Catatan Mammiri Table, komunitas diskusi yang dilakukan pada 2012.
Pada bulan ramadhan tahun
ini (2012),
komunitas mammiri table cukup intens mendiskusikan tema-tema ke-Islaman, mulai
dari Ekologi Islam, ekonomi islam, pemikiran islam, filsafat islam, hingga
budaya islam yang lebih difokuskan pada aspek literasi. Nah, pada salah satu
kesempatan, kami mengundang Sulhan Yusuf untuk mengisi perbincangan dengan tema
perkembangan literasi khususnya di Sulsel, tepatnya di Kabupaten Bantaeng.
Sulhan dianggap cukup paham mengenai literasi sebab beliau memang berkecimpung
dalam dunia perbukuan. Sejak lama beliau merintis toko buku Papirus dan
paradigma, toko buku ini tidak sekadar menjual buku, tapi juga membuat
kegiatan-kegiatan diskusi dan menjadi tempat nongkrong aktivis-aktivis dari
beragam universitas. Saat ini Sulhan fokus pada pengembangan literasi dan
budaya di Bantaeng, dengan menggiatkan diskusi-diskusi buku, perpustakaan
sekolah, serta menerbitkan buku. Komunitas yang beliau bina bernama “Butta
Ilmu”.
Diskusi dipimpin oleh Rahmat
Zainal, mahasiswa Universitas Islam Negeri Makassar. Rahmat membuka dengan
ungkapan bahwa literasi yang ingin kita bangun adalah literasi yang berkaitan
pada yang bersifat advokatif. Ia mencurigai bahwa literasi yang terbangun saat
ini bersifat kamuflase dan terkadang saru. Literasi melahirkan peradaban, namun
menurut Rahmat peradaban saat ini hanyalah bersifat simtomatik atau sekadar
mengangkat permukaan dan tidak menyentuh kedalaman. Sehingga tidak menyisahkan
ruang refleksi pada kita untuk menggali makna yang dikorek dari keseharian.
Nah, literasi yang mengadvokasi ini tampak pada perjuangan Sulhan sebagai
penggiat literasi di beberapa daerah ini.
Tradisi dan gerakan
Sulham membagi kategori dalam
menggiatkan literasi untuk kemajuan peradaban. Pertama ia berbicara tradisi dan
kedua ia berbicara gerakan. Kedua hal itu merupakan aspek-aspek praktis dari
literasi, yang dapat dikonversi ke sejarah masa silam baik itu peradaban muslim
ataupun nonmuslim. Pembahasan ini rencananya akan dikonkretkan dalam bentuk
buku, Sulhan sudah menyiapkan hal itu dimana bukunya berjudul, “Buku, Ilmu dan
Peradaban”. Ia memaparkan kaitan antara buku, ilmu dan peradaban. Pada
peradaban mana pun di dunia ini, tak dapat dipisahkan dari lterasi (buku),
anasir-anasir itu selalu ada.
Sulhan memulai dulu
aspek paling mendasar, yaitu apa itu literasi? Sulhan sering memplesetkan bahwa
kita bisa salah mengartikan literasi ini menjadi lemotarasi. Lemotarasi juga
dibutuhkan dalam kehidupan dalam hal menunjang aspek jasmani kita. Sementara literasi
lebih mengurus aspek-aspek yang berbau kerohanian. Literasi sering dimaknai
secara sederhana sebagai keberaksaraan, tidak lagi dimaknai sebagai
konvensional seperti baca tulis, tapi cakupannya sudah meluas pada pergerakan
dan kemajuan peradaban.
Bagaimana literasi
menjadi sesuatu yang amat penting dalam masyarakat, kemudian memancing kita
menjadi sebuah gerakan sosial? Sulhan memulai bicara sebagai tahapan dengan memetakan
persoalan. Kita masing-masing bertanya, pada level tahapan mana yang sudah kita
tapaki?
Tradisi literasi
dibagi menjadi tiga tahapan, pertama adalah pemberantasan buta aksara. Ketika
sebuah kelompok ataupun bangsa membangun komitmen kebangsaannya untuk tidak
buta huruf. Sehingga menimbulkan gerakan-gerakan pada skala individual,
kelompok atau berbangsa untuk menuntaskan kebutahurufan dan kebutatulisan.
Lalu meningkat pada
gelombang ke dua, yaitu ketika orang membaca dan menulis lantaran kepentingan
atau kebutuhan profesionalitasnya. Misalnya mahasiswa, kenapa membaca buku dan
menulis makalah lebih karena adanya tugas-tugas kemahasiswaannya.
Pada gelombang
berikutnya telah melewati batasan-batasan profesionalitas, tapi lebih mengarah
pada proses memaknai dan menjawab kebutuhan-kebutuhan rohani kita. Sehingga
sebuah karya/tulisan biasa disebut sebagai ‘anak kandung rohani’. Nah, sekarang
mari kita bidik masyarakat, kelompok, dan diri kita sendiri, sudah berada pada
tahapan manakah kita?
