Saya agak terusik dengan kegaduhan yang bertalu-talu, entah di televisi, di perbincangan-perbincangan, di media sosial, tentang belenggu yang sedang merenggut presiden kita, Jokowi. Presiden tumpuan harapan akan terlaksananya program-program yang pro rakyat cilik, pro kelompok-kelompok marginal, pro professionalitas, kejujuran dan kejernihan ini, justru terapung-apung diantara poros-poros kekuatan, yang dengan kuatnya mengendalikan prosesi-prosesi penentuan pejabat publik.
Belenggu ini memang sudah lama dirasa-rasai, difikir-fikir, dan dikhawatirkan. Bahkan barisan oposisi dengan gamblang menyebutnya dengan slogan, "boneka". Saya tak tahu, apalagi di tengah kegaduhan saat ini, apakah beliau betul-betul boneka? Kalau pun boneka, apakah ia seperti boneka doraemon yang manis dan kadang-kadang dapat dijadikan bantal, ataukah boneka Pinokio, yang kadang-kadang membantah dan suka berbohong.
Saya harap beliau bukan lah boneka seperti yang ada dalam kepala banyak orang, saat ini. Beliau adalah manusia yang baik, yang selalu mempertimbangkan setiap keputusannya dengan mendengar banyak orang, dengan mengajak dialog banyak orang, dengan bertemu banyak orang. Hal itu ditunjukkannya belakangan dengan meminta para ahli menilai kepatutan dan akar masalah dalam penunjukan kepala kepolisian RI, ditunjukkan dengan menunda pelantikan kandidat kepala kepolisian yang disinyalir punya rekening gendut.
Namun, Presiden kita yang satu ini sangat berhati-hati dalam bertindak. Saya membayangkan beliau merenung-renung di meja kerjanya, melemaskan otot-ototnya dan mencoret-coret di atas kertas. Kertas itu mungkin berisi strategi, kira-kira esok hari, siapa lagi yang akan diajak ngobrol, siapa lagi diajak berkomunikasi politik, agar kebuntuan ini usai. Namun, politik bukan hanya di atas kertas atau berbisik-bisik dengan tokoh partai, politik adalah berbuat atau bertindak. Bertindak dengan cepat, seperti slogan Jusuf Kalla, Lebih Cepat Lebih Baik.
Apalagi di luar, di jalanan, di kantor KPK, di ruang sidang, orang-orang sudah berteriak, orang - orang sudah memaki, orang banyak sudah tak sabar, orang banyak menginginkan Presiden segera menyelesaikan kisruh "Cicak dan Buaya" yang menghabiskan energi bangsa kita ini. Orang banyak itu menuntut agar KPK dikuatkan dengan slogan "saveKPK'. Dan...‘Orang banyak (la multitudino) lebih arif dan lebih konstan ketimbang Raja’ Kata Machiavelli.
Jokowi sudah bertindak, tapi apa daya, iklim atau lingkungan sekitarnya dan banyak orang lain di sekelilingnya tidak menginginkan perubahan yang signifikan dalam pemberantasan koruptor. KPK dilemahkan, pimpinan-pimpinannya diadukan, dicarikan masalah, dibuka borok-boroknya. Ini dapat dimaklumi, sebab KPK sebagai lembaga anti rasuah memiliki banyak musuh, entah musuh itu di luar selimut atau dalam selimut. Musuh-musuhnya menginginkan lembaga ini sekadar menjadi lembaga boneka, lembaga yang dapat diatur, termasuk diatur siapa saja yang ditangkap dan diadili.
Betul juga kata orang ramai saat ini, 'wahai para koruptor, silahkan korupsi sepuas-puasnya'.
Senin, 17 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar