Ia telah lewat, kata orang banyak. Ia melintas serupa angin, yang terasa namun tak mampu kita tangkap. Kita hanya bisa menikmati getarnya, menembus kulit, ke dalam relung. Namun, Kita tak tahu, sejauh mana rasa itu hinggap? Apakah mampu merombak lagi bayangan yang sebelumnya telah terbentuk dengan beragam sentuhan? Lalu muncul gambar baru, orientasi baru.
Foto : Istimewa
Ramadhan memberi kita sebuah pengalaman pada spirit. Pengalaman yang spesial, yang sebelumnya hanya terbersit, kadang-kadang, sebab jangkarnya melekat pada batu licin. Ramadhan barangkali cukup membantu untuk kembali menemukan dalam diri kita, sesuatu yang suci. Jika terkoneksi, dampaknya serupa senter kepala, mampu menerangi kita saat terperangkap dalam gelap.
Persentuhan dengan yang suci atau apalah namanya. Yang kata seorang filsuf, Heidegger, yaitu persentuhan dengan Ada, merupakan momentum kita untuk hadir di sebuah dunia, saat ini ramai disebut sebagai eksis. Namun, Islam dan Ramadhan, hanya salah satu jalan dimana Ada itu merambat. Ada serupa rumput liar yang akarnya tak habis-habis, tiba dimana saja, namun tak terlihat. Ada hanya eksis jika jiwa-jiwa terbuka padanya, membiarkannya melintas, sadar.
Saya tak tahu, apakah fenomenologi Ontologis Heidegger ini mengafirmasi jalan batin para tarekat, jalan suci para petualang, dimana "Ada dan pengetahuan akan Ada" merasuk melalui bening hati?
Ramadhan dapat juga disebut sebagai teknik, sebagai metodelogi, memandu kita untuk bersentuhan dengan hakikat. Tentu, banyak rintangan, misalnya pekerjaan rutin yang membuat kita lupa, terjebak pada keseharian. Tapi, jika keseharian itu kita lemparkan ke dasar, bertanya-tanya dengan hati gundah, kita pun dapat terhubung kembali, membuat mata kita terang, penglihatan kita otentik. Kita pun melakukan koreksi-koreksi terhadap keseharian,
Apa yang tersisa dari Ramadhan? yang tersisa adalah pengalaman bersentuhan dengan diri kita sendiri. Kenapa kita merasa ada yang hilang setelah Ramadhan? Karena kita dengan sengaja lupa, dan lebih memikirkan hal-hal sepele, teknis sehari-hari.
Saya pun begitu.
Minal Aidin wal Faidzin. Maaf Lahir Batin.
Foto : Istimewa
Ramadhan memberi kita sebuah pengalaman pada spirit. Pengalaman yang spesial, yang sebelumnya hanya terbersit, kadang-kadang, sebab jangkarnya melekat pada batu licin. Ramadhan barangkali cukup membantu untuk kembali menemukan dalam diri kita, sesuatu yang suci. Jika terkoneksi, dampaknya serupa senter kepala, mampu menerangi kita saat terperangkap dalam gelap.
Persentuhan dengan yang suci atau apalah namanya. Yang kata seorang filsuf, Heidegger, yaitu persentuhan dengan Ada, merupakan momentum kita untuk hadir di sebuah dunia, saat ini ramai disebut sebagai eksis. Namun, Islam dan Ramadhan, hanya salah satu jalan dimana Ada itu merambat. Ada serupa rumput liar yang akarnya tak habis-habis, tiba dimana saja, namun tak terlihat. Ada hanya eksis jika jiwa-jiwa terbuka padanya, membiarkannya melintas, sadar.
Saya tak tahu, apakah fenomenologi Ontologis Heidegger ini mengafirmasi jalan batin para tarekat, jalan suci para petualang, dimana "Ada dan pengetahuan akan Ada" merasuk melalui bening hati?
Ramadhan dapat juga disebut sebagai teknik, sebagai metodelogi, memandu kita untuk bersentuhan dengan hakikat. Tentu, banyak rintangan, misalnya pekerjaan rutin yang membuat kita lupa, terjebak pada keseharian. Tapi, jika keseharian itu kita lemparkan ke dasar, bertanya-tanya dengan hati gundah, kita pun dapat terhubung kembali, membuat mata kita terang, penglihatan kita otentik. Kita pun melakukan koreksi-koreksi terhadap keseharian,
Apa yang tersisa dari Ramadhan? yang tersisa adalah pengalaman bersentuhan dengan diri kita sendiri. Kenapa kita merasa ada yang hilang setelah Ramadhan? Karena kita dengan sengaja lupa, dan lebih memikirkan hal-hal sepele, teknis sehari-hari.
Saya pun begitu.
Minal Aidin wal Faidzin. Maaf Lahir Batin.
0 komentar:
Posting Komentar