Lama saya kenal mereka, bahkan sejak sebelum saya kuliah di
jurusan perikanan. Tapi, saya mengerti sedikit-sedikit, baru saat sekarang ini.
Setelah bersentuhan dengan mereka, lewat perbincangan-perbincangan di kolong
rumah, di pematang tambak, dan di malam hari ditemani kopi dan pisang goreng.
Memang, sebelumnya saya beberapa kali mengambil data dan berdiskusi langsung,
namun rasa-rasanya, saya hanya mengerti koten interview, dan menganalisisnya
secara general, mencari persamaan dan perbedaan, perbandingan antara konteks
dan ideal. Hanya itu. Ditambah lagi tekanan berkas-berkas, tekanan email-email,
yang justru menjauhkan saya dari intensitas personal yang lebih mendalam dengan
mereka.
Ternyata, persoalannya jauh lebih rumit dari yang saya
pikirkan sebelumnya, yang tampak sederhana, para petambak mengoperasikan
lahannya secara tradisional, lantas berhasil. Lantaran keberhasilan mereka itu,
dari tahun ke tahun, saya justru dijauhkan dari pengetahuan, rasa ingin tahu untuk menggali lebih dalam
faktor-faktor penyebab keberhasilan. Akhirnya merasa final dan fokus pada poin-poin
yang terdapat pada hasil analisis sementara. Seperti pelaksanaan pertemuan
rutin setiap sebulan atau dua bulan sekali, dengan pemberian materi untuk
menambah wawasan para petambak.
Kemudian, bencana datang, musim hujan panjang tahun ini seperti membuka tabir. Tambak-tambak berontak, udang-udang mengapung-apung tak kuat. Ada apa? Apa yang sedang terjadi?
Dari situ, upaya untuk melihat kembali tambak-tambak itu
menjadi suatu keharusan. Diundanglah pakar untuk sama-sama membedah kasus
tersebut, serta menjelaskan lebih rinci persoalan penyakit udang dan strategi
untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Petambak diharap paham kondisi dan
merubah teknik mereka. Tapi hal itu ternyata tidak semudah membalik telapak
tangan. Apa dasarnya?
Para petambak sejauh ini mengelola tambaknya
sendiri-sendiri, dan mereka belajar langsung dari pengalamannya serta dari
pengalaman rekan-rekan sesama petambak. Sehingga, penambahan pengetahuan
disesuaikan dengan seberapa banyak inovasi dan percobaan yang mereka lakukan
dalam mengoperasionalkan tambak mereka. Pertimbangan-pertimbangan dalam
pemberian pupuk, kapur, pestisida juga bersifat kasat mata, realistis, sesuai
dengan saling keterkaitan sebab akibat jangka pendek. Belum banyak yang mengetahui filosofi dalam setiap tahapan budidaya, seperti dasar dari penebaran kapur, pestisida, pupuk, ataupun probiotik, yang membutuhkan dasar-dasar logika berdasarkan ilmu-ilmu kimia, biologi dan fisika. Misalnya, jika
diawal-awal penebaran pupuk sebanyak 100 kg, dan menghasilkan air yang baik,
maka seterusnya dilakukan penebaran pupuk sebanyak 100 kg, meski tak tahu
bagaimana kondisi tanah dan kondisi air di perairan luar.
Kondisi ini terus bertahan, hingga bermunculan tawaran metode dari para pakar yang dipaparkan melalui pertemuan-pertemuan, kelas-kelas budidaya udang. Tawaran metode itu ada berupa penjelasan rasional mengenai praktek budidaya, yang sesuai dengan teori, ada pula berupa praktek-praktek yang menunjukkan teknik terbaru bagi para petambak, seperti penggunaan pupuk sekam padi ataupun penggunaan pupuk dari bekas cacing, demi tujuan pengurangan penggunaan pupuk kimiawi. Namun, hal itu belum dapat diterima sepenuhnya oleh para pembudidaya. Sebab mereka harus melihat pembuktiannya sebelum mereka mencoba hal tersebut.
Kondisi ini terus bertahan, hingga bermunculan tawaran metode dari para pakar yang dipaparkan melalui pertemuan-pertemuan, kelas-kelas budidaya udang. Tawaran metode itu ada berupa penjelasan rasional mengenai praktek budidaya, yang sesuai dengan teori, ada pula berupa praktek-praktek yang menunjukkan teknik terbaru bagi para petambak, seperti penggunaan pupuk sekam padi ataupun penggunaan pupuk dari bekas cacing, demi tujuan pengurangan penggunaan pupuk kimiawi. Namun, hal itu belum dapat diterima sepenuhnya oleh para pembudidaya. Sebab mereka harus melihat pembuktiannya sebelum mereka mencoba hal tersebut.
Untuk itu, dibutuhkan demonstrasi plot atau tambak
percontohan untuk membuktikan bahwa metode itu betul-betul dapat menjamin
keberhasilan budidaya udang. Pemerintah ataupun pihak-pihak yang ingin mempercepat perbaikan kondisi perikanan budidaya, harus memperbanyak model pembelajaran dalam bentuk demplot. Agar lebih efisien lagi, praktek demplot dilakukan dengan
skema kelompok, agar para pembudidaya melakukan pengamatan secara bersama
setiap tahapan budidaya. Agar, ketika berhasil, para pembudidaya dapat
mempraktekkan langsung di tambak mereka masing-masing.
Makanya, penguatan kelompok sangat dibutuhkan, agar
praktek-praktek belajar dapat menular dengan cepat ke setiap pembudidaya dalam
kawasan.Setiap tahapan pembelajaran dalam demplot didiskusikan dalam kelompok,
dan masing-masing anggota dapat berpendapat dengan argumentasinya masing-masing,
untuk membenahi metode yang sementara berjalan. Dalam kelompok juga, dapat
didistribusikan kembali maksud dari presentasi yang disampaikan oleh para
pemateri dalam setiap pertemuan petambak dalam satu kawasan. Pihak yang memutar
pengetahuan dalam kelompok, adalah para fasilitator handal yang mengerti dan
terus mempelajari praktek masing-masing pembudidaya. Sehingga, para pembudidaya
memperoleh pengertian yang mendalam dari petambak lain ataupun dari fasilitator
setiap aktivitas dalam budidaya yang dia sementara lakoni. Dengan diskusi rutin ini, para petambak dapat memahami dasar-dasar logika dalam budidaya udang, agar pembudidaya dapat lebih mandiri dalam memutuskan setiap input teknologi yang dilakukan.
Dalam berkelompok, dapat dimulai dengan metode pencatatan secara bersama. Catatan-catatan pribadi
mereka, yang ditorehkan dalam dinding informasi, dibincangkan secara bersama
pada setiap pertemuan rutin agar terdapat masukan dari anggota kelompok lain. Catatan-catatan
ini berfungsi untuk bahan acuan untuk pembelajaran dan pembedahan persoalan dan menemukan solusi secara bersama. Catatan tambak juga dapat berfungsi sebagai rekam pristiwa yang dapat diperlihatkan kepada
pasar udang, bahwa praktek budidaya yang dilakukan sudah menerapkan cara-cara
yang baik.
***
Sebuah pertanyaan mendasar yang selalu muncul ketika kita
berada di lapangan, kenapa para pembudidaya tidak terorganisir dengan baik?
Kenapa aktivitas kelompok tidak mencerminkan kelompok yang baik?
Pertama yang harus kita amati, yaitu dari aspek sejarah.
