Lahan bagi petambak bukan soal sepele. Seperti perahu bagi nelayan, adalah dasar pencarian kehidupan. Namun, kadang-kadang kita lupa tentang soal ini, kita melihat ketidakberdayaan petambak lebih pada manajemen yang buruk, kurangnya pendidikan, kualitas lingkungan yang menurun, dan lain - lain.
Dari sini kita bisa tarik dua pandangan umum tentang lahan. Pandangan pertama bahwa kepemilikan lahan sebagai hak dasar penjamin kehidupan. Setiap orang bebas untuk memiliki lahan maupun barang-barang. Pandangan kedua, kepemilikan lahan atau privat sebagai sumber kejahatan. Yang benar adalah lahan merupakan kepemilikan umum, yang diolah secara bersama-sama.
Nah, menarik ketika kita melihat praktik kepemilikan lahan di berbagai daerah untuk petambak tradisional, kecendrungannya, pengelola lahan yang bukan miliknya, yang statusnya sebagai pekerja ataupun kontrak lahan, begitu sulit untuk diajak bersatu dalam satu kelompok yang solid. Selain itu, begitu sulit untuk bekerjasama untuk mencapai cita-cita bersama. Sedangkan, petambak yang memiliki lahan sendiri, meskipun hanya secuil, memiliki motivasi dan keinginan kuat untuk merawat lahannya, sehingga, cukup mudah bagi kita untuk mengajak mereka untuk ikut berjuang bersama-sama mencapai pengelolaan yang lebih sesuai.
Dilema, dalam praktik, kepemilikan lahan begitu urgen, sebagai basis berjuang petambak untuk memperoleh penghidupan. Namun, ketika lahan itu dikuasai oleh segelintir orang, dan orang-orang itu jarang terlibat dalam praktik sehari-hari dan menyerahkan kepengurusan bagi para pekerja atau kontrak, maka pengelolaan lahan pun menjadi sporadis. Praktik anarkis dan semau-mau masing-masing pribadi terjadi.
Penggarap lahan tentu berfikir untuk mempraktekkan hal baru. Pertama, belum tentu hasil yang diceritakan sesuai prediksi. Mereka mesti melihatnya dan perlu berulang-ulang melihat hasil yang sama. Kedua, status lahan yang bukan miliknya mendorong untuk menerapkan cara-cara yang ringkas dan cepat memperoleh untung. Sementara praktek-praktek seperti itu, selalu membawa efek negatif di jangka panjang. Ketiga, penggarap dan penyewa lahan, biasanya status ekonominya begitu rendah, sehingga kekurangan waktu dan kehabisan tenaga untuk alokasi ke pertemuan-pertemuan. Apalagi jika pertemuan itu tidak memberi manfaat langsung, seperti dalam bentuk uang.
Kondisi ekonomi yang rentan, memaksa mereka untuk mencari hal-hal lain untuk digarap, atau memperluas wilayah penggarapan. Sehingga begitu menguras waktu dan tenaga. Hal ini tentu berpengaruh pada motivasi dan ketertarikannya pada pengorganisasian. Apalagi pengorganisasian yang tidak begitu mendukung prospek ekonomi jangka pendek, lebih selalu mengajak hal-hal yang beraroma masa depan.
Selain itu, mentalitas budaya para petambak yang berasal dari jazirah Sulawesi Selatan, selalu mengarah pada ketersediaan materi sebagai basis kehormatan. Bagi petambak yang miskin, selalu mencari jalan keluar yang praktis untuk bertahan hidup, dan tentu berupaya untuk mengangkat derajat demi harga diri. Makanya banyak orang Sulawesi yang merantau ke pulau lain demi menegakkan harga diri. Sehingga, penerapan cara-cara yang di luar jalur bukan hal buruk bagi mereka. Dan, hal ini juga diterapkan bagi mereka yang telah menumpuk kekayaannya. Ya, dengan landasan mempertahankan martabat yang sudah terbangun di masyarakat.
Lintasan-lintasan hubungan antara pemilik dan pekerja tidak begitu menghasilkan konflik internal. Justru, yang terjadi adalah bertahannya status quo hubungan ponggawa - sawi atau pemilik lahan dan penyewa lahan. Hubungan status quo dengan eksploitasi yang rumit dibahasakan, sebab terjebak oleh hubungan - hubungan emosional. Namun sejauh ini kian mendekati eksploitasi yang tanpa bumbu - bumbu kerikatan emosional. Ponggawa - sawi hanyalah mitos dan menjadi sepenggal kisah romantika. Hubungan telah terdegradasi menuju alienasi atau keterasingan.
Keterasingan ini, mengambil jarak dengan dirinya sendiri, kian berdampak pada hubungan personal dengan lahan yang dia kelola. keterasingan di sini justru menimbulkan kehilangan arah dengan objek. Menjadi individu yang banal terhadap objek.
Sedangkan, untuk memperoleh hasil yang baik di masa depan, juga menurut etos kapitalisme awal, kita harus menahan nafsu di masa kini untuk memperoleh limpahan hasrat di masa depan. Cara menahan nafsu, yaitu dengan perbaikan manajemen budidaya, perbaikan struktur lahan, perbaikan kondisi lingkungan, kurangi kepadatan tebar sehingga pembuangan limbah berkurang.
Kondisi - kondisi seperti ini memang sulit untuk membangun basis organisasi rakyat. Hemm.. Apalagi masuk tahun politik, makin runyam deh.. hehe
Tali temali ini kian ruwet, tampaknya membutuhkan pendekatan yang tidak melulu teknis birokratis, apalagi saat ini kita tidak begitu yakin dari segi praktik keahlian dan birokratis yang bersifat atas ke bawah, tapi juga butuh pendekatan sistemik yang bersifat praktis masyarakat, mengenai strategi kebudayaan, membangun komunikasi aktif dengan masyarakat yang bersifat egaliter dan tidak melulu dominatif, serta tentu mendiskusikan ulang solusi mengenai penggunaan lahan dan bagi-bagi hasil usaha secara lebih adil.
Lagi lagi, hal ini pun akan efektif ketika perut terpenuhi dan harga diri lebih terjamin.
0 komentar:
Posting Komentar