Corona virus sudah sampai pada
angka di atas 6000 kasus, dengan kematian di atas 500 orang di Indonesia. Kasus
ini akan terus bertambah, dan diperkirakan pada Mei nanti, bertepatan dengan Ramadhan,
merupakan puncak fase Corona di Indonesia. Nah, ketika masuk fase puncak dan
kebetulan kita terjangkiti virus corona, kita perlu hati-hati. Sebab, fasilitas
kesehatan kita belum siap betul untuk menangani antrian korban yang menggunung.
Di Wuhan Cina, diperoleh data
bahwa tingkat kematian korban terpapar Corona sebesar 4 persen, sedangkan di
negara-negara Eropa sekitar 1 persen. Di Indonesia hingga saat ini masih
menunjukkan angka 8 persen. Jika kasus corona sebesar 100.000, maka 8000
penduduk Indonesia akan meninggal. Belum lagi yang meninggal ini adalah
kader-kader bangsa yang berharga, misalnya dokter, perawat, dosen, dan
pimpinan-pimpinan masyarakat.
Apa yang harus kita lakukan untuk
mengatasi hal ini? Sudah banyak anjuran yang berseliweran. Kita diminta untuk
bersama-sama menjaga diri, demi diri sendiri dan orang lain. Sebab, virus ini
begitu cepat tertular, dan sangat akut. Namun, kita tak boleh berhenti di pertanyaan
bagaimana mencegahnya, dengan keyakinan yang mantap pada sains dan kemajuan
zaman. Kita pun mesti bertanya mengapa? Untuk
melihat kembali sebab musabab muncul dan meluasnya penyakit, sebagai bahan
refleksi yang bisa saja, pikiran-pikiran akan kemajuan itu sendirilah yang
menjadi akar persoalan.
Betul bahwa ilmu kedokteran telah
menemukan penangkal terhadap segala jenis penyakit, seperti yang dibahasakan
Steven Pinker dengan berpuas diri. “Dahulu kala, segala jenis penyakit dilawan
dengan perdukunan, doa, pengorbanan, pertumpahan darah, bekam, ataupun
homeopati. Akhir abad ke 18 dengan ditemukannya vaksin dan berakselerasi dengan
munculnya teori penyakit, gelombang pertempuran menemukan titik balik,”
katanya. Ditambahkannya lagi bahwa kegiatan cuci tangan, kebidanan,
pengendalian nyamuk serta perlindungan air umum dengan metode klorinasi telah
menyelamatkan miliaran jiwa. Tapi, kita pun tahu, bahwa mikroba punya logikanya
sendiri. Mikroba sudah ditakdirkan untuk terus menerus mengalami evolusi diri,
sebagai bentuk pertahanan dan eksistensi diri. Pada dasarnya, kita dan
mikroba-mikroba ini terus menerus berperang. Semakin kita mnggempurnya, semakin
kuat pula mereka menggempur balik. Kita pun tak begitu tahu siapa yang akan
menang dari perang gerilya ini.
Dari mana peperangan ini muncul?
Apakah orang-orang pemburu dan pengumpul juga berperang dengan mahluk tak
terlihat ini? Jared Diamond dalam buku terkenalnya “Guns, Germs, & Steel”
mengatakan : tidak. Mikroba-mikroba ini memperoleh tempat sejak manusia hidup
menetap dan bertani. Jared mencatat bahwa penyakit-penyakit menular dan
mematikan itu jika dihitung secara historis belum berlangsung lama, sekitar
1600 SM untuk cacar, 200 SM untuk lepra, 1840 M untuk epidemi polio, dan 1959
untuk AIDS.
Orang-orang berburu dan
pengumpul, meninggalkan sisa-sisa kotorannya bersama larva cacing dan
cangkang-cangkang, sedangkan petani hidup menetap bersama kotorannya. Di
samping itu, hewan-hewan pengerat yang membawa musuh di balik rambutnya terus
menerus mengintai petani. Hutan atau rawa-rawa yang dia hancurkan untuk jadi
ladang pun membuat nyamuk berontak hingga menyerang manusia, seperti malaria
dan demam kuning. Ikan-ikan yang dipelihara para petani, menjadi inang bagi
siput yang membawa skistosomiasis dan cacing hati. Para petani pun hidup akrab
bersama hewan-hewan peliharaannya. Bahkan banyak masyarakat yang sudah biasa
tidur bersama dengan hewan-hewan kesayangannya. Sehingga, boleh dikata bahwa penyakit
ini merupakan penyakit kerumunan, karena menyerang pada daerah padat penduduk.
Dan kebangkitan agrikulturlah pengungkitnya.
