Sejak 5 Mei 2020, setelah ditayangkan di kanal
yotube Kompas TV, berita perundungan terhadap seorang bocah di Ma’rang, Kab.
Pangkep terus bergulir. Simpati mengalir deras kepada korban Bully, ada
yang menghadiahkan sepeda, hingga motor dan beasiswa. Tokoh-tokoh politik pun
turut bersimpati kepadanya.
Begitu halnya dengan pelaku, yang sudah
diamankan di Polres Pangkep, hadiahnya bukan sepeda apalagi motor, tapi dalam
bentuk kurungan. Lebih dari itu, adalah makian begitu banyak orang di media
sosialnya, dengan kalimat-kalimat yang cukup kasar.
Setuju dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh
Nurhadi Sirimorok, apakah ini sudah merupakan solusi? Bagaimana dari sisi struktural
maupun dari sisi moral?
Pertama, bagi si korban, namanya anak-anak,
sangat senang diberi hadiah, hadiah tentu memberi efek psikologis yang positif
bagi anak-anak. Tapi hadiah ini di luar ekspektasinya. Sesuatu yang datang
kepada kita yang sangat besar, menuntut kita untuk memberi sesuatu yang sangat
besar pula. Hukum kompensasi selalu berlaku. Meski timbal baliknya bukan dalam
bentuk serupa, tapi bisa saja dalam bentuk legitimasi kekuasaan.
Secara hubungan sosial, relasi kuasa pun masuk
ke dalam cela-cela sempit peristiwa. Makanya, suku-suku pedalaman Afrika,
seperti Suku San (Bushmen) di sekitar Gurun Kalahari, yang belum mengenal uang
dan masih menggunakan sistem barter, selalu mencurigai pihak-pihak luar yang
memberi hadiah. Seorang pemburu mengaku. “Ketika seorang pemuda (pemberi hadiah)
memotong daging yang begitu besar, dia akan mengira dirinya orang besar atau
kepala suku; dia membayangkan kami semua sebagai pelayan atau bawahannya”.
Begitu halnya dengan orang Eskimo yang sangat ketakutan terhadap pemberi hadiah
yang berlimpah, disertai kesombongan yang seakan-akan disembunyikan, melalui
pribahasa “hadiah menciptakan budak, seperti halnya pecut menciptakan anjing”.
Hal ini diceritakan dengan sangat baik oleh Marvin
Harris dalam buku “Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir” yang dalam satu babnya
bercerita tentang Kepala-Kepala Suku di Amerika yang sering mengadakan
pesta-pesta besar, dan membagi-bagikan hadiah. Mulanya hadiah itu dari
ketulusan hati, dan memang buah dari usaha kerja keras si pemberi hadiah.
Kemudian, lantaran diberi hadiah, orang-orang pun mulai bekerja lebih keras
untuk membalas si pemberi hadiah, atau untuk mendorongnya memberi hadiah lebih
besar. Pun pada akhirnya, si pemberi hadiah ini menjadi sangat besar, dan tak
perlu lagi mematuhi aturan timbal-balik. Penindasan pun terjadi, dalam bentuk
pemaksaan pembayaran pajak dan bekerja padanya, tanpa betul-betul membagikan
secara adil keuntungan dari hasil kerja tersebut. Budak dapat lahir, bukan dari
pecutan, tapi dari pengadaan pesta-pesta besar, dan juga hadiah.
Kembali ke kasus Jalangkote, pada akhirnya
muncul kesimpulan, bahwa yang memperoleh hadiah dan simpati besar-besaran,
hanya bagi mereka yang ditindas besar-besaran pula. Untuk konteks saat ini,
yaitu kasus-kasus tertentu yang berhasil memantik emosi orang banyak, meskipun
kasusnya barangkali sepele dibandingkan kasus-kasus lain yang lebih besar,
namun tidak sempat viral di media sosial. Bagi begitu banyak orang yang rentan
kondisi ekonominya saat ini, yang membutuhkan uluran tangan, bukan karena tidak
mampu bekerja, tapi karena kondisi yang membuatnya tak dapat bekerja dan
memperoleh uang yang cukup, dalam keadaan terpaksa gigit jari. Kita bukan
korban bully. Kita seperti kebanyakan orang, adalah orang yang setengah
tertindas, dan tampaknya tidak perlu dibantu.
