MEA sudah berlaku, dengan malu-malu kucing. Karena saking licinnya, kita sebagai warga Indonesia banyak yang tidak menyadari peristiwa genting ini, jika banyak yang setuju dikatakan genting. Kita tak merasakan perubahan apa pun dengan berlakunya MEA ini, atau mungkin belum begitu terlihat dalam jangka waktu singkat, entahlah.
Memang, tingkat kesenjangan mengalami penurunan (menurut survei kompas yang terbit kemarin, 19 April 2016), tapi apakah karena MEA, tentu bukan. Ekonomi lagi merosot-rosotnya, sebab pondasi ekonomi kita lebih bersandar pada ekspor bahan baku, yang ketika ekonomi dunia, apalagi ekonomi Cina guncang, kita pun ikut bergoyang. Sedotan row material yang rendah membuat kita berubah fikir, untuk kembali membangun infrastruktur untuk mendukung industri untuk peningkatan nilai bahan baku. Agar kita tidak perlu terlalu bergantung pada pasar ekspor. Lagian, pasar dalam negeri kita cukup besar serapannya, domestik menyumbang 50 persen (Data prediksi ekonomi kompas 2016).
Lantas, dari mana ide MEA ini berasal? Dari buku Abad Bapak Saya, karya Greet Mak, dijelaskan tentang asal mula terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa yang disingkat Uni Eropa pada 1957. Tahun 50-an di Eropa merupakan tahun rekonsiliasi, penyembuhan terhadap bunuh diri Eropa dalam Perang Dunia ke-2. Perubahan kebudayaan didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta perataan ekonomi akibat kehancuran bersama saat perang. Negara-negara Eropa yang semuanya punya kecendrungan nasionalis, akhirnya sepakat untuk melebur dalam satu komunitas, yang sebelumnya tidak terbayangkan sama sekali, yaitu Masyarakat Ekonomi Eropa.
Dalam MEE ini, terjadi arus tenaga kerja antar negara Eropa, begitu halnya dengan arus barang, yang ujungnya adalah penggunaan mata uang bersama. Namun, kata Greet, bendera Merah Putih Biru (Belanda) pun akhirnya harus selalu bersanding bersama dengan bendera negara eropa yang lainnya. Nasionalisme pun tidak lagi meledak-ledak seperti perasaan nasion sebelum perang dunia 1 dan 2, justru yang hadir adalah perasaan takut pada sesuatu yang lain, yang berada di seberang, yang tak lain bagian mereka juga, yaitu eropa timur, khususnya Uni Soviet. Meski sesama eropa, Eropa Timur punya karakteristik yang terasa lain, hal ini disebabkan dikotomi yang dibangun sejak dahulu kala, yaitu pembagian kristen barat yang diwakili Romawi, dan Kristen Timur pada Konstantinopel dan negara timur lainnya.
MEE menyebabkan kemakmuran meningkat, gaji pegawai meningkat berkali-kali lipat, orang dapat menikmati waktu luang lebih banyak, negara rendah dapat bantuan dari negara tinggi, jaminan sosial pun diterapkan hingga penduduk-penduduk yang kurang mampu pun dapat hidup layak. Tapi, faktor yang lebih besar sebenarnya adalah adanya trauma perang dunia dan kecemasan akan timbulnya semangat nasionalisme baru dari negara-negara eropa. MEE sebagai sarana untuk bekerjasama dalam pengembangan negara masing-masing. Selain itu, sebagai wadah untuk saling menguatkan untuk menangkal pengaruh komunisme dari Eropa Timur.
Kembali ke Masyarakat Ekonomi Asean, seperti apakah latar belakang MEA ini? Apakah hanya demi kepentingan ekonomi bersama atau adakah sesuatu yang lebih subtil, seperti perasaan senasib negara-negara di Eropa? Jika perasaan senasib, apakah karena kita pernah sama-sama dijajah oleh orang Eropa? Indonesia oleh Belanda, Malaysia-Singapura oleh Inggris, Vietnam oleh Prancis, Filipina oleh Amerika Serikat. Ataukah karena kita sama-sama mengalami agresi Jepang yang saat itu begitu fasis?
Mungkin kita perlu tanyakan ke diri kita masing-masing, seberapa kenalkah kita dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam? Sudah terbangunkah rasa persaudaraan bersama antar kita, sesama warga Asean? Apakah kita perlu dulu berlama-lama membangun keakraban sebelum ekonomi kita sharing secara bersama untuk kemakmuran bersama? Atau, jangan-jangan kita sekadar meniru-niru pada model kerjasama para penjajah bangsa kita dahulu.
0 komentar:
Posting Komentar