Beragam cara untuk membuat kita hanyut dalam ketidakpahaman
terhadap alam. Meski kitalah yang sedang gembor-gembornya menyebut diri kita
hero dalam hal tersebut. Ya, kita memang tahu banyak hal tentang alam,
tentang spesies-spesies yang mungil dan menakutkan. Tapi, kita tak benar-benar
tahu atau sengaja mengelak untuk tahu bahwa yang kita lakukan itu barangkali
hanyalah kamuflase, hanyalah bayang-bayang yang dikejar semakin jauh dan tak
akan pernah kita temukan.
Kita mengerjakan sesuatu berdasarkan pengetahuan teknis
kita. Membicarakan alam berdasarkan kalkulasi, hitung-hitungan, persentase,
target, tanpa sedikit pun sentuhan batin. Kita dapat dengan santai mengurai
alam dengan angka-angka sambil bergurau, merasakan kenikmatan melihat
orang-orang sekitar kita kebingungan dan mengantuk dengan angka-angka itu.
Segala sesuatu yang berasal dari luar pengetahuan teknis dan
di luar pengalaman ilmiah kita, ditolak. Entah karena tidak dapat diukur,
buang-buang waktu, atau tidak menunjukkan progress yang konkrit. Misalnya,
berurusan dengan manusia, orang lokal, komunitas adalah tindakan yang
mengulur-ulur waktu dan membuang tenaga. Hal tersebut pun menjadi urusan pihak
lain, misalnya diperuntukkan bagi mereka yang tertarik dengan ilmu sosial, itu
pun dengan harapan bahwa ilmu sosial juga dapat dikalkulasi.
Pengetahuan itu kita peroleh dengan susah payah di bangku
sekolah dan kuliah, pengetahuan itu ibarat martil yang kita bentuk jauh dini
hari, yang tujuannya untuk memukul paku pada dinding-dinding. Pengetahuan itu
kita peroleh dengan dana yang besar, dengan sponsor yang tak tanggung-tanggung.
Kita pun dengan tekun mempelajarinya, dengan harapan yang sangat besar bahwa
dengan modal pengetahuan itu, kita dapat hidup sejahtera dan nyaman. Meski sebenarnya
dengan pengetahuan itu, justru dapat menimbulkan ketidaknyaman pada kita.
kenapa? Karena dengan pengetahuan itu kita melihat persoalan yang demikian
besar, yang harus segera ditangani agar kerusakan alam tidak semakin meluas dan
membesar. Pengetahuan mestinya membuat kita bersedih, bukan membuat kita
tertawa terbahak-bahak.
Pengetahuan itu merasuk dalam diri kita sebagai metode untuk
membedah permasalahan, menganalisa, dan mencari solusinya. Pemecahan yang kita
tawarkan adalah pemecahan teknis, karena kita menganggap diri kita adalah orang
teknis. Sejauh kita telah menawarkan solusi teknis, sejauh itulah perjuangan
kita. Kita merasa bebas ketika kita telah mengerjakan tugas ilmiah, dan mulai
mengerjakan tugas ilmiah yang baru lagi. Ketika terjadi kerusakan lingkungan di
sekitar kita, kita tutup mata, karena menganggap itu bukan tugas kita, bukan
keahlian kita. Kita memikirkan suatu persoalan ketika kita ditugaskan untuk
memikirkan hal itu, bukan karena keinginan kita sendiri untuk tahu, untuk
berbuat mengatasi persoalan tersebut.
Lantas, persoalan lingkungan yang mungkin kita temui di
keseharian itu tidak merasuk ke sanubari, lagi-lagi karena bukan tugas kita.
Kita merasa tidak terlibat, kita merasa jauh, kita tidak dekat dengan
orang-orang yang berurusan langsung dengan persoalan tersebut. Pun, jika kita
dengan terpaksa harus terlibat pada persoalan tersebut, kemampuan kita hanya
dengan membedahnya, menganalisanya, seperti anak kecil yang belajar biologi
membedah reptil, memotong-motong organ tubuh reptil tersebut dengan dingin.
Kita pun secara tidak sadar menyetujui ketidakinginan kita
untuk memahami keterkaitan dalam totalitas, memikirkan lingkungan dengan
mencoba melampaui batas horizon kita, melewati cabang-cabang keilmuan kita.
