Rasa-rasanya, tak cukup waktu untuk mendalami kehidupan manusia Kei. Empat hari di Maluku Tenggara, membuat saya tenggelam dalam suasana nuchter, alamiah, dengan rasa sari yang terjalin dalam jejaring manusia yang berjuang untuk hidup - menghidupi.
Kepulauan Kei, dengan segala kemelutnya, menyimpan bejibun keindahan, berupa bentang alam pantai, teluk, batu-batu kapur, pepohonan yang menjadi habitat burung-burung elok dan langka, yang tanpa disadari turut membentuk jiwa manusia. Jiwa yang tanpa tedeng aling-aling, yang terbuka terhadap beragam kebudayaan lain, yang ekspresif dan tanggap. Tercermin dalam tawa lepas mereka, dan respon radikal terhadap segala ancaman yang mengusik kehormatan mereka.
Terbentang pemahaman dalam benak, bahwa nilai-nilai manusia sebagai bentukan alam yang berdialektika dengan tekanan material maupun waktu. Serta sebentuk kompromi ideal akan hidup bersama.
Hidup bersama, yang begitu lentur manifestasinya dalam setiap konteks dan momentum, seperti kebudayaan kota, akan terasa berbeda jika kita menemukanya dalam kehidupan masyarakat Kei, tepatnya yang berada jauh dari pusat-pusat kekuasaan, di desa-desa, di pulau-pulau.
Bersama Om Udin (foto Dhelon)
Hidup di Pulau, di tengah Papa-Papa dan Mama-mama, di antara pepohonan kelapa dan rumah kayu, menimbulkan kenyamanan melalui obrolan-obrolan ringan tentang ketam kenari (kalomang), petuah dan sasi, cerita-cerita kriminal dan horor, keluh kesah akan sulitnya hidup dan kendala dalam berbudidaya rumput laut.
Ya, dalam suasana intim itulah, kita bersama-sama mencoba untuk lebih berfikir mendalam dalam melihat akar-akar penyebab penyakit rumput laut, serta mengajak mereka untuk mengerti dan mencerna informasi tentang rumitnya kongkalikong perdagangan rumput laut di dunia, yang berefek pada rendahnya harga rumput laut yang mereka hasilkan.
Pada momen-momen ringkas ini, terasa betul semangat perjuangan manusia Kei untuk mencapai apa yang kita sebut sebagai kemakmuran. Makmur, yang dalam hal ini terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan hidupnya, serta masing-masing pribadi memperoleh martabat dalam percaturan hidup bersama.
Untuk itu, dalam pengelolaan rumput laut, mereka melakoninya secara bersama, tercermin dalam praktek hidup mereka sehari-hari, melaut bersama untuk memeriksa rumput laut, memetik dan mengikat bibit rumput laut bersama pada sore hari, memberi ruang kepada kerabat yang juga ingin membudidayakan rumput laut, dan kumpul-kumpul malam hari untuk bercerita lepas berbagi kisah.
Dalam segala tata pergaulan bersama itu, semangat petuanan tetap dijaga dan dipegang erat-erat, yang kadang-kadang menimbulkan prasangka dan cekcok, sebab masing-masing pihak merasa punya hak dalam pengelolaan suatu kawasan. Sebab itu, perlu kedalaman untuk mencerna praktek-praktek adat dan kekuasaan masyarakat Kei. Yang jika kita tidak peka dapat menimbulkan mala petaka.
Pada setiap kebudayaan, terdapat norma-norma yang mengikat masyarakatnya, agar dapat bergaul dengan sehat. Namun, dalam setiap kebudayaan pula, norma-norma ini menimbulkan sifat-sifat feodalistik, yang mengandung sentimen manusia satu terhadap manusia lainnya, penguasaan manusia satu terhadap manusia lainnya, atas dasar penguasaan nilai-nilai atau pengetahuan. Namun, nyatanya, dimana-mana, saat ini terjadi pergeseran nilai-nilai - pengetahuan, berbuntut pada perubahan standar dalam mengukur strata sosial, hal ini menuntut komunitas untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup.
Kegamangan yang saya rasakan ini, dengan latar bentang kebudayaan yang jauh, namun disertai semangat kemanusiaan yang kuat. Sangat perlu untuk menggali lagi nilai-nilai hidup Manusia Kei, yang mungkin saja mulai tercerabut lantaran berbenturan dengan nilai-nilai baru, yang hadir akibat interaksi yang intens dengan beragam kepentingan, baik dalam bentuk administrasi negara dan bersentuhan dengan dunia perdagangan - globalisasi.
Manusia Kei harus berdaulat terhadap sumberdaya alam mereka sendiri. Dan menjadi suatu keharusan bagi generasi-generasi muda Kei untuk mengerti percaturan hidup dunia, sejauh mana para pembudidaya dan nelayan Kei terlibat aktif dalam perekonomian dunia. Sejauh mana manusia Kei dapat mengambil manfaat dan tidak lagi dimanfaatkan oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Bekal pengetahuan dan pendidikan yang bersifat merakyat, sangat diperlukan untuk mengangkat derajat manusia Kei, agar tidak terombang-ambing dalam lautan wacana, yang demikian halus menjerat mereka dalam ketergantungan dan keterbelakangan.
Generasi muda Kei, memegang peranan penting, dalam melihat arah ke depan, dan mesti mengambil posisi sebagai kemudi dan motor penggerak. Dan, ketika saya bersentuhan pikiran dengan Om Dhelon Rawul, Azis Kerubun, Ganie Resistensi, saya yakin bahwa masa depan Kei terang benderang. Tidak begitu terperangkap oleh belenggu adat, dan tidak begitu terjerumus dalam semangat modernisasi. Berada di tengah-tengah, sembari tetap waspada dan berkepala dingin dalam menghadapi segala perubahan-perubahan.
Semangat "Ain ni Ain", saling memiliki, saling membantu, "Utnit envil atumud" kulit membungkus tubuh, nama baik harus terus dijaga. Saya pikir dua nilai ini begitu menjelma dalam pergaulan manusia Kei, mengalir dalam darah dan menuntun mereka dalam mengarungi hidup. Semangat tolong menolong membantu untuk keharmonisan hidup, dan dengan nama baik, hidup menjadi otentik, nama baik itu kita pelihara lewat tingkah laku kita, meski dengan hidup susah dan menderita.
Saya berharap dapat kembali lagi ke Kei, mempelajari nilai-nilai hidup mereka, perjuangan mereka dalam mengelola sumberdaya alam (sasi), serta bersama-sama melakukan transformasi baik dalam nilai-nilai maupun metodologi, demi kemakmuran dan kedaulatan rakyat Kei.
Maros, 11 September 2016
0 komentar:
Posting Komentar