Ini kita bisa lihat
dan perbandingkan, kemajuan sebuah bangsa, kelompok atau tingginya dimensi
kerohanian seseorang dari produk-produk ini. Dengan memakai model ini tentu bisa
diarahkan secara strategis, mungkinkah terjadi perubahan kalau tahapan literasi
kita masih pada tahap pertama atau kedua? Sulhan masih sangat percaya kalau
peradaban-peradaban besar selalu dimulai ketika tradisi literasi itu sudah
berada pada tahapan ketiga.
Kita tinjau ke
belakang, baik itu peradaban muslim atau non muslim selalu ada kesadaran bahwa
gerakan literasi merupakan mozaik dari kerja-kerja kerohanian. Peradaban apapun
yang lahir selalu dimulai dengan diskusi intelektual. Perbincangan yang
berlangsung begitu intens kemudian dituliskan dan direproduksi kembali dalam
bentuk artikel, pamflet, manipesto, buku yang menjadi panduan peradaban. Kita
mungkin mengenal beberapa buku yang merubah dunia, seperti Das Kapital, Alquran,
dan Injil. Buku yang Anda baca tentu mempengaruhi pikiran Anda. Sulhan amat
percaya bahwa pada tahapan ketigalah kita bisa berbincang tentang perubahan.
Kalau mahasiswa berkarya masih atas keperluan tugas (profesional), perubahan
nonsens terjadi.
Poin berikutnya
menyangkut aspek gerakan, bagaimana gerakan literasi berkembang? Tahapan
pertama dari gerakan literasi bisa kita lihat pada institusi yang kita klaim
sebagai gerakan literasi, seperti perpustakaan. Fungsi paling dasar dari perpustakaan
yaitu meminjam dan mengembalikan buku. Aktifitas institusionalnya masih seperti
itu dan bersifat sangat konvensional. Yang kita harapkan sebenarnya adalah
ketika institusi literasi ini dapat meningkatkan fungsinya atau mengambil peran
dalam menggiatkan diskursus wacana, memperbanyak aktivitas intelektual seperti
launching buku, bedah buku sehingga menyadarkan para pembaca dan warga mengenai
kondisi dan perubahan sosial yang akan terjadi.
Poin yang ketiga yaitu
bagaimana gerakan literasi ini dicoba disandingkan dengan icon budaya pop.
Misalnya nonton bareng, bergerak dalam komunitas pejalan kaki, penggila harry
potter, komunitas yang tidak punya hubungan langsung dengan dunia baca tulis. Nah
di situ kita mencoba menumpangkan kepentingan literasi kita ke dalam
komunitas-komunitas itu. Icon-icon budaya pop inilah yang menjadi ujung tombak
gerakan literasi yang paling mutakhir. Ini bertolak belakang dengan anggapan
sebelumnya bahwa budaya pop itu selalu berarti tindakan sepele.
Seperti menciptakan
diskusi terbatas pada secuil minat kita pada sesuatu hobi dan aktivitas.
Misalnya bola, Sulhan termasuk pecinta liga Inggris sehingga dia mencontohkan
komunitas pecinta liga inggris. Menurutnya, kita bisa memanfaatkan fanatisme
penggila bola ini untuk membuat ajang kumpul-kumpul, misalnya nontong bareng.
Kemudian setelah itu kita sengaja memancing diskusi yang agak dalam. Misalnya
tentang sejarah bola, makna yang terkandung dari setiap formasi, hingga gerakan
sosial yang terbangun dari sekadar mencintai bola. “Kita coba bangun diskursusnya,
disitu bisa diskusi tentang anarkisme, ketaatan, fanatik. mereka kan tidak
punya bahan. Sehingga memancing mereka untuk membaca,” ujar Sulhan. Sulhan pun
meyakini bahwa tahapan – tahapan menggunakan budaya pop sebagai pintu masuk
budaya dan gerakan literasi jika bertemu di titik puncak masing-masing akan
terjadi perubahan sosial. Pada puncak budaya dan gerakan literasi ini peradaban
akan lahir dengan sendirinya.
.......
Memasuki sesi tanya
jawab, Rahmat memberi respon dengan memaparkan sejarah literasi itu sendiri.
Menurutnya literasi awalnya atau sebelum merebaknya teknologi percetakan ala
Guttenberg dimulai dari aktivitas menyalin. Hasil salinan ini sampai sekarang
masih tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan pribadi para kolektor ulung.
Lantas, kenapa masih tersimpan hingga saat ini? apakah terdapat memori yang
memuat dinamika sosial di dalamnya? Yang kemudian menjadi collectable memmory?