Begitu halnya ketika kota muncul
sebagai konsekuensi akumulasi hasil pertanian di desa-desa. Eropa abad
pertengahan terkenal dengan jalan-jalan kota yang jorok. Sampah bertebaran
dimana-mana, membusuk, dan tikus-tikus berkerumun di selokan-selokan, air bekas
buang hajat mengalir ke sungai-sungai yang nantinya membawa kolera dan menjadi
malaikat pencabut nyawa penduduk kota.
Jared mencatat, baik itu epidemi
influenza yang membunuh 21 juta orang pada akhir perang dunia 1, colera yang
membunuh jutaan orang di eropa, hingga wabah hitam pada 1346-1352 M yang
membuat penduduk eropa berkurang seperempat, ternyata memiliki kesamaan, yaitu
menyebar dengan cepat dan efisien, bersifat akut (cepat membunuh), orang-orang
yang berhasil selamat akan terbentuk antibodi dalam dirinya. Dan, penyakit ini
hanya menyerang manusia dan tidak pindah ke hewan-hewan.
Virus membutuhkan serangkaian
evolusi panjang untuk melompat dari inang yang satu ke inang spesies yang berbeda.
Virus pada manusia akan sulit berpindah ke hewan kucing, meski interaksi kita
begitu lekat dengan sang kucing. Lantas, bagaimana dengan hewan peliharaan
berjumlah massal? Berdasarkan hasil temuan ahli biologi molekuler,
mikroba-mikroba penyakit pada manusia itu memiliki kerabat penyakit pada hewan
ternak. Kerabat mikroba-mikroba ini menyerang hewan-hewan berpopulasi padat.
Jadi, ketika manusia mendomestifikasi hewan-hewan sosial itu, sebenarnya kita
telah memasang dinamit dan menunggu penyakitnya pindah ke kita.
Sebut saja campak, tuberculosis
dan cacar berasal dari penyakit ternak sapi. Sedangkan flu, batuk rejan dan
malaria falciparum berasal dari babi dan bebek/burung/ayam. Virus-virus hewan
ternak ini berevolusi dan berpindah ke manusia. Evolusi itu menjadi wajar,
sebab hubungan manusia dan sapi telah berlangsung ribuan tahun. Terdapat waktu
panjang bagi virus untuk berevolusi dan berinang di manusia.
Jika dikaitkan dengan karya Mae
Wan Ho yang berjudul “Rekayasa Genetik: Impian atau Petaka” soal virus ini pun
bukan lagi soal petani kecil, tapi sudah terkait dengan jejaring ilmu
pengetahuan yang lebih besar, relasi kuasa antara pemilik modal besar dengan
ilmu pengetahuan. Bisnis yang monopolistik bersatu dengan sains yang bersifat
reduksionis. Mae Wan Ho yang juga peneliti biologi molekuler menyadari bahaya
dari relasi itu ketika ia memperoleh kursus globalisasi dan ekonomi yang
dibawakan oleh Martin Khor (Direktur Third World Network). Ilmu rekayasa
genetika katanya akan mempertajam kesenjangan antara negara utara dan selatan.
Ilmu ini akan menjustifikasi pencurian-pencurian genetic dan pengklaiman secara
sepihak genetika keanekaragaman hayati negara-negara dunia ketiga.
Dalam buku tersebut dijelaskan
bahwa virus atau pathogen baru dapat pula terjadi atau berkembang dari
aktivitas rekayasa genetika. Dalam praktiknya, ilmu tersebut melakukan
pemindahan/transfer gen secara horizontal di antara spesies yang tidak dapat
saling kawin secara alami. Transfer gen ini menggunakan perantara
parasite-parasit genetik yang direkombinasi atau boleh dikata infeksi
meneggunakan virus. Celakanya, praktik ini tak mendapatkan jaminan, karena
sudah terdapat beberapa kasus berkembangnya penyakit akibat kesalahan prosedur,
dan memang sangat berpotensi menghasilkan pathogen-patogen baru yang tidak
dikenal sebelumnya.
Penyakit yang ditimbulkan sudah
beragam, diantaranya yaitu pengembangan galur kolera yang menyebabkan
meledaknya penyakit Kolera di India pada 1992, epidemi streptococcus di Tayside
pada 1993, pengembangan galur E.coli 0157 yang menyebabkan epidemi di
Skotlandia akibat dari transfer gen secara horizontal dari pathogen shigella.
Serta begitu banyaknya virus maupun bakteri yang tahan terhadap puluhan
jenis antibiotik. Pakar genetika menemukan bahwa kehadiran antibiotik dapat
meningkatkan frekuensi transfer gen horizontal 100 kali lipat, mungkin saja
karena antibiotik bertindak sebagai hormon seks bagi bakteri, sehingga
meningkatkan pertukaran gen antar spesies-spesies yang tidak berkerabat.
