Membincangkan Islam yang dihubungkan dengan sains, selalu
memancing rasa penasaran kita. Termasuk salah satu tulisan dari Dinda Mahram
Mubarak di kolom opini website Khittah, yang menyuarakan Islam yang
berkemajuan.
Islam merupakan identitas kita, yang kita terima secara empirik dan barangkali emphati sejak kita kecil, sedangkan sains adalah tema umum dalam perkembangan kedewasaan kita, yang identik dengan pemikiran rasional dan pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan. Islam adalah perwujudan sesuatu yang bergumul dari dalam entitas kita atau biasa disebut fitrah, untuk menuju pada yang Baik (virtue). Sedangkan sains adalah bentuk dari pencarian kita pada kebenaran ilmiah, yang kedua-duanya sudah terformat matang dalam jiwa.
Kali ini saya akan membahas kaitan Islam dan sains yang lebih
luas, dalam artian sains adalah temuan manusia sebagai sarana hidup. Apakah
Islam menginspirasi sains, atau sains mengembangkan Islam? Bisa kedua-duanya.
Tapi, jika kita telusuri di awal-awal, konteks sosial dan ekonomi selalu
menjadi landasan untuk turunnya ayat-ayat, lalu ayat-ayat itu pun kembali
menguatkan nurani kita dengan kekayaan maknanya, lalu kemudian diturunkan lagi
dalam bentuk metode untuk perbaikan kehidupan di dunia.
Ayat-ayat tersebut, karena saking lenturnya, dapat menembus
ruang dan waktu. Menjadi penerang saat kita sulit, dan pemandu untuk menemukan
cahaya kebaikan. Kitab sastrawi itu banyak menjadikan kisah-kisah sejarah
manusia sebagai pemandu pemimpin Islam untuk membentuk masyarakat madani, di
tengah dua kekuatan besar, yaitu Romawi dan Persia, yang masih bersifat
konservatif feodalistik. Masyarakat madani menerapkan konsep keadilan sosial
berupa kontrak sosial untuk saling tolong menolong dan menghargai kepercayaan
masing-masing. Selain itu terdapat konsep baitul mal, institusi yang melakukan
distribusi kekayaan yang diperoleh melalui mekanisme zakat kepada segenap
warga, apalagi kaum duafa. Masyarakat madani merupakan koreksi terhadap
konsep-konsep kemasyarakatan saat itu dan sebelumnya, yang terang-terangan
melakukan penindasan terhadap hakekat manusia, serta tidak terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh ummat manusia.
Untuk sebuah era yang menunjukkan tanda-tanda kejemuhan, Islam,
yang terinstantiasi di dalamnya kepemimpinan dan gagasan akan kemajuan (baca :
hadirnya ayat-ayat yang korektif), betul – betul merekonstruksi zaman-zaman
sebelumnya, memberikan pelajaran, serta arahan akan sesuatu yang ideal. Betul
jika dikatakan bahwa kitab wahyu tersebut adalah mukjizat, sebab saat itu
manusia dipenuhi oleh kecurigaan, dan kedangkalan berfikir. Tampaknya, Tuhan
yang Maha Abstrak itu, tidak sabar lagi melihat ketimpangan yang menguasai
manusia, dimana manusia dengan imajinasi liarnya mengobrak-abrik kebenaran,
memutar balik fakta, hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok-kelompok
tertentu, terhadap massa manusia lainnya.
Tersebutlah dalam salah satu kisahnya yang paling popular, yakni
tentang Adam sebagai manusia pertama. Betul, jika kita melihat konteks ekologi
dan teknologi yang digunakan. Adam, bersama kedua putranya, telah mengembangkan
pertanian dan peternakan. Berarti, jika kita hubungkan dengan
penelitian-penelitian arkeologis dan sejarah manusia, menunjukkan bahwa Adam
berada pada zaman modern pertama. Hal ini bisa kita telusuri dalam buku Gun, Grem, and Stell, karya Jared
Diamond, bahwa zaman modern dimulai ketika sekelompok manusia di daerah Bulan
Sabit Subur, Timur Tengah dengan tidak sengaja menemukan biji-bjian yang bisa
dibudidayakan, serta tidak sengaja berinteraksi dengan hewan-hewan yang dapat
dijinakkan (domestifikasi) dan diternakkan. Kemudian komunitas tersebut
mengembangkan kultur biji-bijian dan mulai menerapkan konsep gembala pada
hewan-hewan ternak.
Penemuan tersebut memacu perkembangan teknologi derivatnya,
sehingga manusia akhirnya belajar menetap dalam satu kawasan, dan hanya
sesekali melakukan perburuan hewan-hewan liar di dalam hutan. Manusia tidak
lagi membatasi jumlah anaknya, karena anak dibutuhkan untuk mengawasi
lahan-lahan yang demikian luas. Maka dengan mengikuti arus waktu, pada lokasi
tersebut muncullah pemukiman pertama yang jumlah anggotanya tidak lagi dalam
bentuk kelompok kecil, tapi berupa koloni-koloni. Dari kondisi material seperti
itu pula lahirlah konsep masyarakat pertanian, yang mengharuskan adanya
struktur kepemimpinan, untuk mengontrol jalannya pembangunan pertanian.
