Sangat banyak manusia yang berkomentar tentang sampah. Mulai dari buanglah sampah pada tempatnya, kantongi sampahmu sendiri, lihat sampah ambil, hingga komunitas sampah dan kata-kata sampah.
Sampah di Pantai dekat Losari (oleh : Idham)
Namun, sampah tidak menghilang dari dunia ini, sampah hanya pindah tempat. Diasingkan, ditimbun, tak diharapkan, tapi terus menerus ada. Sampah menjadi objek penderita kebencian warga kota, di antara kebencian-kebencian mereka pada kenyataan-kenyataan yang tampak sehari-hari, kurangnya pohon di jalan, debu beterbangan, hari semakin menghangat, ributnya kendaraan, para peminta-minta di jalan, dan lalat-lalat yang mengganggu.
Kita selalu berbincang hanya pada penanganan sampah, namun kurang tajam melihat penyebab timbulnya sampah itu sendiri. Dimana sampah semakin banyak seiring semakin banyak produk yang dihasilkan dan semakin banyaknya kita berbelanja.
Jadinya, kita menyalahkan orang yang membuang sampah sembarangan (entah karena tabiat ataukah karena kurang tempat sampah). Kita geram melihat sampah bertaburan di jalan. Namun kita tidak pusing dengan banyaknya barang calon sampah yang tersedia di kios-kios dan di mall-mall.
Seakan-akan beban terberat ada pada konsumen, yang sebenarnya hanya membeli air dalam botol plastik, bukan plastiknya. Membeli krupuk dalam bungkus krupuk, bukan plastik krupuknya. Meski bentuk pertanggungjawabannya pun sangat sepele, hanya membuang sampah pada tempatnya.
Di sisi lain, pihak produsen yang terus menerus memproduksi sampah (plastik), bahan sintesis yang tak dapat diurai, jarang mendapat sorotan. Mereka bebas memproduksi sebanyak-banyaknya plastik, yang pada akhirnya menjadi sampah, merepotkan para pembeli, membuat pusing manusia modern yang mencintai kebersihan, menambah beban pemerintah kota, yang program utamanya melulu mengurusi sampah. Seakan-akan, sampah sebagai musuh utama yang harus dibereskan segera.
Mestinya produsen juga turut bertanggungjawab terhadap lahirnya sampah yang telah dibeli oleh konsumen, misalnya mengolah sampah hasil produk mereka menjadi produk yang juga bermutu.
Musuh kita pun mengkrucut pada plastik, karet, besi, kaca dll (bahan-bahan yang sulit diurai), soalnya sampah lain seperti daun-daun dan kotoran manusia masih bisa diurai oleh bakteri. Alam punya mekanisme sendiri untuk mengatasi sampah yang dihasilkan oleh mahluk hidup, yaitu sampah mahluk lain menjadi makanan mahluk lainnya. Namun, sayangnya alam tidak menyangka ada sampah yang bernama plastik, karet, limbah kimia (pestisida, DDT, sabun dll). Dahulu, di desa-desa juga orang tidak mengenal kata sampah. Sebab mereka tidak punya tempat sampah khusus, karena bekas produk manusia semuanya bisa diolah kembali oleh alam, misalnya limbah sayuran, limbah konsumsi.
Dengar-dengar ke depan kantong plastik akan semakin mahal dan berbayar ketika kita belanja di supermarket. Lagi-lagi konsumen yang ditekan melalui pendekatan pasar. Konsumen diasumsikan akan mengurangi penggunaan plastik karena tak ingin mengeluarkan uang lebih untuk plastik belanjaan.
Lagi - lagi, soalnya bukan membuang sampah pada tempatnya atau lihat sampah ambil. Tapi, bagaimana kita bisa secara bersama-sama memikirkan strategi sosial budaya untuk mengurangi laju penciptaan sampah. Dengan menghasilkan produk yang bisa diurai oleh alam, menerapkan pola hidup sederhana dengan konsumsi cukup (sesuai kebutuhan saja).
Namun, kita pun harus sadar bahwa sampah adalah bagian utuh dari modernitas yang dibangun oleh teknologi dan pengetahuan, untuk akumulasi modal dan efisiensi hidup manusia. Kata teman Asra Tillah, sampah adalah anak haram modernitas. Tak diinginkan tapi selalu saja ada dan mengganggu penglihatan kita.
0 komentar:
Posting Komentar