semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Alwy Rachman dan Buku Pesona Sari Diri (PSD) Karya Sulhan Yusuf

Pada Sabtu, 24 Agustus 2019, pukul 15.50 wita, berlangsung perhelatan hikmat, di sebuah cafe yang tersembunyi dari lintasan jalan utama, Perintis, Makassar, yaitu Cafe Taman.
Duduk-duduk di kursi pembicara, seorang yang sudah lama kita kenal, namun sudah cukup jarang tampil di forum-forum akademik, khususnya bagi kaum Muda Makassar. Orang ini begitu dicari-cari, namun bagi Saya pribadi agak sulit menemuinya secara langsung, sehingga, ketika ada forum yang menghadirkan beliau, maka itu merupakan sebuah kesempatan yang cukup langka.
Alwy, terlihat agak canggung di hadapan anak muda, tapi bukan karena sulit berhadapan dengan anak muda, Alwy dahulu hampir setiap hari dan juga setiap malam kongkow-kongkow dengan anak muda. Rasanya begitu. Apakah karena jarak pengetahuan yang sulit terjangkau oleh anak muda? Ruang kesadaran yang demikan dalam, hingga agak berat ditempuh oleh anak muda? ataukah ada rentang rasa yang cukup berjarak, antara Alwy yang konsisten, dengan anak muda yang plin plan, yang tampak tak begitu serius menempuh proses berfikir dalam. Ataukah lantaran, proses bersama anak muda itu menjadi kenangan yang hidup dalam bayang-bayang kehidupan beliau. Saya tidak tahu.
Berada di panggung, Alwy memperoleh ruang untuk bersuara, dengan getar yang lain. Ia menjelaskan PSD (Pesona Sari Diri) dengan memaparkan pendapat tokoh-tokoh lain tentang pesona dan persona. Ia bilang bahwa buku karya Sulhan Yusuf Daeng Litere ini merupakan karya yang dapat disandingkan dengan karya-karya penulis/pemikir lain. Jadi, untuk membedah sebuah buku, mestilah melihat dari pandangan belantika pemikir lain, tentang Pesona, tentang diri, dan tentang Persona.
Sebelum menukik lebih dalam, Alwy membatasi defenisi pesona dan persona, bahwa ia menyandarkan pengertian pesona sebagai paras, atau topeng, tampilan kehidupan.
Ia mulai menjelaskan pendapat Edward Sapir tentang pesona. Alwy menyebutkan sebuah buku fenomenal, namun jarang dibicarakan yaitu "Language: An Introduction to the Study of Speech". Inti dari pemikiran Sapir, bahwa bahasa bergerak beriringan dengan budaya. Ibarat dua sisi dari mata koin. Dari sini dapat ditinjau bahwa bahasa, dalam hal ini juga pesona merupakan hasil dari warisan kebudayaan.
Kemudian, Alwy merangkai tema persona menurut ahli yang lain, namun nama ahli ini tidak begitu saya dengar. Menurut ahli ini, terdapat persona komunitas, yang selalu guyub dalam suatu komunitas. Ia merasa hidup ketika berada dan diterima oleh kelompok. Dalam hal ini, penekanan individu cukup dibatasi, individu menjadi ada jika aktif dalam kelompok.
Lalu, ada yang disebut persona neorologi, persona yang tampil lebih disebabkan oleh adanya ketegangan atau perubahan dalam otak/neorologi. Orang cenderung marah, cenderung penyendiri, lebih disebabkan oleh faktor biologi-syaraf.
Lalu, ada yang disebut persona konsenteris. Persona tipikal ini adalah paras yang selalu mencari pancaran sinar kebajikan. Selalu menyandarkan dirinya pada yang benar. Berkaitan dengan itu, persona juga dapat tampil sebagai pihak yang senantiasa hangat dalam pergaulan dengan orang lain. Dapat dikata sebagai persona yang terbuka, hangat, partisipatif, serta memiliki sense yang demikian kuat terkait intelektualitas dan estetika.
Lebih seru lagi, waktu Alwy menghubungkan PSD dengan subjektivitas sosial menurut Michel Faucault, yang mengatakan bahwa persona tak lain adalah topeng yang dibentuk dan dijalani oleh masing-masing person, hingga ia menemukan dirinya sendiri. Bahkan, persona dapat dikaitkan dengan teknik tubuh. Misalnya cara kita berjalan menentukan cara berfikir kita, dan juga karakter kita. Jika cara berjalan kita agak lambat, boleh jadi melambangkan bahwa kita memandang kehidupan dengan cara santai atau biasa.
Keseruan itu, sama halnya waktu dikaitkan dengan pendapat Max Weber, bahwa persona adalah suatu tatanan kehidupan. Manusia adalah proses menjadi dalam kebudayaan.Manusia selalu berada dalam suatu rumpun, misalnya rumpun relegiusitas.
Persona adalah proses menjadi, dalam kehidupan sehari-hari. Dibentuk oleh kebiasaan, atau dibentuk oleh peristiwa-peristiwa. Dimana persona adalah sebuah kode moral, dimana setiap person membawa suatu kesetiaan pada peristiwa, yang berlangsung lama, tahun demi tahun, kejadian demi kejadian.
Hingga, diakhir penjelasan, dia menukik ke Plato, bahwa, sebuah persona selalu memancarkan budi pekerti, dan budi pekerti ini berangkatnya dari proses pemaknaan (meaning) terhadap sebuah dunia, yang disebutnya realm. Nah, dunia (realm) ini berbeda dengan kenyataan atau biasa kita sebut sebagai realitas/reality, yang tidak mencoba untuk bersentuhan dengan moral atau budi pekerti.
Buku Pesona Sari Diri, karya Sulhan Yusuf Daeng Litere sejatinya, dapat pula disebut sebagai realm, sebuah dunia yang dihadirkan kepada khalayak, yang mengandung begitu banyak dimensi moral. Hal ini pun menjadi seru, lantaran diurai dengan pendekatan dynamic reading oleh seorang Suhu kita, yang senantiasa bersahaja, Alwy Rachman.
Sebagai seorang pendengar dan penyimak, Saya berharap kedua sosok ini tetap setia dan terus bersemangat untuk mengungkap momen-momen kebenaran.






0 komentar:

Alwy Rachman dan Buku Pesona Sari Diri (PSD) Karya Sulhan Yusuf