Lantas, bagaimana dengan si pelaku, yang
mangkrak di penjara dan mengalami pembusukan moral di media sosial? Betul kata
banyak orang, bahwa perundungan melahirkan perundungan baru. Kita tak berani
mencoba untuk keluar dari lingkaran setan perundungan. Hal ini juga menunjukkan
bahwa kita belum dapat keluar dari mentalitas primitif, yang barangkali lebih
primitif lagi, lantaran orang primitif sendiri punya alasan logis dalam aksi
serang-menyerang, balas membalas, kekerasan dipukul kembali dengan kekerasan.
Sebab, logika kekerasan pada suku-suku tribal adalah lebih pada adaptasi
terhadap keterbatasan sumberdaya alam, atau kontrol populasi dalam bentuk
penyesuaian jumlah populasi dengan sumberdaya yang ada.
Agama-agama besar lahir dari peradaban besar,
ketika manusia berhasil menemukan strategi untuk hidup secara bersama tanpa
terlibat lagi dalam aksi bunuh-membunuh, atau Bahasa lainnya adalah perang.
Misalnya ajaran-ajaran agama Hindu di India, adalah representasi konteks
pertanian jaman dahulu hingga sekarang, dalam artian terciptanya nilai-nilai
yang merasuk ke dalam alam sadar manusia India, yang tentu juga berperan untuk
mendorong secara berkelanjutan, dari generasi ke generasi mengenai praktek
hidup komunal.
Contohnya tradisi kecintaan terhadap sapi. Hal
ini menurut Marvin Harris, memiliki landasan material yang jelas, bertolak dari
praktek hidup, sarana produksi, kebergantungan atau kebermanfaatan sapi bagi
kehidupan masyarakat India yang dominan adalah petani-petani skala kecil. Begitu
halnya dengan konsep Satyagraha (setia pada kebenaran) maupun Ahimsa (menolak
tindakan kekerasan), lahir dari kesediaan untuk hidup bersama secara harmonis,
baik sesama manusia maupun dengan alam sekitar.
Dengan begitu, logika perundungan dibalas
dengan perundungan, sama halnya dengan logika masyarakat tribal yang rutin
menyelenggarakan perang lantaran rasa takut akan tergerusnya sumberdaya alam.
Atau barangkali, situasi saat ini mirip dengan situasi masyarakat tribal yang
tinggal di lereng-lereng gunung. Bahwa pada dasarnya kita dihantui rasa takut
akan sumberdaya, kita masih curiga terhadap kemampuan manusia untuk bekerjasama
(sama-sama menang), justru yang muncul adalah yang menang adalah yang kuat,
yang berhasil adalah yang kaya, yang pekerja keras, dengan bahasa halusnya
yaitu meritokrasi.
Kita tak berani keluar dari itu, nafsu-nafsu
binatang masih mengatur kita, walaupun dasarnya adalah niat baik. Agama-agama
besar pun barangkali tak berhasil mengubah pandangan kita (conversion) kepada
kebenaran (kaloskagatos : elok dan baik menurut Plato), mengajak kita naik ke atas (anabasis), untuk berfikir lebih arif terhadap pelaku.
Bahwa perundungan tak mesti dilawan dengan perundungan. Alangkah baiknya jika
perundung itu dimaafkan. Sebab, dengan memaafkannya, berarti kita mengangkat
kembali rasa kemanusiaan dalam dirinya.
Betul kata Mahatma Gandhi, bahwa kekerasan
hanya membuat situasi menjadi semakin buruk. “Kekerasan hanya akan merangsang
tanggapan yang sama kerasnya”. Kekerasan ini, tambahnya, hanya akan
menghancurkan banyak sekali kemajuan yang telah dibangun dengan susah payah,
selama berabad-abad evolusi manusia.
Telah terbit dalam website : rumah-kecil.com
1 komentar - Skip ke Kotak Komentar
Poker online dengan presentase menang yang besar
ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :D
WA : +855969190856
Posting Komentar