Setiap peristiwa, apalagi peristiwa sakral, selalu
mengandung makna. Makna ini mungkin saja tidak selalu sama bagi setiap orang,
dan dapat pula makna itu berlapis-lapis, mengalami gradual pengertian seiring
dengan terpaan peristiwa yang menubruk kita.
Kini orang sudah paham, lebih karena telah
banyaknya literatur dan penemuan sejak berkembangnya ilmu biologi molekuler.
Selain itu, kita sudah bertubi-tubi mendengar penjelasan dari guru biologi kita
mengenai munculnya zigot, akibat tabrakan sperma dan ovum. Tapi, bagi saya, dan
mungkin bagi sebagian besar orang, penjelasan ilmiah tak mengurangi rasa kagum
kita pada peristiwa pertumbuhan, dari zigot menjadi jabang bayi, hingga
meluncur keluar dari rahim Ibu. Menangis. Tubuh merah dan basah. Seketika
tenang ketika dekat dengan payudara sang Ibu.
Lagi-lagi, kehidupan, sebagaimana pun jelasnya,
tetaplah bernuansa spiritual. Sama halnya dengan tumbuhnya sebuah pohon,
berkembangnya anak kucing, hingga sapi yang keluar dari perut induknya, yang
langsung dapat berdiri sendiri. Mungkin karena itu, agama masih begitu susah tersingkir
dari imajinasi manusia.
Kita boleh terkagum-kagum, tapi kita jangan
lupa bahwa dalam kehidupan ada hukumnya sendiri-sendiri. Seperti hukum pada
batu, yang hanya berlangsung proses fisika kimia, hukum yang menjelaskan siklus
air, hukum yang menjelaskan proses pemanasan bumi. Bahkan hukum alam yang
meruntuhkan binatang-binatang besar (dinosaurus) di masa lalu.
Nah, bagaimana dengan seorang bayi? Apakah ia
memiliki hukumnya sendiri? Di sinilah kita belajar betul dari perkembangan
bayi, yang akan menuntun kita untuk memahami jalannya dunia ini secara lebih
mendalam.
Sejak memiliki bayi, yang tanggungjawabnya
cukup berat itu, Saya menjadi sadar bahwa hidup ini begitu indah, perjuangan
yang dilakoni sang bayi, yang tanpa kompromi itu, menghasilkan perkembangan
demi perkembangan yang menakjubkan. Jika kita tidak jeli, kita tak dapat
melihat dan menikmati prosesnya. Ibaratnya, seperti bercermin, hari ini selalu
sama dengan hari kemarin, dan bagi kita secara pribadi, tidak ada yang berubah
dalam tubuh kita. Tapi cobalah amati sang bayi, perubahan kualitatifnya
berlangsung dalam hitungan hari, atau kita jeli mungkin dalam hitungan jam.
Bayi ibaratnya adalah evolusi mini, atau apakah bisa dikata sebagai revolusi?
Hal ini mengingatkan saya akan teori evolusi,
bahwa perubahan itu niscaya, tapi berlangsung sangat lambat, berjuta-juta
tahun. Namun, sebagai manusia biasa, kita kadang sulit membayangkan perubahan
yang lambat hingga berjuta-juta tahun itu. Sehingga, dengan gampang setuju pada
mitos kejatuhan manusia dari surga. Walaupun, hal itu tentu tidak penting bagi
manusia jaman dulu, yang masih terperangkap dengan batas-batas dunianya.
Misalnya, wajar-wajar saja jika Kaisar China menganggap bahwa tahtanya adalah
pusat bumi. Selain itu, tidak ada prangkat bagi mereka untuk berkeliling dunia dalam
rangka mengamati satu persatu mahluk hidup, mulai dari protoplasma, ubur-ubur,
ikan, reptil, burung-burung, hingga ribuan mamalia untuk melihat rantai dan
polanya, belum lagi kehidupan lebih didominasi oleh kegiatan berburu atau
bertani, atau mencatat perdagangan, jauh-jauhnya hanya terdapat beberapa orang
pemalas dan selalu bertanya, siapakah yang menciptakan kehidupan ini? Apakah
kehidupan ini pertama kali dihuni oleh ikan-ikan?
