Beberapa tahun belakangan, tampaknya kita mulai kurang awas tentang kondisi lingkungan kita. Di media sosial maupun di media harian, isu - isu lingkungan mengalami seret, atau meleset ke pinggir. Terlihat jarang kita mengangkat dan mengomentari persoalan - persoalan lingkungan, yang mungkin kita hadapi sendiri atau pun dihadapi oleh orang banyak.
Isu lingkungan sempat populer pada tahun 2007 - 2010, ketika orang ramai membicarakan isu perubahan iklim, pertemuan - pertemuan pucuk pimpinan negara, membahas solusi dari meningkatnya densitas karbon di relung dunia. Bahkan sudah ditemukan skema dil - dil yang bernuansa win - win solution, yaitu perdagangan karbon. Sebab, sebagian besar perusahaan skala industri merasa repot untuk mengganti infrastruktur pabrik dengan infrastruktur ramah lingkungan, dan memilih mendanai program-program konservasi dan rehabilitasi yang di lakukan negara-negara yang kaya akan hutan alami dan sumberdaya lahan.
Namun, tahun tahun belakang, isu lingkungan terganti menjadi isu politik, yang lebih pada serang sikat antar kelompok untuk mempengaruhi wacana publik. Selain isu politik, juga terkait isu agama dan irisannya dengan kehidupan publik dan praktik kekuasaan, serta isu - isu kebebasan berpendapat, berekspresi, semangat multikulturalisme, dan hak-hak untuk mengkritik program - program pemerintah. Meski banyak pula yang terlihat kurang adil dalam mengutarakan pendapat. Hal ini apakah menunjukkan masih minimnya perhatian publik kita mengenai isu lingkungan?
Kurang muncul di permukaan, isu lingkungan tetap bermain, walau di belakang layar. Aktivis-aktivis lingkungan tak jemu - jemu membangun sistem dan pola kerjasama untuk melakukan transformasi bersama. Walau begitu, soal lingkungan belum menjadi perhatian pemerintah, Sebab lebih fokus pada penguatan kompetensi, transparansi dan akuntabilitas, pengentasan KKN, serta isu pengawalan pembangunan infrastruktur publik. Isu - isu ini sebenarnya jika ditangani dengan baik, akan turut berpengaruh terhadap penurunan laju kerusakan lingkungan, sebab, kerusakan lingkungan biasanya didahului oleh kerusakan moral dan mental manusia yang berada di dalamnya.
Lantas, bagaimana pendapat orang - orang kecil, khususnya para pembudidaya udang dan rumput laut mengenai perubahan lingkungan yang dirasakannya? Secara ringkas, dapat dikata merekalah pihak - pihak yang dirugikan oleh perubahan lingkungan.
Para pembudidaya udang maupun rumput laut merasa heran dengan perubahan-perubahan lingkungan, dalam hal ini musim dan iklim. Tambak - tambak banyak yang mengalami kegagalan lantaran kesulitan menyesuaikan praktek dengan perubahan iklim dan lingkungan. Metode tradisional yang mengandalkan daulat alam, mulai sulit membendung keanehan alam. Bayangkan petambak udang dan rumput laut yang kewalahan mengawal udang dan rumput lautnya yang diterpa hujan tak menentu, yang temponya sulit diprediksi. Laju hujan yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir, begitu menyulitkan petambak untuk mendorong peningkatan produksi, yang mengharuskan stabilnya cuaca dan kondisi perairan.
Sehingga, jika tidak dilakukan perubahan sikap dan respon terhadap perubahan alam, melalui praktik - praktik khas manusia (daulat manusia), yaitu penerapan teknologi yang mengatasi kendala alam, atau penyesuaian tingkah laku berdasarkan karakter alam yang berubah, maka kita tinggal menunggu, dengan asumsi pertama, berkurangnya secara pelan - pelan dan mungkin sporadis, budidaya tambak tradisional. Kedua, bangkitnya para petambak tradisional dengan menerapkan teknologi yang dapat mengatasi perubahan lingkungan. Adanya aktivitas bersama untuk perbaikan lingkungan sebagai struktur dasar akuakultur, melalui penanaman mangrove secara massal dan berkelanjutan.
Namun, sebagaimana teknologi, selalu membutuhkan ongkos dan ketekunan untuk mencoba, serta tentu keahlian spesifik. Berbicara ongkos, petambak tradisional umumnya adalah dikelola kelas masyarakat ekonomi rendah, walaupun terdapat petambak tradisional yang ekonomi tinggi, yaitu para tuan tanah, yang menyewakan tanah dan mempekerjakan orang lain untuk mengolah tanahnya. Tentang tuan tanah ini, apakah mereka memiliki inisiatif untuk mendorong perubahan teknologi? Yang kalau mau dikata merasa sudah nyaman memperoleh hasil dari perasan keringat penyewa dan pekerja tambak.
Dilemanya, para petambak yang telah melakukan peningkatan teknologi atau yang dikenal intensifikasi, belum menerapkan teknik intensifikasi ramah lingkungan. Sehingga, justru penerapan teknologi ilmiah inilah yang kian menstimulasi perubahan lingkungan dengan buangan limbah yang konsisten dan berjumlah banyak.
Apakah tidak menutupkemungkinan, praktek tradisional akan mampus? Konsekuensinya yaitu kemiskinan merebak dan menimbulkan persoalan sosial baru. Petambak yang bertahan adalah mereka yang punya modal dan keahlian, untuk menyesuaikan praktek dengan karakter iklim dan lingkungan, dengan bantuan penerapan teknologi mutakhir.
Mungkin, kedepan ditemukan teknologi yang mengatasi perubahan iklim. Teknologi yang dapat memproduksi udang dan rumput laut dalam jumlah besar, yang mendukung aktivitas ekspor - impor, menambah devisa negara, dan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar petambak yang tidak bermodal tidak dapat berbuat apa-apa, dan lalu membiarkan lahannya mangkrak. Menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada dengan mencari sumber penghidupan yang lain. Sebagian lahan itu mungkin akan beralih fungsi menjadi pertanian, perkebunan, yang banyak modal menjadikannya rumah walet.
Dan, seakan-akan tidak ada sesuatu yang penting sedang terjadi..
😀
0 komentar:
Posting Komentar