Pemimpin, dengan sokongan pajak anggota masyarakatnya, mulai
mendistribusikannya untuk pembangunan kanal-kanal, irigasi-irigasi, mulai lah
muncul kelompok intelektual yang membantu pemimpin dan masyarakat untuk
mengembangkan teknologi pertanian. Kelompok intelektual ini tidak berprofesi
bertani, tapi sebagai pembelajar yang punya banyak waktu luang, sehingga dari
orang-orang seperti ini memungkinkan lahirnya pemikiran-pemikiran abstrak, baik
itu filsafat, budaya, dan ilmu tata sosial dan politik.
Dalam kondisi seperti itu, agama pun menjadi sesuatu yang
penting, dan mulai dilegalkan oleh pemerintah. Agama, yang ada konsep Tuhan di
dalamnya, kian dalam masuk ke alam psikologis para petani. Tuhan dianggap
penentu untuk keberhasilan sebuah lahan, dimana manusia berada diantara harap
cemas akan masa depan, di tengah kondisi musim, ancaman kekeringan dan hama.
Agama pun dipolitisasi oleh para pemimpin, sebagai bius agar rakyatnya tetap semangat
bekerja mengolah lahannya.
Dalam konteks seperti itulah, barangkali Adam menemukan
Tuhannya, ataukah Tuhan mencipta manusia yang dapat memikirkan hakikat
ketuhanan. Adam menemukan tuhan, dengan rasio akal murninya, yang bukan lagi
dengan menyembah pohon, batu atau gunung, seperti kepercayaan-kepercayaan
generasi sebelumnya atau komunitas manusia yang belum mengembangkan pertanian,
tapi menyembah Tuhan yang Maha Kuasa, yang menguasai alam semesta. Adam
barangkali menemukannya seperti Newton menemukan teori gravitasi. Pristiwa
jatuhnya apel membuka kesadarannya akan adanya suatu hukum alam, yang disebut
gravitasi. Meski pada dasarnya gravitasi sudah ada sejak adanya massa di alam
raya ini. Berarti, Tuhan dan keteraturannya, sudah ada sebelum Adam (bersifat
intransitive: dapat ada dengan atau tanpa pengetahuan manusia), hanya saja
membutuhkan syarat-syarat tertentu, agar pemikiran akan keberadaan tuhan
betul-betul dapat terwujud.
Manusia sebelum Adam, dianggap adalah mahluk yang belum
sempurna, dalam artian belum memiliki kesadaran akan ketuhanan. Secara
material, manusia sebelum era Adam, adalah manusia berburu, yang kesadarannya
betul – betul terpaku pada lingkungan sekitarnya dan belum mampu melintas batas
kesadaran ruang hidup yang melingkupinya.
Kita kembali lagi, bagaimana Islam dan Ekologi berkelindan
cantik. Salah satu ajaran inti dalam Islam adalah sedekah, yaitu memberikan
sebagian dari yang kita punya kepada manusia lain ataupun kepada alam. Semua
entitas di alam ini, baik material maupun mahluk hidup, mulai dari tingkat
sederhana hingga tingkat paling kompleks, adalah berupaya menyumbangkan sesuatu
yang berharga dari dirinya kepada mahluk lain. Seperti yang pernah diungkapkan
oleh Khusnul Yaqin, ahli Toksikologi dari Universitas Hasanuddin, bahwa mahluk
yang paling tinggi tingkat ketaatannya dalam hal sedekah adalah bakteri.
Bakteri merupakan mahluk decomposer (pengurai) yang berada pada alas terbawah
dalam rantai makanan. Lantaran aktivitas bakteri ini, maka memungkinkan
berkembangnya lapisan – lapisan mahluk di atasnya, yaitu produsen seperti
biji-bijian, konsumen pertama, konsumen kedua, hingga konsumen puncak, yang
lapisan teratasnya adalah manusia, yang merupakan mahluk yang dapat
mengkonsumsi semua lapisan, serta punya tingkat kesadaran tertinggi. Lantaran
dapat mengkonsumsi secara materil semua tingkatan, manusia pun harus bisa
mengamalkan setiap kebaikan yang ditonjolkan pada masing-masing lapisan.
Demikianlah sedikit uraian yang cenderung bersifat cocoklogi,
tapi dengan cocoklogi seperti ini, kita yakin bahwa kesadaran kita sedang
bekerja dan berupaya untuk tidak menghianatinya.
Tamalanrea, 26 Agustus 2016
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar