Tak usah terlalu serius tentang hari bumi. Hari bumi yang dicanangkan oleh seorang pengajar lingkungan hidup asal Amerika Serikat yang bernama Gaylord Nelson pada 1970 itu memang menggugah, tapi tak cukup dahsyat untuk memperbaiki bumi. Hari bumi pun hanya dirayakan sporadis, menjadi ocehan singkat dan kemudian terlupakan.
Hari bumi pun kadang hanya menjadi etalase, arena para perusak bumi untuk sesekali berbaik hati dengan membagikan bibit pohon, namun pada hari-hari yang lain menebang pohon dewasa, membakar lahan, mengatur kawasan hutan menjadikannya berhak atas pengelolaan hutan, merampas tanah para warga yang sejauh ini kurang memperoleh perlindungan hukum atas tanah mereka sendiri.
Hari bumi pun menjadi alasan sekelompok orang untuk bersimpati, meski dasarnya mereka hanya linglung menghadapi kemerosotan bumi, yang selama ini mereka sedot madunya hingga ludes. Hari bumi adalah kompromi, hari bumi adalah hari peringatan bagi mereka sendiri untuk dapat bertahan di tengah berkurangnya sumberdaya alam yang dapat mereka keruk untuk mempertahankan gaya hidup modern mereka.
Kita tak perlu terlalu serius memperingati hari bumi, karena dari kecil sebenarnya kita sudah mencintainya dengan sangat. Kita sudah merasakan bau tanahnya sejak kita dengan girang bermain orang-orangan dari tanah, manjat-manjat pohon, bermain air di sungai, menjelajah bukit, berlari-larian di sawah, menanam ubi kayu, menangkap ikan, dan sebagainya.
Lalu, sejak kapan kah kita mulai jauh dari bumi? Apakah sejak kita mempelajari ilmu biologi, kita meringkas bumi dengan defenisi-defenisi, kita meringkusnya dengan istilah-istilah. Kita mulai belajar membedah hewan-hewan, dengan senyum lebar dan tanpa takut. Tubuh kita kian besar, kita pun mulai menangkap hewan-hewan yang besar juga, hewan yang kita anggap lucu dan menyeramkan, seperti memelihara ular, biawak, dan mungkin buaya. Kita menganggap itu sebagai penghormatan terhadap ular, padahal itulah bentuk penindasan dalam bentuknya yang paling halus.
Apalagi ketika kita mulai mengenal nikmatnya uang, rasa cinta kita terhadap bumi memudar dan lebih mencintai uang. Dengan uang kita dapat melakukan banyak hal, termasuk membeli ular, membeli kelinci, dan mungkin memainkan ular-ular kita dalam gua orang tanpa takut. Uang menjadi yang utama, bumi pun hanya menjadi urusan masa lalu, urusan masa kecil kita.
bumi nampak dalam hati kita, hanya untuk menghibur hati kita yang galau, karena bisnis kita terhambat, lantaran nasib kita yang kurang beruntung dalam pergaulan dunia, dengan begitu kita melampiaskannya dengan pergi melihat-lihat alam. Meskipun kadang-kadang alam yang kita datangi itu adalah bumi yang telah dipermak, dengan beragam gaya arsitektural, dengan begitu banyak kamuflase, dengan batu-batu yang palsu, pohon-pohon kerdil, air-air yang telah ditaburi kaporit.
Untuk itu, sebaiknya hari bumi kita lupakan saja, mending kita merayakan hari uang, idaman kita semua. Sepakat?
0 komentar:
Posting Komentar