Apakabar Tuan-Puan? Semoga berada dalam keadaan
baik-baik saja. Saat-saat ini, hantu-hantu bergentayangan, mengisi ruang-ruang
sekolah yang sedang kosong. Burung-burung berterbangan, sapi, kuda, dan kambing
dengan bebas merumput di jalanan.
Tuan-puan menganjurkan kepada kami, masyarakat
biasa, untuk berdamai dengan korona, hidup bersama korona dalam apa yang
disebut ‘new normal’. Apa mau dikata lagi, kami tak punya kekuatan untuk
melawan, karena Tuan-Puan lah penguasanya, yang mengatur segalanya, menentukan
apa yang patut, apa yang tak boleh. Kami dilarang ke masjid untuk menyembah
Tiada Tuhan Selain Allah, kami manut, Tuan-Puan meminta kami untuk menjaga
jarak, kami manut, Tuan-Puan meminta kami menggunakan masker dan hand sanitizer,
kami pun manut.
Foto : istimewa
Kami menjalankan new normal ini dengan bahagia,
alih-alih ketakutan. Kami bahagia karena sudah dapat mengunjungi warung kopi
untuk menikmati kopi tua yang nikmat, sekaligus dapat menuntaskan rindu kami
untuk ngobrol bersama kawan-kawan kami. Kami bahagia, karena kembali dapat
menjalankan tugas kerja, untuk menghidupi anak istri. Namun, kami pun sedih,
karena korona tak mengenal new normal, ia ibarat entitas buta yang
melibas siapa saja, dan itu bukan salah korona, sebab korona tidak tahu
apa-apa, virus tak patut dikenahi tanggungjawab karena sama sekali tak berada
dalam domain pengetahuan. Korona hanya menjalankan tugas suci-nya, replikasi
dan replikasi, seperti kerja dan kerja.
Korona pun tak bermaksud mengganggu kita, ia
hanya punya maksud bagi entitasnya sendiri. Hanya saja, jika kita merujuk pada
karya Slavoj Zizek yang baru, PANIK, bahwa korona adalah gladi bersih
menghadapi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Sebab, bagi
lingkungan, korona adalah pejuang, burung-burung dengan indah berterbangan di
langit, capung-capung menyentuh kolam, ikan-ikan bertelur di laut. Korona
sekan-akan menunjuk-nunjuki kita, bahwa yang menjadi virus bagi lingkungan,
pada dasarnya adalah diri kita sendiri.
Korona memang merebak di Wuhan, Cina, beribu-ribu
kilometer dari Sulawesi, tapi apa bedanya? Tindakan kita terhadap alam, tak
beda jauh dari tindakan warga cina terhadap alam. Sejak pergantian rezim, dari
Mao Zedong ke Deng Xiaoping, perubahan total pun terjadi di Cina, meski masih
dalam koridor bendera Palu Arit, tapi semangatnya, sudah semangat kapitalis.
Modal untuk modal. Investasi untuk modal, lalu untuk investasi kembali.
Bergulung-gulung tanpa henti. Gunung-gunung dibom, hutan dibabat, air sungai
tercemar, orang-orang desa ramai-ramai ke kota untuk mengunduh nasib.
Kita ambil contoh wabah virus nipah di Asia
Tenggara. Pada 1997, terjadi pembukaan hutan besar-besaran di Kalimantan, kalelawar
tak mengerti dan terbang begitu saja mencari buah, buah-buahan yang biasa
diperoleh di hutan-hutan sudah tak ada lagi, buah itu menghilang bersama
beribu-ribu batang pohonnya, akhirnya sang kalelawar menemukan buah di
kebun-kebun warga. Tidak lama kemudian, babi di sekitar kebun jatuh sakit,
diperkirakan setelah memakan buah yang telah dimakan oleh kalelawar, lalu hal
yang sama dialami oleh petani babi lokal. Pada 1999, 265 orang menderita
peradangan otak dan 105 meninggal. Ini adalah pertama kali diketahui kemunculan
virus nipah pada manusia (Katarina Zimmer, “Deforestration is leading to
more infectious diseases in human”, National Geografic, 22 November 2019).
Olehnya itu, kami akan menjalankan kehidupan new
normal itu, mematuhi semua perintah Tuan-Puan dalam berkehidupan, untuk
menjaga jarak, untuk memakai masker, dan tidak bersentuhan dengan orang lain.
Tapi, apakah tidak mungkin, pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia ini dapat new
normal juga? Bisa kita bayangkan, terdapat 10.031.931 hektar izin diberikan
untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), dimana hanya 18,95% yang dikeluarkan oleh
Orde Baru, sementara sisanya diberikan sejak era reformasi. Izin pemanfaatan
hutan alam yang totalnya 16.138.242 hektar, dimana kontribusi Orde Baru hanya
3,23%. Begitu halnya izin pinjam pakai kawasan hutan yang total luasannya
sebesar 563.464 hektar, hanya 7,1% yang disumbangkan Orde Baru (Perjuangan
Keadilan Agraria, Insist, Agustus 2019).
Tentu, izin-izin ini dengan pesat berkembang
dalam satu dekade ini, pasca ditetapkannya Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), yang membagi Indonesia dalam
koridor-koridor ekonomi. Seperti kata sambutan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada Pertemuan CEO APEC, di Nusa Dua, Bali pada 2013, “Dalam 14
tahun ke depan, kami menargetkan 460 miliar US$ untuk investasi di 22 kegiatan
ekonomi utama, yang terintegrasi dalam delapan program, yang mencakup
pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata dan telekomunikasi. Karena
itu, Master Plan ini memberikan kesempatan besar bagi investor internasional.