Nah inilah yang menyebabkan perkembangan perawatan, arsipatoris, filology, yang
kemudian kadang juga difungsikan sebagai ajang perebutan makna oleh sebuah
rezim sehingga terjadi monopoli tafsir? Lalu dengan perkembangan teknologi
cetak makna atau tafsir menjadi tersebar. Pada awalnya literasi merupakan tipikal
kerja halus, ketika teknologi berkembang tiba-tiba literasi menjadi semacam
pekerjaan kasar. Bagaimana Kak Sulhan melihat hal ini?
Sulhan menanggapi
bahwa literasi menjadi pekerjaan kasar karena telah direkayasa sedemikian rupa
dan itu hanyalah sebuah artikulasi saja. Literasi merupakan pekerjaan rohani
yang ketika direkayasa menjadi tampak kasar, tapi bagaimana kita bisa
menggesernya menjadi lebih halus lagi. Sekarang medium sudah berubah, yang
dulunya kertas atau buku, sekarang kita sudah bisa menikmati membaca di layar
kaca, yaitu lewat media internet, laptop, ipod, dan adanya jejaring sosial
seperti facebook. Sulham ingin mencoba membuktikan kerja kerohanian ini masuk
ke kerja kasar kemudian bertransformasi lagi menjadi kerja halus.
Di ‘Butta Ilmu’
beliau menerbitkan buku, “cinta dan kemanusiaan”. Buku ini adalah kumpulan
tulisan seorang anak muda di Bantaeng yang juga menjadi anggota komunitas Butta
Ilmu. Tulisan-tulisan anak muda ini awalnya tak begitu dilirik oleh para
pengguna fb, dan hanya menjadi angin lalu saja. kemudian Sulhan berinisiatif
untuk mengedit dan menerbitkan kumpulan tulisan tersebut. Saat itulah produk
rohani itu ditransformasi atau ditingkatkan nilainya sehingga bisa dikonsumsi
dengan elegan oleh masyarakat. “Apa yang kita katakan sebagai sebuah sampah,
kemudian terjadi pendangkalan pada media maya, ketika kita olah dan diangkat
dengan pendekatan budaya pop dengan menjadikannya sebuah buku, lalu kita
rayakan (launching), alhamdulillah kami rasakan atmosfir masyarakat bantaeng untuk
minta dibukukan tulisannya,” ucap Sulhan.
Perjuangan
menerbitkan buku itu membuahkan hasil, sejak saat itu banyak anak muda yang
minta karyanya diterbitkan. Ini akhirnya menjadi semacam bola salju yang
membesar dan berefek ganda. Pemuda
bantaeng mulai menata kata, dengan harap-harap cemas supaya ada yang
memerhatikan anak rohaninya. “Anak ini tiga tahun dia menulis dan tidak ada
yang memperhatikan, kemudian menjadi buku. Bupati datang juga dan membeli 37
eksemplar. Kerja-kerja kultural ketika disajikan dengan kerja struktural bisa
mendapatkan pola yang sama. Sama dengan di desa, mendorong perpustakaan desa,
desa labo menjadi juara dua perpustakaan se sulsel,” tambah Sulhan.
Pada ramadhan
kemarin Sulhan ditelpon oleh karang taruna untuk mendiskusikan lomba menulis. Ia
mencoba agar para pemuda Bantaeng tertarik untuk menggeluti dunia menulis,
hasil lomba itulah yang akan dia terbitkan lagi. Sama halnya ketika dia mengisi
pelatihan menulis di sebuah pesantren, hasil tulisan para siswa itu kemudian
diterbitkan. “buku tersebut selalu saya tenteng-tenteng ketika mengisi
pelatihan menulis di tempat lain,” ujar Sulhan. Cuma rekayasa semacam ini agak
sulit ditetapkan masa depannya atau dikuantifikasi, sebab berbicara peradaban
adalah berbicara generasi. Bagaimana mungkin anak-anak mengikuti kita kalau di
rumah tidak ada perpustakaan?
Nah generasi kita
mungkin mediumnya sudah berbeda. Tapi sudah lah, sekarang dalam pelatihan
membaca dan menulis kita tidak perlu lagi mengarahkan pada membaca buku, tapi
membaca apa saja dengan medium apa saja. Sulhan sangat berharap dengan
langkah-langkah ‘Butta Ilmu’, peradaban di Bantaeng bisa meningkat entah
beberapa tahun ke depan.
Ke depannya, Sulhan berobsesi untuk mengimplementasikan gagasan geoliterasi pada daerah Takalar,
Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai. Dan beliau memulainya di Bantaeng.
Sudah tiga tahun beliau di sana, awalnya ‘Butta Ilmu memilik tagline “hadir
untuk pencerahan” dan sekarang sudah berubah, “bantaeng menuju masyarakat
literasi”. Dan saya bersama teman-teman sudah menyusun roadmapnya selama dua
tahun, dan tiap tahun kami evaluasi.
0 komentar:
Posting Komentar