Dapat disimpulkan bahwa tindakan
manusia modern tampak kontraproduktif, di satu sisi berhasil mengatasi penyakit
dengan praktik hidup sehat serta penemuan bioteknologi melalui vaksin. Namun di
sisi lain, pemanfaatan bioteknologi untuk menghasilkan produk-produk unggul
dalam bidang pertanian melalui percobaan-percobaan pada hewan dan tumbuhan
dapat pula mempercepat lahirnya pathogen-patogen baru.
Apalagi jika praktik agrikultur
yang besar dan bersifat monopolitik itu bergandengan dengan rekayasa genetika,
maka boleh jadi perang gerilya antara manusia dan virus/bakteri akan terus
berlangsung. Praktek agrikultur besar ini yang menekankan pada monokultur
dengan produksi massal, sangat memungkinkan percepatan transmisi virus hingga
mengalami mutasi dan menyasar inang baru, yaitu manusia. Pertanian skala besar
ini juga telah membuka lahan hutan alami di seluruh dunia berjuta-juta hektar,
dan membebaskan virus-virus yang sebelumnya terperangkap di dalam habitat
alaminya. Tentang bahaya industri pertanian skala besar ini dikemukakan secara
gamblang dalam sesi wawancara “Capitalist agriculture and copid-19: A deadly
combination” bersama Rob Wallace, biology evolusioner dan penulis buku ‘Big
Farm Make Big Flu’ itu.
Sepertinya, jika praktik-praktik
seperti di atas terus berlangsung, maka kehidupan manusia maupun hewan ternak
itu sendiri akan terus dihantui oleh bakteri-bakteri baru, serta virus-virus
baru yang bisa saja semakin lama semakin ganas dan kian sulit dipecahkan atau
dicarikan pengobatannya. Untuk itu, sangat mendesak dilakukan perubahan cara
pandang kita terhadap akar-akar persoalan tersebut, di samping merombak total
semua cara pandang kita terhadap lingkungan. Perombakan ini dimulai dengan
mempertanyakan segala hal secara radikal, yang akan menuntun kita menuju
kesadaran, seperti yang dijelaskan oleh Arne Naess, sebagai pandangan Deep
Ecology atau Ekologi Dalam. Bahwa bersentuhan dengan alam itu bersifat
spiritual dan orang-orang yang menjalaninya akan dipenuhi oleh makna.
Penggeseran bahkan pembalikan
arah pandang ini, dalam hal melihat habitat alami tempat bersemayamnya
virus-virus, hewan-hewan liar, maupun mahluk-mahluk sosial seperti sapi, babi,
kambing dan lain-lain, harus ditempatkan sebagaimana mestinya. Jika pun tetap
dilakukan kegiatan peternakan, sebaiknya peternakan yang dilakukan bersifat
alami dan terdapat tidak dalam skema industrialisasi. Tapi, dalam skema
peternakan rakyat, yang bersifat polikultur dan membebaskan hewan ternak di
ruang alam yang bebas. Begitu halnya dengan pertanian. Pola Bertani
menyesuaikan dengan cara hidup tumbuhan di alam. Hidup secara polikultur
bersama tumbuhan lain. Dibiarkan tumbuh bebas dengan minim intervensi. Dan
tidak menggunakan pupuk kimiawi serta pestisida dalam pemberantasan hama.
Membiarkan alam bekerja untuk penyediaan pupuk alaminya sendiri serta musuh
alami bekerja untuk memangsa hama-hama tumbuhan budidaya.
Pembalikan paradigma ini memang
sulit, lantaran kuatnya godaan ekonomi melalui produksi massal. Tapi, corona
telah mengajarkan kita, bahwa corona-corona lain akan berdatangan jika kita
tetap menerapkan pola-pola produktivtas melalui mekanisme rekayasa lingkungan,
apalagi hingga melakukan rekayasa genetik.
Jika demikian, yang kita peroleh memang bukan perolehan ekonomi, tapi berupa bertambahnya nilai-nilai kehidupan kita. Sebab, kehidupan spritualitas atau mental kita akan semakin kuat dengan bertambahnya pengalaman-pengalaman mengolah alam secara baik. Seperti kata Manasobu Fukuoka, perintis pertanian organik di Jepang, bahwa hidup yang sehat adalah hidup yang bisa berelasi dengan alam sekitar.
**
Terbit di website : rumah-kecil.com
2 komentar:
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802
AJOQQ menyediakan 9 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
WA;+855969190856
Posting Komentar