Barangkali agak basi, wacana tentang regenerasi aktivis LSM sudah saatnya kita pikirkan lagi secara bersama dan mendalam. Saya baru menyadari hal ini setelah mengamati dan mengalami begitu sulitnya menemukan anak muda yang punya ketertarikan pada dunia LSM, yang mau mendedikasikan hidupnya untuk bersusah-senang bersama masyarakat. Ada pun yang senang atau setengah senang pada kerja LSM, ketika akhirnya terlibat dalam hidup-nya LSM, tampak kesulitan untuk menemukan rasa dan denyut getar dengan masyarakat. Hingga ujungnya tiba pada kebosanan hidup, dan tenggelam dalam rutinitas yang lebih bersifat administratif.
Bukan hanya pada tataran individual, tapi juga ranah institusi/lembaga. Memang masih banyak LSM, khususnya lembaga yang lebih mengurusi wacana-wacana sosial yang umum, seperti kemiskinan, kelompok marginal, atau persoalan hukum. Tapi, LSM yang bergerak pada isu-isu spesifik, seperti isu perikanan dan konservasi lingkungan boleh dikata masih kurang. Itu pun jika ada, hidupnya kembang kempis, dan sangat tergantung pada asupan susu dari luar.
Saya mencoba untuk menganalisa lebih dalam faktor yang melatar belakangi kondisi tersebut. Kali ini saya mencoba melirik kampus sebagai sumber utama dalam pengkaderan aktivis LSM.
Pertama, kampus, sebagai benteng intelektual dan intelegensi, tidak memiliki skema yang penuh dan jelas untuk menyiapkan mahasiswa terjun ke pengembangan masyarakat kecil, dalam artian yang sebenarnya. Apalagi pada jurusan ilmu eksakta, yang memang tidak mendalami ilmu-ilmu humaniora serta ilmu sosial. Kampus justru menerapkan metode untuk menghasilkan pekerja skala perusahaan dan abdi negara. Mereka diberi kompetensi untuk mengatasi persoalan teknis pada perusahaan-perusahaan yang padat modal. Namun kurang diperkenalkan metodelogi untuk mengatasi persoalan-persoalan pada unit usaha kecil, yang kurang modal, apalagi ekonomi kecil seperti yang dimiliki petani, nelayan, dan petambak ikan.
Kedua, khusus pada jurusan eksakta, kampus tidak melatih mahasiswa untuk mengorganisir masyarakat. Yang dilakoni kampus adalah skema untuk meningkatkan kemampuan individual mahasiswa, bukan berupa kemampuan untuk meningkatkan kecerdasan bersama, atau berkembang bersama dalam sebuah komunitas. Kemampuan individual ini digodok dalam bentuk tugas-tugas ilmiah di kelas ataupun di laboratorium. Sedangkan kemampuan sosial kurang terasa karena memang mahasiswa kurang terlibat dalam kehidupan masyarakat, selain kurang membaca kajian-kajian sosial. Misalnya, mahasiswa perikanan, mereka hanya sekali-sekali mendatangi komunitas nelayan atau pun petambak tradisional. Sehingga, orientasinya tertuju pada perusahaan yang akan mempekerjakannya dengan gaji tinggi, bukan terlibat dalam masyarakat nelayan atau petambak yang minim ekonomi.
Ketiga, karena jarangnya mereka hidup bersama masyarakat, kecintaan murni terhadap warga desa atau kampung sangat sulit hadir di jiwa mereka. Hal ini berefek pada penelitian-penelitian yang dikembangkan. Rata-rata penelitian mahasiswa berkutat pada persoalan teknis yang dialami oleh perusahaan padat modal. Sedangkan persoalan masyarakat kecil, seperti petambak-petambak tradisional kurang mendapat perhatian.
