semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hari Pahlawan dan Pengorbanan Pemuda

Pada hari itu, dan pada hari hari sebelum itu, pun jauh sebelum pristiwa gamang, proklamasi, siapakah sebenarnya yang berjuang? Jawaban yang pasti, adalah pemuda. Dimana pemuda saat itu? Mereka ada di mana - mana.
Ketika Kantor Berita Domei, yang didukung oleh Laksamana Maeda dan asistennya, Nishijima, berhasil mengirim teks proklamasi pada petang 17 Agustus 45 ke Bandung dan Yogyakarta, pemuda aktivis Bandunglah yang aktif meyiarkan teks proklamasi baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris setiap sejam sekali, dengan memanfaatkan gelombang pendek Kantor Telegraf pusat. Mereka tak gentar, meski ditegur dengan lemas oleh otoritas militer Jepang.
Di samping itu, melalui percetakan angkatan laut Jepang, salinan proklamasi ditebar di mana-mana, siapa lagi yang menyebar kalau bukan pemuda. Teks proklamasi itu, walau singkat, padat, dan sedikit membingungkan, telah menjadi artefak simbolik penegasan bebasnya Indonesia dari Penjajah. Proklamasi yang ditandatangani dua pemimpin nasional Soekarno - Hatta itu, bukanlah semata-mata hadiah dari Pemerintah Jepang, tapi sebagai bentuk perjuangan para pemuda yang mendesak golongan - golongan yang lebih tua, untuk mempercepat proses simbolik pemindahan kekuasaan.
Memang, ada grasah grusuh di sana, tapi sikap serba gegabah, yang ditafsirkan golongan tua itu, dapat ditepis oleh solidaritas dan keyakinan penuh para pemuda. Dimana jiwa raganya rela direnggut demi mempertahankan apa yang telah dicapai, yaitu lahirnya negara Indonesia. Para pemuda dengan riang menulisi setiap tembok dengan cat - cat warna warni dengan tulisan Indonesia Merdeka, Poster - poster ditempelinya. Bendera mereka kibarkan dimana-mana. Aksi - aksi sporadis meluas hingga ke daerah - daerah besar di Jawa. Bandung, Semarang, Surabaya, Solo, dan lain - lain. Para pemuda dengan diorganisir oleh tokoh - tokoh pemuda setempat, mulai menduduki instalasi - instalasi penting, seperti kantor berita, kantor pemerintahan, hingga gudang - gudang senjata.
Tentara Jepang pun sebagian membiarkan aksi - aksi itu, meski dengan resiko memperoleh teguran dari otoritas sekutu. Mereka telah kalah, tugasnya hanyalah mengamankan keadaan, dan memastikan belasan ribu tahanan belanda dapat kembali ke kehidupan semula, serta menjamin kondisi stabil hingga penyerahan kekuasaan ke pihak sekutu.
Pristiwa penting yang menguatkan solidaritas rakyat Indonesia, khususnya pemuda, yaitu rapat raksasa di lapangan Ikada - Jakarta. Rapat yang melibatkan 200.000 orang. Pertemuan membanggakan sekaligus mengecewakan, lantaran pidato Soekarno yang singkat itu. Pristiwa ini tentu menunjukkan sikap pasif Jepang, memberi angin segar pada hari - hari yang menegangkan kala itu.
Sikap pasif jepang ini pun menjadi kartu penting perluasan kesadaran politik pemuda, serta pengambilalihan aset - aset republik. Meski untuk sementara masih bersifat simbolik.
Salah satu pristiwa yang selalu diceritakan ulang yaitu ketika beberapa pasukan Belanda yang lepas dari tahanan, pada 19 September 1945, mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato (sebelumnya Hotel Orange) di Surabaya. Sontak para pemuda geram, salah seorang dari mereka memanjati gedung itu, dan merobek warna biru pada bendera tersebut. Hal ini menjadi keributan pertama antara Indonesia dan Belanda, seorang kapten Belanda tewas, bernama Ploegman.
Sekutu akhirnya tiba, pada 29 September, dengan kekuatan yang terbatas. Jenderal Mountbatten tampak ragu. Di satu sisi Inggris harus membantu Belanda untuk mengembalikan kedaulantannya di Nusantara, di sisi lain terdapat bangsa yang baru lahir, yang dengan dukungan para cendekia dari negerinya sendiri, serta gerombolan-gerombolan pemuda yang tak takut mati. Dengan kalkulasi Mountbatten, akhirnya ia menyepakati kesepakatan damai dengan Pemerintah Baru Indonesia, dan berharap ada kerjasama yang baik antara Indonesia dan Belanda. Hal ini ditolak mentah mentah oleh Leiden.
Prajurit - prajurit Belanda yang sebelumnya ditahan Belanda, sudah ada yang lepas. Mereka kembali ke rumahnya masing - masing. Namun, banyak yang kecewa. Rumahnya sudah disita oleh otoritas Jepang, ataukah diambil alih oleh Tionghoa dan pribumi. Prajurit - prajurit ini pun terkatung - katung, mereka sangat berharap kehadiran sekutu yang diboncengi oleh NICA (Netherlandsch Indie Civil Administratie) itu dapat mengembalikan kembali kekuasaan mereka.
Hal ini pula yang membuat para pemuda Indonesia kalut, mendorong mereka untuk melakukan pembunuhan, aksi balas dendam kepada eksponen Belanda. Tidak hanya itu, pemuda juga bertempur dengan tentara Jepang di tangsi - tangsinya. Sebab, sebagian pasukan Jepang ngotot mempertahankan gudang senjata, dimana para pemuda sangat membutuhkan pasokan senjata untuk mengantisipasi Sekutu dan NICA. Pemuda juga mencurigai pemerintah militer Jepang akan bekerjasama dengan NICA untuk menguasai kota - kota besar, hal ini terjadi di Bandung, dimana Mayor Jenderal Mabuchi, panglima Jepang di Jawa Barat, dengan mulus melakukan kup terhadap pemberontakan pemuda Bandung, mengambil alih kekuasaan pemuda Bandung untuk diserahkan kepada otoritas sekutu, Birgadir Jenderal Mac-Donald. Tentu, tindakan Jepang di Bandung diantisipasi di Semarang dan Surabaya, serta Solo dan Yogyakarta.
Antisipasi pemuda di Semarang itu, tepatnya perang 6 hari hingga 19 Oktober 1945, Jepang telah membuat bersih kota itu dari para pejuang. Diperkirakan 2000 pasukan Semarang tewas, dengan 500 tentara Jepang.
Sementara di Surabaya, kota Industri di ujung timur Pulau Jawa, pada 1 Oktober 1945, terjadi perkelahian antara pemuda Indonesia dengan prajurit Belanda. Hal ini meleleh menjadi aksi - aksi massa di seluruh kota. Pemuda pun melampiaskan amarahnya dengan membanjiri Lapangan Udara Morokrembangan, yang tergletak di tangan pemuda pada tengah malam. Lalu, pemuda lainnya menghamburi markas Angkatan Darat dan Laut Kenpeitai, dengan senapan mesin dan sebagian besar bambu runcing. Markas Tentara Jepang pun terkulai ke genggaman pemuda.
Kejadian di Surabaya agak berbeda dengan Semarang dan Bandung. Otoritas Jepang, yaitu Laksamana Madya Yaichiro Shibata (56) agak bersimpati kepada rakyat Indonesia. Ia memberi kelonggaran, dan melepaskan banyak senjata ke pemuda Indonesia. Di samping itu, otoritas sekutu di bawah komando Kapten Hujier (Angkatan Laut Belanda), melakukan suatu kesalahan fatal, dengan memberi kepercayaan kepada KNI (Komite Nasional Indonesia) yang dipegang oleh Sudirman dan Doel Arnowo, untuk mengamankan senjata untuk diserahkan ke sekutu. Seperti yang diperkirakan, senjata dan mesiu angkatan laut itu jatuh ke tangan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan kelompok - kelompok pemuda.
Lantaran itu, suasana menjadi tak terkendali, pemuda pemuda pun banyak yang bringas. Menangkapi para interniran Indo maupun Belanda yang kembali ke kota Surabaya untuk mencari makan dan perlindungan. Orang - orang Belanda itu dibunuhnya dengan penuh suka cita, yang dalam buku Ben Enderson "Revolusi Pemuda", diliputi kegembiraan yang menyerupai orang - orang kesurupan.
Lalu, Soetomo, pemuda berusia 25 tahun, hadir di tengah - tengah tokoh pemuda yang gamang. Ia, dengan pengalamannya sebagai wartawan Kantor Berita Domei, melontarkan semangat heroik melalui siaran radio. Kharismanya melintas - lintas, melampaui garis komando hirarki normal. Ia tiba - tiba menjadi inspiratif, suaranya yang gaduh dan bergetar itu memberi arah perjuangan menjadi lebih jelas.
Soetomo, yang kemudian dipanggil Bung Tomo menginspirasi warga - warga kampung, dalam hal ini para jagoan - pendekar untuk turut bergabung ke kota. Para pendekar kelana ini, yang kebanyakan para santri - santri desa Jawa Timur, mengantisipasi perlawanan mereka terhadap Jepang dan Belanda dengan jimat - jimat, pisau belati, dan kemahiran dalam ilmu silat.
Apalagi, pada 21 - 22 Oktober 1945, terdapat seruan dari Nahdatul Ulama, yang sedang menyelenggarakan rapat raksasa di Surabaya, yang inti seruannya adalah memerintahkan pelanjutan perjuangan yang bersifat Sabilillah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akibatnya, santri - santri tumpah ke Surabaya.
Mallaby datang pada 25 Oktober, yang juga bernasib sama dengan Moutbatten ketika tiba pertama kali di Indonesia, yaitu sama - sama kekurangan informasi intelejen terhadap kondisi daerah yang kelak mereka benahi. Malaby membawa pasukan Inggris sebanyak 3000 orang, menempatkan mereka di utara, pusat pelabuhan Surabaya. Langkah pertama yang diambilnya pun tampak gegabah, yaitu aksi penyelamatan kepada Kapten Hujer, yang ditahan pasukan BKR dibawah Komando Sudirman. Namun, ketika ia telah memperoleh kepercayaan dari otoritas Surabaya, yaitu Dokter Mustopo (32), yang turut membantu proses penyelamatan, tiba tiba Kota Surabaya dibanjiri oleh selebaran yang dilepaskan dari pesawat udara oleh perintah Jenderal Hawtrhon (Panglima Sekutu di Jakarta). Isi selebaran adalah ultimatum untuk segera menyerahkan senjata - senjata dalam waktu 48 jam.
Pemuda marah, Dr. Mustopo marah. sentimen merebak dimana-mana. Pemuda menyerukan tolak sikap bekerjasama. Tolak bersikap seperti Jakarta, yang tunduk pada aksi - aksi sekutu. "Kita tak mau diperlakukan seperti orang Djakarta. Kita akan berdjoeang. Kita punya revolver dan pisau belati".
Pada 28 Oktober, pasukan sekutu mulai melakukan razia terhadap kendaraan - kendaraan sipil. Senjata - senjata dirampas dari mobil - mobil tersebut. Pasukan Sekutu juga mulai merebut satu persatu instalasi militer dan publik. Dr. Mustopo pun pergi ke pemancar, kembali mengobarkan api perlawanan, "Lebih baik kita mati berkalang tanah, daripada dilanggar kehormatan negara dan rakyat kita". Dengan atau tanpa siaran Mustopo, darah sudah muncrat, 4000 pasukan sekutu berhadap - hadapan dengan 120.000 pemuda. Pembantaian pun tak terelakkan terhadap kemah - kemah Inggris. Korban besar pun berhamburan pada kedua belah pihak.
Tak ada sosok yang bisa menyelesaikan perkara ini di Surabaya, dan Soekarno turun tangan, tiba di Surbaya bersama Hatta dan Amir Syariffudin pada 29 Oktober, untuk mencegah pembantaian lebih lanjut. Kesepakatan diperoleh, Sekutu mundur ke garis - garis tertentu, dan rakyat Indonesia membiarkan para interniran melalui batas - batas hingga ke perkemahan sekutu. Namun, setelah sekilas tampak damai, dan Soekarno kembali ke Jakarta. Suasana kembali bergolak. Dan tanpa dapat dicegah, Mallaby tewas.
Kematian Mallaby menjadi titik balik sekutu, yang sebelumnya bersimpati ke Indonesia menjadi berpihak ke Belanda. Sukarno kembali turun tangan dengan mengeluarkan pidato dahsyat untuk segera menghentikan segala perlawanan terhadap sekutu.
Dalam waktu singkat, situasi Surabaya aman. Para interniran berhasil diungsikan sebanyak 8000 orang, keluar dari Surabaya. Namun, setelah itu, secara tiba - tiba, sekutu menuntut balas atas kematian Mallaby. Tentara sekutu dan tank - tank semakin banyak mendarat ke Surabaya. Ultimatum kembali dilontarkan pada 9 November, oleh Jenderal Mansergh, agar orang - orang yang menyerang Mallaby segera diserahkan dan semua senjata yang dipegang pemuda Indonesia diserahkan ke sekutu sebelum pukul 06.00.
                        Istimewa
Menanggapi hal itu, terjadi perdebatan sengit antar pemimpin nasional maupun lokal Surabaya, antara pemimpin tua dan muda. Akhirnya perdebatan dimenangkan oleh pemimpin muda. Bung Tomo pun kembali bergelora. Anak - anak dan wanita diungsikan pada tanggal 10 November, tepat pada hari ini. pertempuran paling besar pun tak terlakkan.
Perlawanan berlangsung lebih dari tiga minggu, dan berakhir pada akhir November 1945. Meski sekutu berhasil menguasai keadaan, mereka pun terheran - heran dengan perlawanan pemuda Surabaya. Mereka menyerang secara membabi buta bersenjatakan seadanya, pisau - pisau belati dan bambu runcing kepada tank tank Sherman-sekutu.
Seperti ditulis oleh David Wehl dalam Revolusi Pemuda, "Jika seandainya pertempuran - pertempuran seperti itu berlangsung di seluruh Jawa, jutaan orang akan tewas, baik Republik Indonesia maupun Hindia Timur Belanda, akan tenggelam dalam lautan darah." Dilanjutkannya lagi, "Fanatisme dan kemarahan Surabaya yang luar biasa itu tidak pernah terulang kembali."
**
Hari ini 10 November 2018, bertepatan dengan pristiwa Surabaya, saat pemuda - pemuda mengorbankan jiwanya untuk martabat bangsa dan baktinya kepada rakyat Indonesia. Hari Pahlawan sejujurnya adalah hari pengorbanan pemuda.
Lalu, di hari pahlawan saat - saat ini, seperti apakah kontribusi pemuda untuk mempertahankan dan memajukan martabat bangsa kita?
**
Tulisan ini sepenunya berasal dari bacaan buku "Revolusi Pemuda" karya Benedict Anderson.






0 komentar:

Hari Pahlawan dan Pengorbanan Pemuda