Tradisi berkelompok pada petambak belum begitu tertanam dalam kehidupan
bermasyarakat. Berbeda halnya dengan pertanian, yang sejak jaman awal-awal
kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1965 sudah diorganisir oleh para pemuda
rakyat, terdapatnya serikat-serikat tani yang kuat, yang berperan untuk
menguatkan solidaritas antar petani untuk memperoleh hak-hak mereka atas tanah,
serta mereka bersama-sama melatih diri untuk perbaikan metodelogi pertanian. Sedangkan
di bidang perikanan budidaya udang, praktek budidaya terbilang baru, yaitu
tahun 1960-an – 1970-an, sehingga mereka belum memiliki sejarah panjang
pendampingan atau pengelolaan secara bersama lahan-lahan tambak.
Terdapat pengolahan lahan bersama, namun bukan atas dasar
kepemilikan bersama, tapi kepemilikan sebagian kecil orang, dalam hal ini tuan
tanah. Orang ramai pun mengolah tanah-tanah tersebut, atas dasar pinjaman atau
sewa lahan. Saat sekarang ini, praktek sewa lahan justru cukup menghambat
perbaikan lahan tambak, sebab pikiran para pembudidaya tertuju pada waktu
pemakaian dan belum memikirkan dampak dari penggunaan lahan secara terus menerus
tanpa ada perbaikan dasar tambak.
Kedua, kurangnya pendampingan secara sistematis kepada para
pembudidaya, untuk memperkenalkan kepada mereka cara-cara berkelompok atau
bekerjasama dalam kelompok yang baik. Pemerintah masih memfokuskan kegiatannya
pada pembenahan-pembenahan secara fisik, serta bantuan-bantuan sarana budidaya.
Untuk itu, perlu didorong penguatan pada sumberdaya manusia, dengan perbaikan
kelembagaan– kelompok pembudidaya. Hal ini dapat dilakukan oleh
penyuluh-penyuluh perikanan setempat (disamping penguatan SDM Penyuluh
perikanan). Pemerintah harus memetakan dengan baik kualitas SDM petambak yang
rata-rata tidak tamat Sekolah Dasar (SD), dan pantang menyerah dalam mengawal
pengetahuan masyarakat hingga masyarakat dapat bertambak secara mandiri dan
ramah lingkungan.
Ketiga, tidak adanya keterlibatan sarekat-sarekat
pembudidaya udang atau bandeng secara tradisional di Indonesia untuk mendukung
eksistensi kelembagaan kelompok pembudidaya. Para pembudidaya udang-ikan tidak
punya kendaraan organisasi tingkat nasional yang dapat menyuarakan aspirasi
mereka. Memang terdapat organisasi udang tingkat Indonesia, tapi organisasi
tersebut hanya mengakomodir kepentingan pengusaha-pengusaha udang yang memiliki
modal besar serta program-programnya tidak menyentuh petambak tradisional.
Sarekat-sarekat sejenis ini juga, kalau pun ada tidak akan bekerja secara
efektif. Sebab, akan dihalangi oleh pihak-pihak dominan penguasa, karena
dianggap mampu memicu sentimen gerakan atau anasir pemberontakan. Makanya,
aktivitas yang bersentuhan dengan pembudidaya udang banyak dilakoni oleh
pemerintah setempat dalam bentuk pelatihan teknis serta oleh pelaku-pelaku
bisnis yang ingin menjual produk-produk pendukung aktivitas perikanan. Namun,
tindakan – tindakan pemerintah maupun pelaku bisnis, bersifat temporer dan
kadang-kadang tidak berbasis pada persoalan yang dialami oleh masyarakat
setempat.
Keempat, peranan universitas atau lembaga pendidikan dinilai
masih kurang untuk pendampingan penguatan kelompok pembudidaya udang windu di
Sulawesi Selatan, khususnya. Para akademisi serta mahasiswa perikanan sibuk
dengan urusannya masing-masing. Sehingga kurang memerhatikan nasib
petambak-petambak kecil. Kampus tidak memiliki konsentrasi untuk pembinaan atau
membentuk secara serius desa binaan untuk para pembudidaya udang – ikan. Dosen
meluangkan waktunya untuk kepentingan perusahaan atau untuk menjalankan
proyek-proyek pemerintah. Begitu halnya dengan mahasiswa, sibuk mengerjakan
tugas di kampus, namun jarang terjun ke lapangan untuk melihat secara langsung
persoalan yang dihadapi oleh rakyat kecil, dalam hal ini petambak udang dan
ikan. Saat mereka selesai, ilmu mereka pun tidak digunakan untuk membantu para
pembudidaya udang secara tradisional, tapi ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan
yang mampu membayar jasa mereka.
Kelima, kurangnya keterlibatan perusahaan untuk pendampingan
petambak udang – ikan secara tradisional, dalam hal ini kaum miskin. Perusahaan
perikanan hanya menginginkan udang atau ikan yang mereka peroleh dari para
pengumpul yang dibeli sesuai dengan harga pasar, namun para pengusaha kurang
memiliki kepedulian terhadap nasib produsen udang-ikan secara tradisional,
untuk menyumbangkan dana sosialnya untuk penguatan kelompok pembudidaya
udang-ikan secara tradisional. Keterlibatan pengusaha, hanya dalam bentuk
pelatihan-pelatihan yang di dalamnya diperkenalkan produk-produk mereka. Penguatan
kelompok menjadi kontraproduktif bagi kepentingan perusahaan, sebab jika
kelompok berperan dengan baik, maka para pembudidaya dapat menciptakan sendiri
produk-produk seperti pupuk, pestisida, ataupun probiotik, yang bahan-bahannya
berasal dari daerah mereka sendiri dan tidak membutuhkan lagi produk – produk
komersil.
***
Ketiadaan kelompok menyemarakkan nilai-nilai individualistik
di kehidupan masyarakat pembudidaya udang-ikan secara tradisional. Nilai-nilai
individualistik ini tercermin dari ketiadaan keinginan untuk berkorban untuk
kepentingan orang banyak. Untuk itu, dengan berkelompok dapat mengembalikan
nilai-nilai komunal, dapat menyuburkan kembali rasa kemanusiaan warga-warga
desa, yang mulai terkontaminasi oleh keinginan-keinginan modern.
Makassar, 2 Oktober 2016
2 komentar:
UUPA 1960 mencakup budidaya pertanian (darat) dan perikanan (air). hanya sj pembangunan bertolak dan berpusat di jawa berbasis pertanian/perkebunan. dampak dr revolusi hijau, dimana intensifikasi dan ekstensifikasi serta peningkatan produktivitas utk mencapai swasembada pangan atau beras menywmpitkan pengertian agraria identik dgn budidaya tanaman pangan (darat). baru lah sekira thn 90-an pembangunan sektor kelautan dan perikanan digelorakan. namun, dampaknya terjadi konversi lahan pertanian menjadi tambak scr massif, terutama di wilayah pesisir hingga kini. pd saat yg sama pengorganisasian petani-petambak terabaikan. yg terjadi akses pengusaha atau perusahaan lgsg menginvest modalnya. hutan-hutan bakau pun berkurang drastis. tetapi, pemilik modal dan pemilik lahan meraup keuntungan besar. memasuki era 2000-an, budidaya tambak ikan dan udang mulai kendor, apalagi penyakit merajalela, sehingga biaya produksi membengkak. pemilik lahan mulai menyewakan tanahnya.tidak lah mengherankan apabila petambak saat ini kebanyakan adalah oenyewa lahan, yg beresiko terjerat utang.
Betul Kanda.. akibat usaha pertambakan ini, luas lahan mangrove berkurang drastis. Usaha intensifikasi sudah taraf maksimal, namun tidak memperhatikan dampak pembuangan limbah.ekstensifikasi berupa konversi lahan sawah ke tambak terjadi karena desakan ekonomi. pemilik lahan tidak mau kompromi terhadap persoalan petambak, dan menyerahkan sepenuhnya pada penyewa tambak. Yang untung dari sektor ini adalah perusahaan pupuk, pestisida, serta perusahaan pakan. Terimakasih masukannya Kanda.. :D
Posting Komentar