Taksi sejak mulanya dicitrakan sebagai tumpangan berkelas, wangi, sejuk, dan privat. Taksi muncul di kota-kota besar, tempat uang mengalir deras, sehingga gelembung kelas tengah - atas meluap-luap. Tampaknya, bos-bos perusahaan taksi melihat ceruk ekonomi untuk memanjakan kaum berduit itu. Semakin melimpah borjuisnya, maka semakin meruaklah tumpangan excellence seperti itu.
Memang penumpang membayar cukup banyak, hingga ratusan rupiah hanya satu kali jalan. Berbeda dengan naik angkot yang tidak sampai mengeluarkan uang biru dan kadang-kadang recehan sudah cukup. Namun, ongkos sebesar itu tidak besar bagi seorang supir taksi. Supir harus membagi pendapatan dalam sehari dengan perusahaan taksi, yang akhirnya hanya memperoleh sebagian dari keseluruhan.
Saya merasakan penderitaan Sang Supir, sebab beberapa kali ngobrol dengan mereka jika sedang di Jakarta, dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya, dalam sehari mereka memperoleh Rp. 100.000 - Rp. 300.000, itupun dengan bekerja satu harian penuh, bolak balik mengantar penumpang. Dalam seminggu mereka bekerja 3 - 4 hari, bekerja selang - seling, setiap bekerja dalam sehari, mereka harus istirahat sehari berikutnya, lalu bekerja lagi. . Ada pula yang memilih bekerja malam hari, dari magrib hingga subuh. Mereka menembus malam untuk mencari penumpang. Memang, pekerjaan ini hanya duduk-duduk di depan kemudi, tapi sebenarnya cukup menguras energi. Bayangkan Anda seharian berada dalam mobil di tengah kota Jakarta? Bayangkan lagi, jika Anda berada di jalanan setiap hari di Jakarta? Jadi, energi dan tidur cukup begitu penting bagi pekerjaan mereka.
Rata-rata supir taksi sudah lama bekerja sebagai supir, ada yang lebih dari sepuluh tahun. Mereka bisa bertahan hidup, itupun dengan tertatih-tatih dengan mengandalkan pemasukan yang cukup. Hingga bisa menghidupi anak dan istri, yang banyak juga tidak berada di Jakarta, tapi berada di pedalaman Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Banyak diantara para supir yang merantau jauh-jauh untuk menghidupi keluarga. Mereka mensiasatinya dengan pulang bertemu anak dan istri sekali atau dua kali dalam sebulan.
Anggaplah mereka memperoleh Rp. 200.000 perhari, dikalikan 15 berarti Rp. 3 juta dalam sebulan. Dana itu mereka distribusikan untuk membeli barang-barang pokok untuk konsumsi, menyekolahkan anak, dan juga jajan rokok dan kopi. Saya pikir, para supir ini mampu mengelola dana sebesar itu, dengan cara berhemat. Tapi, saya tidak habis pikir, jika pendapatan mereka berkurang hingga 30-50%, sejak adanya transportasi onlen. Jadi pendapatannya hanya Rp. 1.5 - 2 juta perbulan. Tampaknya, dengan penghasilan seperti itu, hidup di Jakarta lagi, benar-benar malapetaka.
Maka wajarlah, para supir yang merasa senasib, melakukan protes di jalan-jalan Kota Jakarta. Protes terhadap kedatangan transportasi onlen, yang lebih progressif, lebih murah, lebih memanjakan kaum menengah atas. Tau lah, menengah atas juga cari yang murah, apalagi dengan pelayanan nyaman.
Tampaknya, kemajuan selalu berpihak pada mereka yang lebih adaptif terhadap kehendak kelas berpunya, dan tahu keinginan-keinginan mereka. Yang jadi korban adalah mereka yang hanya mengandalkan tenaganya, untuk dijual pada perusahaan taksi. Kelas menengah untung, perusahaan taksi tidak rugi-rugi amat.
0 komentar:
Posting Komentar