Padahal, permasalahan selalu melampaui kemampuan keilmuwan kita untuk
memecahkannya. Permasalahan lebih kompleks, disebabkan oleh banyak faktor, yang
tidak terduga, dan kadang-kadang disebabkan bukan oleh faktor teknis, tapi non
teknis yang selalu saja sulit kita kendalikan, misalnya karena faktor politik,
sosial, budaya, dan ekonomi (eksploitasi Sumberdaya Alam). Jika berkenaan
dengan itu, kita pun mulai menghindar, lagi-lagi karena merasa hal itu bukan
dunia yang kita kenal dan kita kuasai. Kita pun mengidentifkasi diri kita
berdasarkan kemampuan kita bekerja dengan menggunakan alat, metode (ilmu
pengetahuan), bukan berdasarkan ideologi atau pun nilai-nilai yang kita anut.
Bukan karena dorongan hati yang kuat untuk melawan penindasan terhadap alam.
Kita sejatinya adalah intelektual pekerja atau Intelektual worker.
Kita adalah pekerja yang patuh mengikuti prosedur yang telah
digariskan oleh perusahaan. Logika perusahaan
pun singkron dengan logika saintifik kita, yaitu berbasis rencana, terukur,
kalkulasi, hitung menghitung. Selain itu, perusahaan pun memandang kita sebagai
objek, dengan cara memanjakan kita dengan beragam fasilitas, dengan beragam
agenda liburan, perusahaan pun memberi reward/penghargaan
bagi mereka yang berhasil mencapai target. Perusahaan memberi makan rohani kita
dengan fasilitas-fasilitas mewah dengan harapan kita dapat produktif. Padahal,
kemewahan adalah awal dari bencana, gaya hidup adalah bencana terbesar jika
berbicara tentang lingkungan. Kerusakan lingkungan dimotori oleh semangat
kita-manusia untuk memproduksi, lantaran nafsu konsumsi kita yang semakin
besar. Semakin banyak produksi dan konsumsi berarti semakin banyak sampah,
semakin banyak sumberdaya alam yang dikeruk.
Kita menikmati kemewahan tersebut, tanpa bertanya-tanya
sedikit pun tentang apa tujuan dari kemewahan itu. Kita makan sepuasnya, kita
berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat yang indah dan memamerkan ke orang
lain bahwa kita pintar dan bisa kemana-mana. Karena saking seringnya
bersenang-senang, kita pun mulai malas memikirkan hal-hal yang mungkin akan
menggugah kita, misalnya perusakan lingkungan oleh perusahaan, hilangnya akses
masayarakat akan hutan, menghilangnya keanekaragaman hayati, dan lain-lain. Kita
menguar-nguar perbincangan-perbincangan yang sepele, seakan-akan tidak ada lagi
perbincangan yang serius, yang butuh diperhatikan. Kita pun mulai memisahkan
bahwa perbincangan serius, tentang kemiskinan, tentang kejahatan, tentang
penegakan keadilan, tentang nasib hewan-hewan, adalah urusan pekerjaan,
sementara sehari-hari kita hanya berbincang tentang tingkah laku teman-teman,
tentang makanan, dan tentang tempat-tempat yang indah.
Kita mengandaikan diri kita seperti sekrup, yang dimana kita
hanya menjadi bagian untuk menghidupkan mesin secara keseluruhan. Kita menjadi
sangat hebat sebagai sekrup, sebagai sekrup yang baik, patuh, dan lucu. Namun,
untuk mencoba menginisiasi diri kita untuk sekadar peduli organ lain, kita
emoh. Kita tak mau bersusah-susah payah untuk belajar ulang, minimal mengerti
baik-baik persoalan dengan beragam sudut pandang. Parahnya lagi, jika kita bergerak, kita
berbicara, kita hidup hanya jika ada materi. Kita berjalan dan bernafas bukan
lagi karena kita ingin bergerak untuk melakukan sesuatu, kita berlari tidak
lagi seperti jawaban Forest Gump, bahwa saya berlari karena ingin berlari saja.
Simple. Sederhana.
Kita pun selalu mengklaim bahwa pengetahuan adalah netral,
tugas kita hanya menghasilkannya, entah pengetahuan itu tujuannya digunakan
untuk apa? kita masa bodoh tentang hal itu. Ilmu Pengetahuan itu tidaklah
netral, ilmuwan pun tidak pernah netral, ketika seorang ilmuwan diam-diam saja
melihat penyelewengan di depan matanya, berarti ilmuwan itu telah membiarkan
penindasan terjadi, dan secara tidak langsung
ilmuwan itu mendukung penindasan tersebut.
Akhirnya, kita hanya membesarkan diri kita sendiri,
membesarkan kemampuan kita untuk membedah alam, mengkoyak-koyak mereka dengan
kata-kata cerdas kita. Alam tak mengerti, orang umum tak mengerti, dan kita pun
berada di atas angin, seperti sampah yang terapung oleh angin beliung.
