Suasana media sosial tampak adem ayem saja. Seperti tak ada gejolak. Namun, di ujung timur Indonesia kita itu, sedang terjadi kisruh, seperti bola liar, seperti efek kupu-kupu.
Saya mencoba untuk menalar alasan teman-teman Papua kita untuk merdeka, yang mulanya dipicu oleh kata-kata rasis, seperti monyet. Betul, bahwa kata hinaan itu begitu menyakitkan. Menimbulkan rasa empati tiap-tiap insan yang berdarah papua, bahkan menciptakan gelombang kesadaran atas kesetaraan hak di seantero negeri.
Tapi, apakah karena itu, kita menjadi lupa bahwa di Indonesia, rasisme justru menjadi lawan bersama dahulu. Kita justru bersatu akibat rasisme kolonial Belanda. Jawa, Padang, Makassar, Sunda, Aceh, Bali, Flores, Maluku, menjadi entitas yang melebur menjadi satu, yaitu Indonesia. Negara kita terbentuk akibat adanya kesadaran bersama akan bengisnya penjajahan. Dulu, kita semua monyet di hadapan Belanda.
Makanya, unsur-unsur rasisme tidak begitu berkembang di Indonesia. Meskipun selalu ada persinggungan antar ras, namun tidak menjadi besar, karena kita sadar, bahwa perbedaan ras adalah anugerah, adalah takdir Indonesia. Kita melihat Papua, melihat Ambon, sebagaimana kita melihat saudara kita yang Aceh, dan Palembang. Tak ada yang berbeda, semua sama, mahluk ciptaan Tuhan.
Selagi itu, Indonesia tidak seperti Amerika di tahun 50-60-an, yang mendorong Martin Luther King untuk berpidato di Kaki Patung Abraham Lincoln, pada 28 Agustus 1963 di hadapan 250 ribu demonstran, menentang rasisme, menuntut emansipasi, mengakhiri perbudakan, melalui sebuah mimpi "I have a dream".
Amerika Serikat saat itu, masih diselimuti semangat untuk merendahkan kaum kulit hitam, yang katanya akan menodai kesucian ras kulit putih. Sebagian kecil warga Amerika begitu membenci orang negro. Bahkan, mereka membunuhi orang kulit hitam, sembari menuduh orang kulit hitam sebagai penjahat dan pemerkosa malaikat-malaikat gadis kulit putih.
Di Indonesia, tidak ada hal seperti itu, tidak ada yang seperti Klu Klux Klan, organisasi yang memang bertekad untuk mengusir orang kulit hitam. Tidak ada partai seperti Nazi, yang membantai ras Yahudi dan kelompok-kelompok minoritas yang lain. Mungkin, ada klaim-klaim sepihak, tapi masih dalam batasan-batasan yang wajar. Sebab, begitu sulit untuk menghindari persoalan ras-identitas, yang sangat begitu primordial.
Olehnya itu, Indonesia, boleh dikata sebagai rumah bersama, bagaimana pun bobrok kelihatannya. Bagaimana pun bejatnya oknum pemerintah jaman dulu, yang merusak rasa persaudaraan kita semua. Di negeri kita ini pun telah lahir begitu banyak negarawan dan bangsawan, yang lebih memedulikan persatuan dan keadilan bagi semua. Seperti Bung Hatta, Seperti Sahrir, Seperti Soekarno, seperti Gusdur, seperti Pramodya, seperti Romo Mangun, seperti Ishak Ngeljaratan.
Olehnya itu, mari kita pikirkan baik-baik, soal Papua ini. Apakah adil jika Papua merdeka? Baik bagi Papua sendiri atau bagi Indonesia. Sebab, Papua adalah saudara kita. Kita ditakdirkan bersama sejak referendum Penyatuan Indonesia-Papua Barat dahulu. Dan Saya harap, kita ditakdirkan hidup bersama dalam satu rumah Indonesia, selama-lamanya.
0 komentar:
Posting Komentar