Telah banyak kata bertaburan untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan kawasan budidaya ini, di samping telah banyak doktor dan master dihasilkan untuk menguliti domain ini. Namun, dimana - mana, pengelolaan kawasan tetap sember. Meraung namun tak jelas, Bunyi tapi tak berbekas.
Karena itu, kita dituntut untuk melihat ulang lagi apa yang keliru dalam pengelolaan kawasan budidaya perairan. Apakah kita memang tak dapat bersatu untuk mengelola kawasan? Apakah kita tidak punya kepercayaan ataupun komitmen kuat untuk mengelola? Apakah kita sudah kehilangan nilai - nilai yang diwariskan leluhur? Atau apakah kita menganggap justru pengelolaan kawasan justru merugikan?
Semua pihak meyakini bahwa persatuan perlu, yang diikat oleh ketaatan pada hukum kawasan dan kepatuhan pada anjuran pemimpin kawasan. Hukum kawasan, ini hal baik yang belum begitu termanifestasikan dalam dunia nyata. Kita, entah bagaimana begitu rumit untuk mendiskusikan hal - hal yang berbau hukum. Kita, masih dengan lapang dada memberikan kebebasan kepada pihak - pihak, terutama mereka yang punya kuasa modal untuk mengolah alam dengan semena-mena.
Kita tampaknya tidak begitu terganggu oleh kerusakan - kerusakan, yang bertumpuk - tumpuk, yang nantinya meledak dan menimbulkan wabah besar, yang melumpuhkan kita. Ibarat patung yang jatuh, retak, dan retakan itu tidak kita perbaiki, jatuh sesering mungkin hingga menjadi serbuk yang akhirnya tidak bisa kita tata lagi.
Hukum kawasan, tampak mungkin jika diusulkan oleh kalangan atas, berangkat dari tuan tanah, pemilik kawasan, yang sejauh ini diuntungkan dari bisnis perikanan. Tapi, jika diusung oleh pekerja tambak, atau suara sumbang penyewa tambak, atau pemilik tambak dengan lahan kecil, apakah mungkin? di sini salah satu letak problem-nya. Suara - suara pengelolaan kawasan belum menjadi milik bersama. Dan bisa saja, juga disebabkan lantaran wong - wong cilik tak sempat berfikir sejauh itu, dan masih fokus pada pengelolaan tambaknya sendiri.
Lalu, kita berfikir, bagaimana hukum lahir? Justifikasi seperti apa hukum muncul dan diterima? Apakah melulu data dampak buruk pengelolaan sebelumnya? Apakah harus ada penelitian ilmiah yang dapat menjelaskan batasan - batasan pengelolaan, hingga tidak melampaui daya dukung kawasan. Ataukah masyarakat bisa merumuskan sendiri batasan - batasan berdasarkan pengalaman pahit yang dialami selama ini.
Untuk itu, dibutuhkan dua pendekatan untuk merumuskan batasan - batasan prilaku. Pertama menghitung batas kemampuan kawasan dalam memproduksi produk perikanan. Kedua adalah mengumpulkan data - data pengalaman petambak yang positif dan negatif. Sehingga ada kesadaran dari petambak sendiri untuk mengelola tambak sesuai dengan kemampuan tambak dan dapat berkelanjutan.
Selanjutnya, menetapkan kompromi - kompromi. Hukum - hukum apa yang bisa dijalani oleh petambak. Di titik mana mereka mampu untuk berkomitmen mengelola kawasan. Serta poin-poin apa yang akan menjadi agenda lanjutan. Lalu, bentuk hukuman seperti apa yang mampu mengendalikan prilaku para petambak, tanpa memandang bulu. Kemudian, tipikal pemimpin seperti apa yang mampu mengelola sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam seperti ini?
Kita bernafas sejenak ketika membahas pemimpin kawasan. Apakah sebelumnya pernah ada konsensus untuk pemilihan pemimpin kawasan? Apakah sebelumnya pernah berjalan sistem kepemimpinan kawasan berbasis masyarakat? Bagaimana itu dapat berjalan dengan baik?
Jaman dulu, dan sebagian tersisa saat ini, terdapat pola kepemimpinan adat kawasan. Misalnya yang berlaku pada masyarakat Kajang ataupun kawasan komunitas Annasir (Kab. Gowa). Lalu, kita kembali lagi pada pengelolaan kawasan perikanan budidaya yang relatif baru. Budidaya perikanan dalam lintasan sejarah, khususnya di Sulawesi Selatan, merupakan sesuatu yang baru. Dimana kawasan biasanya dipimpin oleh orang kuat (ponggawa), dimana pengelolaan bersifat tradisional. Sepanjang bersifat tradisional, budidaya tidak mengalami hambatan serius, selain tentu produksi yang tidak seberapa. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, dan daulat manusia yang dominan, keseimbangan alam mulai terganggu. Goncangan - goncangan alam menimbulkan wabah dalam bentuk penyakit-penyakit yang mematikan bagi udang maupun ikan. Sayangnya. Wabah ikan maupun udang tidak dapat ditangani secara serius, seperti penanganan wabah cacar atau sampar pada manusia.
Perkembangan teknologi yang membawa peningkatan produksi, tak serta merta didukung dengan penguatan aspek lingkungan yang menjadi basis material dari kehidupan komoditas budidaya perikanan. Selain itu, tidak diiringi dengan penguatan institusi sosial yang mendukung peningkatan teknologi. Kita semakin pintar secara teknis, namun demikian tolol dari segi sosial dan pengelolaan masa depan bersama.
Untuk itu, begitu dibutuhkan kepemimpinan kawasan dengan konsep perikanan budidaya yang berkelanjutan. Dengan sistem pengelolaan seperti ini, membuka ruang inklusi yang bersifat demokratis dalam pengambilan keputusan serta memungkinkan adanya ruang keuntungan bersama dalam pengelolaan kawasan. Dengan begitu, cita-cita ruang publik perikanan budidaya dalam kawasan dapat terwujud. Tentu, hal ini ditempuh dengan jalan berliku, dengan begitu banyak tikungan-tikungan tajam. Melalui berpuluh - puluh pertemuan, tegangan, kontradiksi, rasa sakit komunitas.
Kepemimpinan bersama dalam pengelolaan kawasan. Memungkinkan perbaikan struktur dan infrastruktur pendukung, mulai dari irigasi pengairan, hingga penyediaan benih dan benur yang baik, pakan yang baik, pupuk yang baik, serta kesadaran para pelaku usaha untuk pengelolaan air yang baik.
Saya yakin, ketika kita melepaskan ego kita dan bersama-sama bergerak. Segala rintangan akan kita lewati bersama.
................
Foto : Idham Malik_WWF-ID
Foto : kegiatan FGD untuk pengenalan konsep EAA (Ecosistem Aproach to Aquaculture) kepada masyarakat Pinrang, bersama DJPB dan WWF-ID.
Tamalanrea, 6 Mei 2018
0 komentar:
Posting Komentar