semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Papua, dan Sifat Rasis Kita

Kita pada dasarnya sudah tahu. Bahwa Papua itu ibarat balon, yang jika ditekan terus, akan meledak. Tapi, kita pun tak menyangka, kenapa ledakan ini begitu cepat. Mungkin kita tak begitu peduli. Barangkali kita, merasa bahwa Papua begitu jauh, baik dari segi jarak fisik maupun psikologis.
Kita malah, melalui internet dan media sosial, dipersatukan oleh prasangka-prasangka. Siaran-siaran komedi, betul-betul menangkap jarak psikologis kita dengan bangsa di ujung timur Indonesia. Melalui lucu-lucuan, prasangka dibangun, bahwa saudara kita yang paling jauh itu, adalah sekelompok manusia yang masih di belakang.
Tiba-tiba kita kaget dan terenyuh. Bahwa saudara kita itu bisa juga berang dan mengancam. Kita lupa, bahwa di Papua, masih banyak suku yang masih berperang satu sama lain. Pertarungan adalah hal biasa. Justru, pertarungan itulah yang menyehatkan psikologis kaum mereka.
Kita pun lupa-lupa ingat, sudah berapa banyak orang-orang non Papua yang bergantung hidup di tanah Papua, berapa banyak nilai materi yang ditarik keluar dari Papua. Seberapa sering elit-elit kita, memperdaya, mengelabuhi dan manipulasi pimpinan-pimpinan komunitas Papua, untuk menjual tanah, menyerahkan aset kepada negara, kepada perusahaan.
Dalam eksploitasi Papua itu, mula-mula kita bercermin, kita melihat diri kita dan melihat orang Papua, mengandaikan bahwa kita lebih baik dari mereka. Orang Papua mungkin juga begitu, awalnya mereka dianggap jelek oleh orang lain, lalu melihat diri mereka sendiri. Kemudian, mereka membandingkan, bahwa orang lain itu salah. Dari situlah barangkali kekerasan berangkat.
Dalam perjalanan Indonesia, yang boleh dikata masih singkat, yaitu 74 tahun, tak dapat dipungkiri bahwa Papua adalah salah satu korban dari dinamika revolusi Indonesia. Mula-mula mereka dibujuk oleh getar revolusi, bahwa revolusi belum selesai, di masa gelora Bung Karno. Saya berpendapat bahwa Bung Karno melihat penguasaan Belanda atas Papua merupakan sisa-sisa agenda kolonialisme/blok barat. Makanya Belanda, harus diusir dari tanah Papua.
Ramai-ramai penduduk daerah lain membantu, berjuang untuk merebut Irian Barat dari tangan kolonial Belanda. Meskipun, bapak bangsa kita yang lain, yaitu Bung Hatta tidak setuju dengan jalan keras seperti itu. Bung Hatta, justru berfikir bahwa Orang Papua punya sejarah berbeda dengan pulau-pulau lain. Tak ada orang Papua waktu sumpah pemuda (belum ada Jong Papua), Papua tak mengalami kerasnya penjajahan. Mereka tak dipaksa membuat jalan seperti Anyer-Panurukan, mereka tak disuruh untuk menanam kopi dan gula secara paksa. Mereka tak bersungut-sungut di gorong-gorong untuk membuat proyek infrastruktur perang Nippon. Bahkan, tidak ada pembunuhan massal seperti tindakan Westerling di Sulawesi Selatan. Makanya, imajinasi Bangsa berdasarkan pengalaman bersama, oleh Benedict Anderson, justru terasa bias jika kita menilik sejarah Papua.
Jangan dikata di masa Soeharto, modal nasional dan internasional landing di Papua. Mau tak mau orang Papua harus setuju. Baru ketika di masa Presiden Abdurrahman Wahid, Papua merasakan betul angin damai. Gusdur mendekati Papua dengan hati. Gusdur berkeyakinan, bahwa Papua harus disentuh dari segi kemanusiaan. Gusdur, saat itu, meresmikan nama Papua. Memberikan izin warga Papua untuk menyelenggarakan kongres. Bahkan, mengizinkan warga Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Gusdur sudah dianggap sebagai salah satu Bapak Orang Papua.
Jika berbicara sejarah, sudah begitu banyak luka dan goresan pada lubuk jiwa Papua. Namun, kita tak menghendaki itu untuk menjadi kian menganga. Kita sebenarnya membutuhkan pendekatan dari hati ke hati. Tampaknya, untuk soal Papua ini. Kita harus lebih banyak mendengar, dari versi mereka. Bukannya kita, yang lebih banyak bertutur, lebih banyak bercerewet. Kita membutuhkan Gusdur baru untuk Papua saat ini.
Pada dasarnya, ini bukan soal Papua saja, kemarahan Papua hanyalah salah satu gejala yang tampak. Titik soal kita adalah pada cara pandang kita pada yang lain. Baru saja kita sedikit lega dari semangat haru biru identitas. Kita tak sadar, seberapa sering kita menghardik yang lain, seperti nasib etnis China di bangsa kita. Belum lepas bayangan kita, tentang seorang Ustad populer mencela keyakinan orang lain, yaitu Salib Kristen. Kita pun belum lupa mengenai prilaku saudara-saudara kita di Sampang Madura, terhadap komunitas Syiah. Juga, belum beraninya komunitas Ahmadiyah untuk terang-terangan menjalankan keyakinan mereka di hadapan umum.
Kita tak sadar, bahwa kita sudah tak adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Kita hanya terlihat adil saja, di hadapan orang banyak. Tapi, di balik batok kepala kita, tersimpan nilai-nilai yang pada dasarnya diskriminatif. Kita selalu membeda-bedakan orang. Kita selalu menilai bahwa orang-orang lain lebih rendah dari kita. Kita masih sungkan untuk lebih akrab dengan pelayan, kita selalu memandang seseorang dari latar belakang pekerjaan, latar belakang keluarga dan status sosial. Kolonial secara fisik sudah angkat kaki dari dulu, namun sayang, watak kolonial tertinggal dalam cara berfikir dan prilaku kita.
Entah berapa tahun lagi negara/bangsa kita untuk bisa betul-betul menerima semua anak-anak bangsa-nya. Berapa tahun lagi dibutuhkan untuk membuat elit-elit kita tidak menganak emaskan satu bangsa saja, dan menyepelekan bangsa-bangsa lain yang ada di Indonesia.
Saya pernah mendengar dalam sebuah seminar nasionalisme, bahwa sebuah bangsa maupun ide akan diuji pada usia 100 tahun. Banyak ide yang gagal pada usia menjelang 100 tahun, salah satunya ide Bolshevik-isme. Apakah Indonesia akan bernasib sama? bisa ya, bisa belum tentu.
Belum lama pula kita menyaksikan sebuah film yang diangkat di layar lebar, yaitu Bumi Manusia. Dalam film itu digambarkan bagaimana orang-orang Belanda, melalui hukum Belanda, memperlakukan manusia secara berbeda, membedakan totok, indo dan pribumi. Di situ kita melihat perjuangan seorang terpelajar, Raden Mas Minke bersama seorang Nyai Ontosoroh, melawan ketidakadilan itu, meski pada akhirnya kalah. Inti film tersebut, menunjukkan perjalanan seorang tokoh pemula pergerakan nasional, bagaimana situasi pembentukan cita-cita nasional, faktor-faktor pendukung, bagaimana sulitnya dan jatuh bangunnya sebuah perjuangan menentang rasisme dan menegakkan persamaan hak dan martabat sesama manusia.
Namun, apakah bumi manusia itu sudah betul-betul hadir di Indonesia? Ada yang sepakat dan ada yang belum sepakat. Salah satu yang tidak sepakat adalah Max Lane, penerjemah tetralogi pulau buruh Pramodya Ananta Toer, yang melihat bahwa Bumi Manusia tidak hadir di Indonesia. Melihat fenomena terakhir-terakhir ini, seperti pelecehan orang Papua, kian menguatkan pandangan tersebut, bahwa Bumi Manusia belum hadir di Indonesia.






0 komentar:

Papua, dan Sifat Rasis Kita