Akhirnya, dalam kapasitas saya sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia (chief
salesperson of Indonesia Inc.), saya mengundang anda untuk memperbesar
bisnis dan kesempatan investasi di Indonesia.” (MP3EI, Master Plan Percepatan
dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogjo Institute)
Masing-masing
pulau sudah ditetapkan statusnya, seperti Sumatera dan Kalimantan untuk menyediakan
bahan baku tambang dan energi, Jawa untuk mendukung sektor jasa, Sulawesi
adalah tambang, pertanian, kelautan, Bali dan NTT (Nusa Tenggara Timur) adalah
pariwisata, dan Papua dalam bentuk energi, pangan perikanan, dan tambang
nasional.
Untuk
merealisasikan hal ini, maka dibuatkan rancangan skala besar, seperti penentuan
jenis komoditi yang akan dieksploitasi, penyiapan undang-undang yang mendukung
percepatan ekonomi, pembangunan infrastruktur besar-besaran, serta sumberdaya
manusia dan teknologi. Kata kunci rancangan mega besar ini, yaitu interkoneksi,
integrasi, serta debottleneck (menguraikan hambatan), cara untuk
menguraikan hambatan investasi, yaitu menyederhanakan, mengoreksi, hingga
menghilangkan segala regulasi yang dianggap akan menghambat aliran investasi.
UU
Minerba (Mineral dan Batubara) bersama RUU Omnimbus Law adalah bagian dalam
mendukung itu untuk menghilangkan debottleneck, terdapat juga puluhan
undang-undang lain, baik dari sektor pertanahan untuk mempercepat pengadaan
tanah untuk umum, sektor keuangan mengenai regulasi pengaturan pajak, tentang
Izin Usaha Tambang, PP tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di beberapa tempat,
sektor kehutanan mengenai pengelolaan kawasan hutan untuk kegiatan non
kehutanan, percepatan pembangunan daerah, khususnya infrastruktur di Papua, dan
lain-lain.
Contoh
kasus eksploitasi alam Morowali, Sulawesi Tengah, yang selama ini kita dengar
hanya selentingan pekerja Cina yang berdatangan ke sana, atau tentang
orang-orang bugis yang mulai sejahtera karena membangun pasar-pasar rakyat di
sana, juga tentang banjir besar yang melanda pemukiman dan sawah-sawah di sana
pada pertengahan tahun lalu. Kita umumnya tidak tahu bahwa sejak Undang-undang
Minerba tahun 2009, sudah semakin banyak perusahaan yang memperoleh izin
tambang, dari laporan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) tahun 2013, sudah terdapat
177 perusahaan asing yang beroperasi, dari 189 yang telah memperoleh izin.
Lahan yang dimanfaatkan oleh seluruh perusahaan itu adalah 600.089 hektar. Hal
ini menyebabkan hutan hijau di Kabupaten Morowali menjadi tanah merah. Lalu,
semakin banyak dibangun pelabuhan dadakan di muara sungai ataupun di pesisir
pantai, yang tentu telah merusak ekosistem mangrove yang ada di sana. Dapat
kita bayangkan hutan berubah menjadi lahan tambang, yang diperkirakan kurang
lebih setengah luas Kawasan Morowali itu sendiri, yaitu 1,4 juta hektar.
Kerugian dalam bentuk jasa-jasa lingkungan, penyediaan air, udara,
keanakeragaman hayati lenyap sudah.
Itu hanya Morowali, itu pun data 2013, kita bisa bayangkan perubahan
kondisinya sekarang di tahun 2020, belum lagi kita melihat Sulawesi Tenggara,
seperti yang saya saksikan waktu survei rumput laut di sana. Tanah yang dikeruk
diangkut oleh truk ke muara ataupun pinggir pantai, lalu dibawa oleh kapal
tongkang entah kemana, tanah-tanah banyak yang jatuh ke laut, bisa kita
bayangkan berapa kerugian kita lantaran laut menjadi keruh. Rumput-rumput laut
warga Kendari, Konawe Utara, Konawe Selatan, menjadi layu dan laut menjadi
tidak produktif. Tambang ini memang menggiurkan, bisa memperkaya walikota
hingga gubernur, alih-alih memenjarakan mereka. Tapi, bagaimana nasib rakyat
kecil, yang bergantung pada kualitas tanah pertanian dan perkebunan, serta
kualitas air untuk perikanan. Pilihan kita sangat sulit, sayang sekali, kita
lebih memilih investor. Saya khawatir, di balik kata kerja, kerja, kerja,
tersembunyi semboyan, investasi, investasi, investasi.
Olehnya itu, Tuan-Puan yang budiman, sidang rakyat telah berlangsung,
dan corona tetap mengintai. Kami, sebagai rakyat biasa, tentu akan menuruti
kemauan tuan puan untuk menjalankan new normal, ya, agar ekonomi tetap
berjalan seperti sedia kala, meski dengan rasa was-was, dimana bersama korona
ada kematian yang menunggu di gerbang. Kami mengerti kepanikan Tuan-Puan
terhadap situasi ini. Tapi, kami pun berharap, bahwa Tuan-Puan juga menjalankan
new normal pada pengelolaan sumberdaya alam Indonesia kita yang
tercinta. Misalnya dengan menerapkan PETBB (Pembatasan Eksploitasi Tambang Berskala
Besar) Sebab, sudah banyak yang menjelaskan bahwa korona adalah hasil dari
keserakahan manusia terhadap alam.
Jika tidak ada new normal pada pengelolaan sumber daya alam, korona-korona lain yang bersembunyi di hutan-hutan, mungkin tinggal menunggu waktu untuk tersebar dan menjadi hantu, dan akan mengetuk pintu rumah Tuan-Puan yang budiman.
**
Telah terbit di rumah-kecil.com
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
WA : +855969190856
Posting Komentar