Keempat, kampus seakan-akan mengendurkan semangat mahasiswa untuk berlembaga. Kampus serentak menganggap aktivitas dalam lembaga itu dapat menghambat kegiatan keilmuan yang bersifat resmi. Fatalnya, niat buruk ini sudah ditampakkan dalam bentuk ancaman sangsi akademik pada beberapa aktivis kampus yang melanggar aturan yang sengaja dibuat untuk menghalang-halangi munculnya pikiran-pikiran-gerakan-gerakan kritis mahasiswa.
Padahal, dalam kehidupan berlembaga, mahasiswa menemukan ruang untuk berdialektika, sehingga mahasiswa terbiasa menghadapi tekanan dalam komunitas, serta mampu bekerjasama dalam komunitas untuk mengembangkan komunitas. Kompetensi pun diperoleh berupa kecerdasan emosional (seni mempengaruhi dan bekerjasama) dan kognitif (seperti strategi pengelolaan lembaga). Integrasi kecerdasan tersebut, memampukan alumni mahasiswa untuk menyusun konsep yang tepat, berbasis ilmiah dan sesuai rasionalitas untuk pengembangan masyarakat.
Padahal, dalam kehidupan berlembaga, mahasiswa menemukan ruang untuk berdialektika, sehingga mahasiswa terbiasa menghadapi tekanan dalam komunitas, serta mampu bekerjasama dalam komunitas untuk mengembangkan komunitas. Kompetensi pun diperoleh berupa kecerdasan emosional (seni mempengaruhi dan bekerjasama) dan kognitif (seperti strategi pengelolaan lembaga). Integrasi kecerdasan tersebut, memampukan alumni mahasiswa untuk menyusun konsep yang tepat, berbasis ilmiah dan sesuai rasionalitas untuk pengembangan masyarakat.
Keadaan hidup bersama dalam susah dan senang, dapat menimbulkan kesadaran akan penderitaan yang dialami oleh orang lain, yang nantinya akan diteransformasi berupa kesadaran akan penderitaan rakyat dan adanya upaya untuk pendampingan masyarakat.
Kelima, skema KKN yang dimiliki kampus, belum betul-betul strategis dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Mahasiswa kurang dibekali secara serius tentang strategi untuk hidup bersama dengan masyarakat dan belajar menggali persoalan masyarakat secara mendalam, serta strategi pengembangan ekonomi masyarakat. Mahasiswa banyak yang sekadar menjalankan program, yang kadang-kadang bersifat seremonial dan tidak melekat secara kuat di benak masyarakat. Sehingga, pra dan pasca kegiatan KKN, kehidupan warga tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Buntut dari akumulasi faktor-faktor yang saya susun secara sederhana seperti di atas adalah kurangnya minat mahasiswa untuk terlibat dalam dunia LSM. Mereka rata-rata kebingungan dengan kerja-kerja LSM di masyarakat, yang terlihat lamban dan tampak tidak menghasilkan apa-apa. Selain itu, kurangnya minat ini diperkuat oleh persepsi bahwa jika kita terjun di dunia LSM maka kita akan susah kaya. Mahasiswa kebanyakan mencari pekerjaan yang bergaji tinggi, yang biasanya diperoleh pada perusahaan atau lembaga negara. Sedangkan kerja LSM di masyarakat sekadar cukup dari segi pendapatan, tapi melimpah dari segi makna hidup. Pegiat LSM pada dasarnya hidup dari nilai-nilai yang mereka pegang, atau biasa yang kita sebut sebagai ideologi. Jika ada pegiat LSM bekerja hanya karena ingin mendapat gaji, yakin saja pegiat LSM itu tidak akan bertahan lama untuk mendampingi masyarakat.
***
Untuk itu, marilah kita bersama-sama memikirkan strategi untuk regenerasi kader LSM di dalam kampus. Jika kita terlambat dalam mengantisipasi persoalan ini, ke depan, akan susah diharapkan para alumni kampus untuk terlibat dalam dunia LSM. Ataupun mereka terlibat, dalam pikiran dan hati mereka, bukan sebagai aktivis LSM, tapi sekadar pekerja dalam organisasi swadaya masyarakat.
Tamalanrea, 11 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar