Semalam, mungkin karena efek lelah dan sulit berfikir, Saya bersama istri mengistirahatkan diri dengan pergi ke bioskop. Kami pun memilih untuk menonton Joker.
Bayangan Saya tentang Joker hanyalah sepintas, dia adalah musuh Batman, Bruce Wayne, dengan wajah dan penampilan badut. Yang spesial, karena sosok ini banyak dibincangkan oleh kakak senior. Mungkin, dalam sosok ini mengandung dilema, yang menyebabkan kita kesulitan menilai dari posisi manusia normal.
Arthur Fleck, tinggal di sebuah apartemen bersama ibunya yang sudah renta. Sang Ibu meminta Arthur untuk setiap hari mengecek kotak surat, apakah sudah ada balasan dari Thomas Wayne? Orang kaya yang mencalonkan diri menjadi Wali Kota Gotham. Namun, balasan tak datang-datang. Penantian Ibu ini kadang-kadang membuat Arthur jengkel dan bertanya-tanya, apakah betul orang kaya ini bisa membantu Ibunya, yang 30 tahun lalu pernah bekerja di rumah orang kaya itu. "Ini masa-masa sulit, semoga dia bisa membantu kita," kata sang Ibu.
Di lingkungan kerja, Arthur seperti tak mendapat tempat. Sang Bos tidak mau tahu kondisi sebenarnya. Sang Bos hanya mendengar orang-orang, keluhan-keluhan pelanggan. Tak ada diskusi, tak ada konfirmasi. Padahal, setiap kejanggalan punya penyebabnya sendiri-sendiri.
Arthur tertawa dalam hati. Ia pun membangun prasangka-prasangka. Bahwa orang-orang ini adalah orang-orang jahat. Orang-orang ini tak lain hanya mementingkan dirinya sendiri. Tak ada simpati pada orang lemah. Pun angkar sosial Kota Gotham sudah lumpuh. Orang kaya menonton lawakan di panggung opera, orang miskin tersaruk-saruk di jalanan. Orang kaya tak peduli, sedangkan orang-orang miskin kian curiga.
Dan dirinya bagi orang-orang, hanyalah seonggok sampah. Bahkan, tim sosial yang mengurus orang-orang yang mengalami kelainan syaraf, seperti Arthur, pun begitu kaku. Tak ada kebahagiaan berbincang dengan petugas yang tampak bosan ini.
Arthur terus menerus tertawa. Tak ada alasan khusus dia tertawa. Mungkin ia hanya menertawai nasib, yang sudah diterkam tragedi. Sebab, lelucon terhebat adalah tragedi itu sendiri. "Sepanjang hidup Saya adalah tragedi, dan sekarang sudah tampak sebagai komedi".
Lantas, ketika hidup ini hanyalah komedi. Apa lagi yang tersisa? Hidup ini hanyalah permainan semata. Untuk itu kekerasan adalah legal. Kekerasan pun ditempuhnya, untuk menghilangkan unsur-unsur jahat.
Ia membunuh tiga anak muda kaya di kereta. Ia tertawa melihat protes orang-orang kalah, yang menjadikan wajah badut sebagai simbol perlawanan terhadap orang-orang kaya.
Begitu pula yang ia lakukan pada Murray Franklin, pembawa acara komedi populer di Kota Gotham, yang tak lain adalah idolanya sendiri.
Murray bertanya tentang pembunuhan tiga anak muda kaya, "Apa yang lucu dari pembunuhan itu?"
Arthur yang didaulat sebagai Joker pada acara itu, balik bertanya, "Bukankah lucu itu subjektif?" Lalu, Joker menambah lagi kelucuan itu dengan menembak kepala Murray. Darah terciprat ke muka badutnya, suara penonton tercekak histeris, dan mulutnya merekah, tersungging.
0 komentar:
Posting Komentar