Pada Kamis, 29 Januari 2015,
untuk kedua kalinya saya mengunjungi Kuta Bali. Sebuah perjalanan yang bimbang,
dengan sedikit ingatan samar tentang Kuta. Saya mengingat pagar-pagar yang
membatasi pantai itu pada kunjungan ringkas pada Agustus 2007, utamanya
ukiran-ukirannya yang meliuk-liuk, yang membuat kita tercenung dan mungkin
berimajinasi, atau sekadar timbul perasaan damai. Saya mengingat kartu atm saya
tertelan dan saya berusaha keras untuk mengeluarkannya dari bibir atm dekat
pantai. Pada pagi itu, teman Anto, tidak ikut bergembira di pasir-pasir dan air
bersama para turis, katanya, “pantai ini tidak jauh beda dengan pantai yang ada
di Sulawesi”.
Itu tujuh tahun yang lalu. Ketika
Bali menjadi firdaus dalam bayangan. Dengan pikiran hanya untuk membuktikan
bahwa kita pernah ke sana, ke tempat jutaan orang yang mengimpi-impikan pulau
Dewata seperti memimpikan sebuah tempat dimana kesusahan menyingkir dan
keteduhan mampir.
Perjalanan ke dua adalah
kesempatan yang boleh dibilang biasa, sebab akses ke sana lebih gampang karena
kantor tempat ku bekerja juga terletak di Bali, tepatnya di Renon, Denpasar.
Menuju ke Kuta bukanlah hal sulit untuk saat ini. Pada kamis itu, saya bersama
teman kantor bernama David berangkat ke Kuta yang memakan waktu sekitar 40
menit menggunakan sepeda motor. Saya mencoba untuk meresapi nuansa di sepanjang
perjalanan, dimana jamak terdapat cafe, restoran, hotel, dan hal-hal yang biasa
terdapat di kota lainnya, yaitu bengkel, taman bunga, pertokoan-pertokoan. Saya
berpikir selintas, Bali memang diperuntukkan untuk para pencari suaka, pencari
ketenangan, para orang kaya yang uangnya tak habis-habis dengan hanya
duduk-duduk belasan kali di cafe yang berbeda.
Kami tiba di Kuta dan saya mengamat-amati
pertokoan dan cafe-cafe. Pada cafe-cafe itu saya mencoba mencari-cari apa yang
sebelumnya saya rasakan. Yang sebelumnya begitu menggebu-gebu ketika saya
berada di Sanur pada Juni 2014 lalu. Saya merasakan kekuatan yang begitu
dahsyat dalam diri saya setelah berjalan-jalan di trotoar Sanur, dimana
terdapat cafe-cafe di pinggir jalan, tempat ngobrol yang asyik yang di dalamnya ada taman-taman, tempat duduk yang empuk, dan makanan yang enak di lidah. Meski saya pun menyadari bahwa taman-taman itu adalah artifisial, dibuat-buat. Entahlah, kadang-kadang perasaan kita juga senang dengan hal-hal yang dibuat-buat.
Bersama David saya menyusuri
sepanjang pantai, melihat anak-anak menerbangkan layang-layang bentuk perahu,
melihat bule-bule berpakaian mini berjalan-jalan di pantai, melihat orang-orang
duduk termenung memandangi air yang menghentak-hentak, bak pekerjaan usang yang
membosankan namun tak henti. Kami pun mengambil gambar ala kadarnya, lagi-lagi
perasaan yang girang itu terbesik saat memotret cafe-cafe yang indah, yang
memang di desain mirip surga, faradiso dalam bayangan kita.
Memang, perasaan-perasaan seperti
itu selalu muncul dan mungkin akan selalu menyertai kita dalam setiap
perjalanan ke tempat-tempat baru, lantaran pandangan, imajinasi, dan pikiran
kita disuguhi dengan sesuatu yang baru, yang cantik-cantik. Tapi hal-hal
seperti itu bukanlah jaminan bahwa kita akan merasakan bahagia yang betul-betul
bahagia.
Kemudian saya menggeledah
perasaan saya sendiri. Dengan sadar saya mengucapkan maaf untuk perjumpaan ku
kala itu dengan Kuta Bali. Saya menemukan bahwa apa yang saya cari itu tidak
saya temukan di Kuta Bali. Memang Suasana baru saya peroleh, Saya melihat pura yang dahulu tak sempat saya lihat, saya merasakan gembira saat berfoto dekat patung penyu raksasa, merasa percaya diri saat mencicipi bebek goreng di restoran dimana terdapat bule -bule di sekitar kita, dengan pikiran bahwa kita sebagai pribumi tak boleh kalah dengan para bule itu. saya merasakan euforia ketika berada di kerumunan massa yang menikmati tenggelamnya matahari dengan gurat-gurat merah senja. Disertai emosi-emosi ludus yang singkat melihat pakaian minim para bule, yang akhirnya justru membuat saya kehilangan selera. Heran rasanya, diantara gelimang kemewahan yang ditawarkan oleh
Kuta Bali itu malah membuat perasaan saya menjadi hampa dan saya pun terus menerus
memikirkan, apa gerangan yang saya cari?
Saya tidak tahu, apakah ini hanya
olah emosi semata, atau ini hanya karena prasangka? Mungkin, suatu ketika saya
mengunjungi Kuta Bali kembali, rasa senang itu akan hadir. Barangkali bukan
hanya oleh suasana dan riak-riak air laut, atau emosi bahagia yang terpancar di
paras para turis yang terlihat senang mengabadikan diri mereka, tapi juga
dengan kehadiranmu, dimana kita berdua tanpa sadar menghabiskan waktu mengukur
pantai, menyisakan jejak-jejak singkat kita pada pasir, memberi kesempatan pada
pelayan cafe untuk sekilas mengingat wajah bahagia kita berdua.
Ya, saya mengingat mu di Kuta
Bali, dan itulah sebab utama yang membuat saya gelisah, saya seperti seekor
ayam di lumbung padi. Saya tidak tahu mau merasakan apa padahal keindahan itu
telah nampak, dan rasa damai itu datang memanggil-manggil. Gelisah itu karena
saya mengingat mu di Kuta Bali. Mengingat mu berarti mengenang kebersamaan kita di Makassar, dimana raga ku ada di Kuta Bali, tapi ingatan dalam hal ini emosi ku justru ada di Makassar.
Ya, tampaknya, ketika hati telah
bertaut, kemana pun kita melangkah, seindah apa pun suasana, tanpa kehadiran
orang yang kita kasihi, sulit betul untuk merasakan bahagia yang betul-betul. Dan
dimana pun kita berada, pada tempat yang sesederhana apa pun itu, ketika
bersama orang yang kita kasihi rasanya seolah tak tergambarkan. Rasanya hanya
kita yang tahu, yang terekam dalam ingatan, tersimpan di simpul-simpul memori.
Untuk perjumpaan ku dengan Kuta
Bali, saya mengucapkan maaf sekali. Tapi jangan khawatir, kelak akan aku
sandingkan keindahan suasana mu dengan keindahan dirinya pada mu.
Malam mampir, saya dan David
memutuskan kembali ke Renon. Hujan turun, dan ban motor kempes dan kami singgah
di bengkel untuk tambal ban. Pada saat itu bahagia datang, ketika suaramu hadir
di antara derai hujan.
Ahad, 1 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar