Tiga hari lalu Saya membaca tulisan Made
Supriatma dengan sedikit prihatin, tentang rencana Jokowi mencetak sawah
sebagai antisipasi krisis pangan di Kalimantan. Betul sekali pikiran Made,
bahwa kenapa mesti mencetak sawah, kan pangan lokal kita masih banyak?
Menurut Made, kita tidak kekurangan pangan, hanya saja kita tak mau
mengembangkan pangan-pangan lokal yang tersedia. Jadi, soalnya bukan pada
krisis pangan, tapi pada persoalan selera. Dari tulisan tersebut, Saya mencoba
untuk melihat dari sudut pandang yang lain.
foto : katadata
Dari berita Tempo.co, pada 30 April 2020, lahan
yang akan dikonversi jadi sawah adalah lahan gambut seluas 200 ribu hektar. Hal pertama yang
terpikir oleh Saya adalah peran penting lahan gambut sebagai penyimpan karbon,
yang juga berarti menjaga kita dari ancaman pemanasan global. Gambut yang
terbentuk dari timbunan material organik, dari sisa-sisa pohon, tulang-belulang
hewan, dan rerumputan jika dihancurkan, berarti kita melepas berton-ton karbon
ke angkasa. Hal ini berarti pula kita telah melanggar kesepakatan dunia, untuk
bersama-sama mencegah pelepasan karbon.
Kedua, setelah menjadi sawah, persoalan
lingkungan tidak berkurang. Ketika lahan dipupuk dengan bahan kimia, kita
melepas dinitrogen dioksida yang berkontribusi bagi pemanasan global. Air
buangan pupuk ini pun akan mengalir ke perairan umum (sungai), yang akan
menyuburkan perairan, menumbuhkan begitu banyak alga dan menipiskan kandungan
oksigen dalam air. Hal ini dapat berarti pembusukan air, dan mematikan
ikan-ikan maupun begitu banyak keanekaragaman hayati dalam air.
Betul bahwa dengan pencetakan sawah itu, akan
banyak mulut yang akan memperoleh nasi. Tapi, kita lagi-lagi melanggar prinsip
efisiensi yang sedang digalakkan oleh masyarakat dunia saat ini. Bisa
dibayangkan bahwa lahan yang diubah manusia menjadi lahan pertanian telah
mencapai 38,6% dari seluruh daratan di bumi (dikutip ari Nasional Geografic
edisi Masa Depan Pangan, Mei 2014). Percepatan pembukaan lahan ini dalam
beberapa dekade terakhir, lebih pada alasan pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat, dan diperkirakan pada 2050 mencapai 9 miliar manusia. Bagaimana mengisi
perut 9 miliar manusia ini? Nah, menjawab pertanyaan itu, apakah kita harus
membuka lahan baru? Di tengah lahan-lahan lain, yang berjumlah beratus hingga
berjuta hektar yang tidak produktif.
Bagaimana jika lahan yang kurang produktif
inilah yang dicarikan jalan keluarnya, agar lebih menghasilkan, dalam artian
kita terus berusaha meningkatkan hasil pertanian saat ini yang masih ada dan
membekukan semua rencana pembukaan lahan, dimana sepanjang sejarah manusia kita
membuka lahan dan telah merusak begitu banyak ekosistem, mulai dari gunung, padang
rumput, hingga pesisir.
Bukannya membuka lahan baru, tapi kita perlu
memeriksa, apa penyebab para petani kesulitan meningkatkan produktivitas
lahannya? Bukanlah lahan-lahan petani sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu,
lantas kenapa begitu banyak lahan yang kurang produktif dan cenderung gagal.
Seperti sebelum-sebelumnya, proyek revolusi
hijau yang bergantung pada pupuk kimia dan pestisida perlu dipikirkan kembali.
Mengingat, pada beberapa bulan lalu, petani kita rentan gagal panen gara-gara
kelangkaan pupuk. Belum lagi petani kadang-kadang kesulitan untuk membibit,
lantaran dalam jangka waktu tertentu harus kembali membelih benih. Padahal
jaman dahulu kala, ketika petani masih menggunakan bibit lokalnya, tidak ada
kesulitan dalam membiakkan bibit. Apakah tidak mungkin, energi pemerintah
difokuskan untuk mendidik petani kembali menerapkan metode organik, yang
dianggap mampu mengembalikan kesuburan tanah, dan dapat menghasilkan produksi
pangan yang lebih berkualitas.
Soal petani, yang menyangkut produktivitas ini
juga sangat erat kaitannya dengan kepemilikan tanah. Soekarno memang pernah
menyatakan bahwa rakyat kita ini adalah kaum Marhaen, atau kaum yang berdaulat
atas tanahnya sendiri, namun, sayangnya tanah petani kita hanyalah petak-petak
kecil. Urusan pertanian sama halnya dengan urusan kepemilikan lahan, siapa yang
memiliki lahan paling luas dialah yang paling berkuasa. Kita dapat memeriksa,
bahwa kondisi pertanian kita adalah realitas feodal. Dalam artian, masyarakat
kita sejak dahulu kala terbagi antara kaum yang memiliki tanah dan kaum yang
tak memiliki tanah atau memiliki tanah yang sedikit. Kaum yang tak memiliki
tanah atau sedikit tanah ini pada akhirnya harus mengabdi pada kaum yang
memiliki tanah luas. Sering kita mendengar, pada masa-masa paceklik, kaum yang
memiliki tanah sedikit ini terpaksa meminjam uang ke kaum yang berpunya, dan
akhirnya karena tidak dapat membayar utang, terpaksa mereka menjual tanahnya,
dan menjadi abdi seumur hidup kepada kaum yang berpunya.
Di samping itu, lahan-lahan petani yang sedikit
itu sering kali dikenahi pajak. Apalagi pada jaman colonial dulu, pejabat VOC
maupun Hindia Belanda bekerjasama dengan penguasa pribumi untuk bersama-sama
menguras keringat para petani, baik melalui program kulturstelsel yang
mengharuskan rakyat mengerjakan lahan-lahan pemerintah, maupun sistem pajak,
dimana hasil pertanian petani dirampas oleh pemerintah atas dasar pajak. Inilah
yang menyebabkan bertubi-tubinya pemberontakan petani di tanah Jawa, yang pasca
pemberontakan, sistem perpajakan masih terus berlangsung. Hal inilah yang
membuat mental kolektif petani kita rusak, dan saat ini kita begitu kesulitan
mendorong petani untuk bekerjasama. Hal ini banyak diceritakan dalam buku Ong
Hok Ham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang.
Sangat berbeda dengan yang terjadi di Jepang,
pada 1946, pasca perang dunia kedua, seperti yang dibahasakan oleh Tadashi
Fukutake, dalam Masyarakat Pedesaan di Jepang. Pemerintah Jepang memberlakukan land
reform di desa-desa. Pemerintah memaksa para tuan tanah untuk menjual
sebagian tanahnya kepada orang yang kurang memiliki tanah dan tidak memiliki
tanah. Akhirnya, semua orang memiliki tanah, sehingga, masing-masing orang
dapat merancang keuangannya sendiri-sendiri. Produktivitas pangan meningkat
yang disebabkan masing-masing petani memiliki modal untuk perbaikan manajemen
pertanian. Hal inilah yang menjadi dasar kebangkitan Jepang sebagai macan Asia,
dan dapat bersaing dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia hampir memberlakukan hal
yang sama, sejak undang-undang reformasi agrarian disetujui pada tahun 1960-an.
Tapi, masyarakat, dalam hal ini tuan tanah berkehendak lain. Tidak terdapat
kesepakatan nasional seperti di Jepang, justru di Indonesia, soal bagi-bagi
tanah ini direspon dengan pembunuhan besar-besaran di tanah Jawa, pasca
peristiwa Gerakan Tigapuluh September tahun 1965.
Untuk itu, ada baiknya jika kita
mempertimbangkan kembali pembukaan lahan/pencetakan sawah di Kalimantan. Akan
lebih baik jika pemerintah memberdayakan lahan yang sekarang sudah ada, akan
lebih baik lagi jika kebijakan land reform kembali diterapkan, dengan mencontoh
Jepang, serta mendorong produksi pangan-pangan lokal, seperti umbi-umbian,
sagu, jagung, seperti yang telah disarankan oleh Made Supriatma.
2 Mei 2020
0 komentar:
Posting Komentar