Mula-mula bayi mengeluarkan ekspresi tangisan
yang demikian kencang jika ia menginginkan sesuatu. Suara nyaring dan
melengking ini sebagai symbol pertama sang bayi untuk berkomunikasi dengan
orang-orang terdekatnya, sekaligus sebagai modal potensial yang akan menentukan
di masa depan, untuk produksi sosial. Saat-saat itu, tangisan sama halnya
dengan kicauan burung, lebih pada suara-suara yang ditimbulkan oleh naluri
hewani.
Lalu, pada bulan-bulan berikutnya, Sang Bayi
mulai meniru-niru bunyi-bunyi yang disuarakan oleh orang tuanya, yang hebatnya
adalah bunyi konsonan dan vokal, yang bagi hewan-hewan lain begitu sukar
ditirukan. “ma-ma, ka-ka, pa-pa, emma”. Mungkin kita dapat melatih seekor Beo,
tapi butuh waktu lama. Sang bayi yang merupakan pembelajar dari dalam, secara
berulang-ulang melakukan percobaan tak henti, berbunyi-bunyi, dimulai dari
emmmm… auu, auuu, nyauungg, dan hingga akhirnya tibalah ke kata mama dan
kemudian papa.
Dalam buku “Nalar yang Memberontak” karya Alan
Woods dan Ted Grant, terdapat prakondisi sehingga sang bayi dapat melakukan
revolusi Bahasa dengan menirukan konsonan dan vokal, yaitu terdapatnya pita
suara yang khas pada manusia, serta tentu merupakan hasil evolusi panjang dalam
sejarah manusia selama jutaan tahun, kemudian diturunkan dalam kolam gen
manusia. Apa yang menyebabkan itu, yaitu perubahan secara pelan-pelan pada
ukuran otak manusia, akibat kerja rutin manusia menggunakan perkakas sederhana
dan keahliannya membuat api. Hal ini pun dimulai dari kemampuan manusia untuk
berdiri tegak dengan dua kaki (bipedal), dengan jari-jari yang semakin
melengkung. Punggung tegak, dengan kepala di atas, rahang yang semakin kecil,
menyertai lidah yang tertarik ke dalam kerongkongan. Lidah yang leluasa itu
dapat menimbulkan bunyi-bunyi yang teratur, yang tak dapat dilakukan oleh hewan
manapun.
Ucapan di mulut disertai dengan goyangan tangan
dan kaki, tangan diputar-putar ketika anak kami Ahimsa berumur 2 bulan. Pada
bulan ketiga, ia mulai bisa membalikkan diri hingga tengkurap, yang dimulai
dari kaki diangkat dan digoyang-goyangkan. Dan sekarang, menuju bulan ke 4,
Ahimsa sudah dapat menggerakkan lututnya dan siku tangannya untuk merayap.
Lucunya, ia tak pernah merasa bosan, memang ada capek, tapi terus berusaha,
hingga ia mencapai suatu titik, lompatan kualitas. Setiap kami meletakkannya di
atas Kasur, dalam waktu satu menit dia sudah tengkurap, lalu beberapa menit
kemudian, dia sudah merayap. Tapi, menuju ke situ, kami menyaksikan dengan
begitu gembira, penderitaan Ahimsa yang terus menerus mencoba mengangkat kepala
saat tengkurap, dengan mengerang saat belajar mengangkat pantatnya, atau
bertahan di lengannya.
Apa konsekuensi dari pergerakan terus menerus,
dari tangan, kaki, lutut, kepala, hingga mulut yang terus menerus mengoceh,
tangan yang dijilat-jilat, merengek? Tentu adalah perkembangan kognitif itu
sendiri. Mula-mula anak bayi, belum bisa membedakan dirinya dengan di luar
dirinya. Sehingga, kondisi kesendirian adalah soal yang menyiksa, menuntut
orang tua untuk selalu berada di sisinya untuk memberi kehangatan, sehangat
rahim Ibu. Kemudian, otak berkembang, sang bayi sudah dapat mengenali di luar
dirinya, pertama-tama dia dapat membedakan mana ayah mana ibu, mana orang-orang
di luar kesehariannya. Kemudian, dapat mengenali benda-benda, lalu memahami
konsekuensi dari tindakannya, misalnya gelas jatuh dari meja dapat pecah atau
jika saya memukulkan tangan saya ditembok, maka akan terasa sakit.
Hal ini membuat kita kembali lagi pada
tangan-tangan Homo erektus,
keahlian tangan dalam menggunakan perkakas, yang berlangsung jutaan
tahun, mendorong perkembangan kognitif manusia purba. Sebagaimana penjelasan
standar bahwa, penggunaan tangan kiri, akan mendesak perkembangan otak kanan, atau
tangan kiri akan meningkatkan kualitas belahan otak sebelah kanan. Sehingga,
boleh dikata, seperti pernyataan Frederick Engels, “bahwa pengorganisasian
proses produksi sosial secara sadar, dimana produksi dan distribusi dijalankan
secara terencana, yang dapat mengangkat umat manusia di atas dunia hewan”.
Apa yang dapat kita pelajari? Pertama, dari
pendekatan dalam perawatan bayi itu sendiri. Lantaran pertumbuhan tubuh dan
perkembangan otak itu tidak terjadi begitu saja, maka memang tugas orang tua
untuk selalu memberikan rangsangan atau rekayasa lingkungan untuk menstimulasi
perkembangan sang bayi. Bahasa, pemikiran, perasaan, adalah hal-hal yang timbul
dari tindakan dari luar, yang berelasi secara terus menerus dengan potensi atau
struktur internal yang telah dimiliki. Makanya, sangat baik jika sang bayi dirangsang
dengan diajak berkomunikasi, berjalan-jalan, mengamat-amati kondisi sekitar,
mendengarkan suara-suara alam dan menyentuhkannya pada benda-benda. Sang Bayi
diberikan kebebasan untuk bersentuhan dengan alam. Sang bayi akan meyerap
dengan sendirinya harmoni, keteraturan, musik alam, dan tentu akan sangat baik
bagi perkembangan fisik maupun psikisnya.
Tidak lupa pula memberinya perhatian dan
kehangatan. Sebab, di saat-saat itu, perkembangan otak mengiringi perkembangan
perasaan. Sangat tidak baik jika membiarkan sang bayi berjuang sendiri, tanpa
dukungan orang tua. Sang bayi, pelan-pelan menanam sebuah pemikiran dalam
dirinya, bahwa dia tidak begitu penting. Sebab, ketika ia dewasa, ia selalu merasa
dirinya tak dihargai, tak dipedulikan, terasing, yang akhirnya menjadi pribadi
yang pemurung dan gampang terluka.
Kedua, bagi kita sendiri selaku orang dewasa.
Kita perlu belajar dari perjuangan sang bayi yang tidak gampang menyerah. Tak
ada kata putus asa dalam kamus sang bayi. Berbeda dengan orang dewasa, yang
terlalu banyak mengalami kegagalan, yang menyebabkan dalam kehidupannya tidak
banyak melakukan percobaan-percobaan baru, lantaran takut gagal. Kita
kadang-kadang lupa, bahwa kerja keras yang terus menerus berulang, pasti akan
membuahkan hasil. Namun, dalam batok kepala orang dewasa, yang justru
sebaliknya, bagaimana kita kurang bekerja, tapi mendapatkan hasil banyak.
Betul kata para pendahulu, bahwa anak adalah
titipan. Tapi, setelah memiliki anak, Saya jadi takut-takut sendiri. Ini bukan
sekadar titipan. Tapi juga sekaligus guru bagi kita semua, orang dewasa.
**
Tulisan ini telah terbit di rumah-kecil.com
**
Tulisan ini telah terbit di rumah-kecil.com
2 komentar:
p
menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
AJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)
WA;+855969190856
Posting Komentar