Pada sadarnya, sebuah puisi
adalah sebuah penemuan. Atau kalau diartikan dalam bahasa latin menjadi poetic, suatu kebaruan. Walau pun
mungkin hanya bersifat minimal atau semacam pengulangan-pengulangan yang
kreatif. Pada sadarnya pula tak ada yang asli di dunia ini, kita selalu meniru,
kita selalu menculik, kita selalu meminjam apa-apa yang sudah ada. Tapi,
penemuan kita adalah ketika kata-kata yang lazim itu kita formulasi dan
membuatnya menjadi bermakna. Tentang makna itu sendiri, dalam puisi tidak ada
yang dapat mengklaim makna general, tapi setiap pembaca dapat memaknai
sesukanya atau arbiter.
Sebuah puisi dapat memperkaya wawasan
atau nurani kita akan makna, yang sumbernya berasal dari hubungan kata dengan
kata, kalimat dengan kalimat. Ketika kata dengan kata itu menimbulkan efek
makna, tanpa kita menghiraukan konteks, di situlah kekuatan sebuah puisi. Yaitu
pada interteksnya.
Membaca puisi-puisi dalam buku
mungil “air mata darah”, membuat kita untuk mengerti banyak hal. Paham tentang
nilai-nilai, yang tampaknya dengan sengaja diselipkan oleh penulis pada
sebagian besar sajaknya. Saya menduganya, karena penulis mengawali karirnya
sebagai aktivis, lalu menjadi pedagang, kemudian menjadi sastrawan. Jadi,
level-level itu, kadang-kadang menyetir pesan yang ingin disampaikan. Ia ingin
mengutarakan sesuatu yang kritis, namun dengan cara puitis, begitulah
kira-kira.
Coba kita simak puisi di bawah ini
:
Bantaeng
Butta Toa julukanmu
Dimasa silam
Adamu sudah
759 tahun
Tapi kemanakah
Kami melacak
ketuaanmu?
Sebagai alamat
kematangan jiwa?
The New Bantaeng jargonmu
Bantaeng baru
sloganmu
Di waktu
kiwari
Banyak yang
baru
Tapi apa guna
kemasan baru
Jikalau insan
kerdil yang melata di atasnya?
Saya mencoba membayangkan rasa
dari puisi ini, dan saya menemukan rasa prihatin penulis, yang tidak lain
adalah warga Bantaeng yang aktif. Pembaca yang bukan warga Bantaeng pun dapat
merasakan paradoks-paradoks dari rententan teks puisi itu, yang maknanya dapat
ditangkap secara general, bahwa sesuatu yang baru di Bantaeng belum tentu
berguna bagi masyarakat kecil. Dan bertambahnya sebuah umur belum tentu membuat
sebuah kota menjadi lebih dewasa. Kota diandaikan seperti tubuh yang punya
umur, atau seperti kesadaran yang senantiasa berkembang. Selain itu, orang kecil selalu
menjadi perhatian penulis, yang dimana mewakili jiwa aktivisnya. Orang kecil
diandaikan melata di atasnya, orang kecil seperti semut-semut yang dengan mudah
disingkirkan, baik oleh pembangunan atau atas nama perbaikan suatu kota.
Contoh
lainnya ada pada puisi berjudul "Baru" : Apa
yang baru di tahun baru, jikalau masih mukim di rumah yang reot? ....... Lalu apa arti rumah, bagi perumah yang tak bahagia di rumahnya, di tahun baru yang selayaknya punya rumah baru? Tidak butuh petuah dari yang berkutat pada kuasa, jikalau pencoleng, pencopet, perampok, pencuri, dan pembakar rumah masih mengintai dengan selaksa ancaman....... Pada puisi ini, kita dihantar untuk mengerti persoalan pada sebuah kota, yang sedang berpesta tahun baru, namun di tahun baru itu, rumah dipersoalkan. Saya tak tahu, apakah rumah ini adalah rumah dalam artian harfiah, ataukah rumah jiwa, ataukah gabungan antara rumah harfiah dan rumah jiwa?
Hal itu juga terasa dalam puisi "Ironi", meski awalnya kita mengira
tentang pelajaran-pelajaran tentang alam, yang dimana peristiwa alam yang
menggetarkan dan kita tak tahu lagi bagaimana hubungan sebab akibat di alam
karena kian kompleksnya, juga tercium aroma politik. “Benar-benar ironi. Hanya karena engkau melempar sebiji garam ke laut,
engkau sudah merasa menggarami laut. Sehingga rasa asin dari laut itu, seakan
hasil jerih payahmu. Padahal, sebiji garam itu adalah hasil memungut di ladang
petambak garam.” Saya tidak tahu, apakah yang disinggung ini manusia pada
umumnya, ataukah manusia khusus, yang punya kuasa di daerahnya, yang mungkin
merasa hebat telah berbuat banyak di daerah kekuasaannya.
Puisi-puisi ini menyentil
kekuasaan, saya tiba-tiba teringat pada sosok Rendra, yang juga berkeinginan
untuk memberi warna baru pada seni, pada kebudayaan, sebuah kesadaran yang
lebih progressif. Rendra juga berbicara politik. Dalam puisi-puisi politik
Rendra, dan begitu juga ditemukan dalam puisi Sulhan, kesadaran politik
diungkapkan dengan plastis dan estetis, meski dengan pengandaian-pengandaian
atau metafora. Besar harapan, bahwa puisi-puisi ini mengguliti jiwa untuk sadar
akan hak-hak, akan ketimpangan-ketimpangan, akan bagaimana sebuah negeri
dikelola, sebuah kota dikelola, sebuah budaya dikelola.
Penulis dalam hal ini Kak Sulhan
adalah seorang aktivis yang menempuh segala cara untuk mewujudkan
keinginan-keinginan idealnya. Beliau menginginkan sebuah komunitas masyarakat
yang adil, yang damai, yang beradab. Begitulah memang keinginan-keinginan
manusia-manusia humanis, yang selalu mendambakan kebebasan plus keadilan. Hal
itu dilakukannya dengan membentuk komunitas-komunitas literasi, mendukung para
penulis muda untuk terus berkarya, menjadi sosok bijak tempat orang berteduh
dan meminta pendapat. Dalam perjalanannya, beliau membangun rumah jiwa itu,
sebuah pabrik untuk menghasilkan menu-menu bagi jiwa, agar warga kota jadi seimbang
hidupnya, dan dalam perkembangannya, Kak Sulhan justru ikut asyik di dalamnya,
bersama anak muda anak muda kreatif. Untuk itu, Kak Sulhan bukan hanya tokoh
dibalik membangun rumah, tapi juga berkontribusi membangun nuansa, aroma,
keindahan-keindahan dalam rumah itu.
Catatan terakhir, bahwa puisi
dapat dimanfaatkan untuk tujuan apa saja, bisa untuk menggoda kaum hawa, bisa
untuk mengingatkan manusia, bisa untuk menyentuh sesuatu yang tak mudah
disentuh (dalam hal ini jiwa), bisa sebagai refleksi tentang alam dan tuhan
atau yang tak dikenali, dan bisa pula untuk menyadarkan pembacanya tentang
ketimpangan dalam dunia sosial. Dan puisi-puisi Sulhan mewakili beragam lapisan
dunianya, baik itu dunia rohani, dunia sosial, dunia pribadinya, dunia tentang alam, dan dunia politik.
Dan membaca puisinya, kita dapat
mengambil apa saja dari dunianya yang begitu kaya.
Makassar, 23 Maret 2015
Idham Malik
(Terimakasih atas bukunya)
0 komentar:
Posting Komentar