**
Saya pun membayangkan
diri saya ikut terpenjara, justru karena rasa ingin tahu saya tentang yang
lain. Pengetahuan tentang penggalian pertanyaan kenapa? Kita selalu berbicara
tentang “bagaimana”, tentang strategi, tentang metode untuk menguasai, untuk
mengajak, untuk bertempur. Kita seperti berada di medan tempur yang harus bisa
bernegosiasi dengan pedagang, dengan tuan-tuan, dengan gaya yang ‘eye cathing’. Kita pun akhirnya kembali
mengapung-apung dalam ruang tanpa eksistensi, kita hanya bergerak berdasarkan
akal pikiran kita yang instrumental.
Saya menduga, ini terjadi karena ada sesuatu yang luar biasa
besar menimpa kita, sesuatu yang tak dapat kita hindari, dan kita juga hidup
dan turut menghisap dan terhisap dari situ. Kekuatan ini telah menyetir kita
sejak dahulu kala, yang ditanamkan di sekolah-sekolah kita, dan juga dalam
iklan-iklan di televisi, dan media massa. Kekuatan ini membentuk cara berfikir
kita sejak dahulu, yaitu cara berfikir hitung-menghitung, cara berfikir
kalkulasi.
Kekuatan itu adalah modal, gaya gravitasinya demikian kuat,
membuat kita manut-manut, dan akhirnya menyerahkan diri kita, serta segala
kemampuan teknis kita untuk dikendalikan oleh modal. Modal itu buta, dan
menggilas kita tanpa perlawanan sedikit pun. Modal menguasai kita hingga
lubang-lubang terpencil kita. Barangkali, kalau kita mencoba untuk mengelak
dari modal, kita akan segera terpental, dan previlese yang kita nikmati sejauh
ini akan menghilang tiba-tiba.
Modal-lah yang mengontrol kita dan menentukan cara berfikir
kita tentang bagaimana menyikapi alam ini. Modal pula lah yang menuntut kita
untuk tidak pusing dengan modal, karena dengan modal kita dapat hidup layak dan
melimpah.
Meski begitu, kita dapat mengantisipasi modal ini, karena
manusia secara kodrati punya kebebasan untuk bertindak. Manusia bisa saja
dituntut oleh modal, tapi kenyataannya dia bisa melakukan hal-hal yang
menurutnya baik, dengan mengakomodir modal di satu sisi, tapi tidak menafikan
nilai-nilai yang telah ia pegang. Manusia adalah mahluk yang bebas untuk
bergerak sesuai tuntutan nilai-nilai yang dia yakini. Manusia adalah mahluk
berbudaya, yang mendasari hakikatnya pada kesadaran, pada cinta kasih,
moralitas, etika, dan kebersamaan. Ada yang mengatakan bahwa keunggulan
seseorang dinilai dari kebaikan nilai-nilainya, keberpihakannya pada yang
lemah, setelah itu adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.
Dapatkah kita membebaskan dari kuasa modal ini? Tentu akan
sangat sulit untuk melepaskan jerat modal, sebab dalam hidup kita selalu membutuhkan
modal. Tapi, kita dapat mengendalikan gaya hidup kita, dengan gaya hidup
sederhana dan tidak menggantungkan diri kita pada materi. Hidup kita menjadi
berharga bukan karena kita memiliki modal yang banyak, tapi karena nilai-nilai
kita yang melimpah, nilai-nilai yang menuntun kita untuk saling menghormati,
menghargai sesama manusia dan sesama mahluk di alam ini. Dengan hidup
sederhana, kita pun dapat bersahabat dengan alam. Sebab alam akan memenuhi
kebutuhan kita yang sederhana itu, tapi tidak dapat memenuhi keinginan atau
keserakahan manusia, begitu pendakuan murni dari Mahatma Gandi. Kita pun dapat
paham tentang nilai-nilai ini dengan membuka diri kita pada ajaran-ajaran
agama, budaya, sejarah, serta dengan rajin membaca sastra serta filsafat, agar
kita dapat menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia yang prihatin terhadap
sesamanya dan terhadap alam.
Saya tidak tahu tulisan ini harus saya selesaikan dengan
cara apa, tapi saya sadar bahwa bisa saja saya keliru dalam menuangkan pikiran,
bisa saja pikiran sayalah yang jahat. Tapi, setidaknya saya sudah berani
berfikir, seperti kata Immanuel Kant, Sapere aude, beranilah berfikir mandiri.
Warkop Daeng Boss, Makassar
6 Mei
2015
0 komentar:
Posting Komentar