaitu dengan mempunyai rumah dengan fasilitas lengkap, punya kendaraan, punya waktu luang yang banyak. Tapi, di sisi lain, kita selalu lupa akan jejak yang ditimbulkan akibat gaya hidup mewah yang menjadi penanda status kita.
Untuk menyelesaikan dilema ini, mengontrol hasrat adalah salah satu langkah, dan semangat volunterisme-sedekah untuk membantu kaum lemah juga harus tetap dikobarkan. Selain itu, prinsip win-win solution juga harus kita pegang, bahwa hidup itu jangan hanya mau menang sendiri, mari kita merancang, agar menang-menang, sama-sama menang, begitu halnya dengan lingkungan dan hewan-hewan yang hidup di bumi. Manusia, hewan, tumbuhan harus didesain sama-sama menang, kerjasama, biosentrisme, ekosentrisme.
0 komentar:
Posting Komentar