Manusia bergerak, manusia merasa, manusia berfikir, manusia
mencipta. Saya kaget saat mencermati hal-hal itu, dan kekagetan saya
juga merupakan sebuah keanehan. Adakah yang menyangsikan pikiran dan
perasaan seperti itu?
Kemarin, saya menyaksikan sajian Tari
Pa'duppa pada perayaan Ulang Tahun Kab. Pinrang, beberapa anak SMA yang
mengenakan pakaian adat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja,
bergerak-gerak, mengalun-alun, dan banyak orang yang memotretnya dengan
penuh takjub. Saya memotretnya juga satu dua, tapi, lebih dari itu, jiwa
saya juga memotretnya, menyimpan dan mengolahnya. Lagi-lagi, jiwa saya
seperti diisi, oleh gerak, oleh keindahan. Saya tak dapat mendefenisikan
lebih gamblang tentang sesuatu yang mengisi diri saya itu. Yang saya
temukan adalah komposisi, ritme, paduan, bagai angin, bagai nyiur yang
melambai-lambai, bagai kabut yang menyelimuti deretan pengunungan kars
sehabis hujan.
Lalu, saya mendengar seruling, saya mendengar
gendang, mendengar suara-suara dari tenggorokan. Suara itu teratur,
pemilik pita suara itu betul-betul pintar mengolah pita suara, hingga
suara-suaranya yang menyanyikan lagu Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja
itu merasuk dan mengaduk-aduk, apa yang diaduk-aduk saya tak tahu.
Tarian, musik dan nyanyian, adalah sajian bagi jiwa. Varian - varian
kesenian itu pun merupakan hasil dari daya jipta jiwa, sesuatu yang
kreatif dan lahir dari pesona kebudayaan, ekpresi dan komunikasi
jiwa-jiwa. Entah bagaimana kiranya nasib manusia jika hal-hal seperti
ini tiba-tiba lenyap? Tapi apakah hal-hal seperti itu dapat lenyap? atau
sekadar tergantikan atau dilengkapi oleh sesuatu yang lain, yang
ditemukan dalam benda-benda.
Pada HUT Pinrang itu, diadakan
pameran untuk memamerkan produk-produk usaha masyarakat Pinrang.
Termasuk di dalamnya memamerkan batu-batu, yang lagi trend saat ini.
Batu-batu itu nyempil di sudut-sudut stand resmi, ia turut mengambil
perhatian pengunjung. Orang ramai tampak asyik masyuk berkumpul,
melihat-lihat, memegang-megang, batu-batu yang mirip dengan batu di
jari-jari mereka.
Mungkin, batu-batu ini menyihir jiwa mereka,
seperti tarian menyihir jiwa saya. Batu-batu ini memperoleh tempat di
kedalaman rasa mereka, menjadikannya istimewa dan patut dimiliki.
Batu-batu itu menjadi pelengkap, menjadi sajian jiwa, dengan dasar
keindahan, dan diselimuti kepercayaan berlatar kisah. Entah kisah itu
betul adanya ataukah sekadarnya dibuat-buat. Tapi, manusia memang butuh
kisah, mungkinkah manusia modern saat ini, mengalami kehausan kisah,
hingga batu-batu berkisah tiba-tiba menghidupkan hasrat purba mereka?
Istimewa
Hasrat-hasrat ini pada dasarnya kita temukan juga ketika kita mendengar
suara adzan, mendengar orang mengaji, atau sekalian pada saat kita
mendalami spiritualisme pada agama kita masing-masing. Agama menjadi
penyejuk, atau istilah yang sudah kita ulang-ulang, sebagai santapan
rohani, jika kita yakin apakah rohani itu betul-betul ada? bukan Rohani
teman SMA dulu, ya.
Ya, agama, musik, tarian, ekspresi-ekspresi
seni lainnya membuat kita hidup lebih hidup. Membuat kita lebih
bergairah melanjutkan hidup, sekaligus menemukan diri kita di sana,
misalnya dalam tari-tarian itu. Ya, tentu bukan diri yang asal mula,
tapi diri kita yang dibentuk oleh budaya.
Dan, saat ini, untuk
masyarakat kita yang selalu dihantui nasib buruk, selalu dihantui
perasaan tidak aman berkendara di malam hari, rasa takut pada kecelakaan
dan kematian, rasa takut akan ketidakpercayaan diri tampil di
masyarakat, rasa bingung akan perasaannya sendiri dan tak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Mungkin batu menjadi mainan
sementara, untuk menjeda sejenak kesibukan-kesibukan berlalu-lintas di
bumi. Ya, batu sebagai bahan untuk berbagi kisah, sebab agama, budaya,
musik, atau pun tari mulai melempem dan mungkin sudah tak asyik lagi
untuk dibicarakan.
Jadi tak bingung kalau ada manusia yang
menukar uangnya milyaran rupiah dengan batu-batu. Sebab saya juga
menukar mungkin sudah jutaan uang saya untuk buku-buku, apa bedanya.
Saya senang melihat buku berjejer di lemari saya, dan orang-orang senang
melihat batu-batu di lemari koleksinya. Apalagi buku dan batu sama-sama
memiliki kisah, dan manusia adalah mahluk yang rindu kisah, rindu
makna, entah kisahnya berasal dari buku atau berasal dari batu, itu
terserah Anda.
*Belajar menulis apa adanya dan sudah mulai pikun dengan istilah-istilah keren*
Warkop Terminal, Makassar, 20 Februari 2015.
6 hari yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar