Kampung Baranusa, Kecamatan Pantar Barat, bersama kampung-kampung lain di sekitarnya, yang tak lain adalah pemekarannya sendiri, seperti Baralel, Blangmerang, Leer, dan Pirinsina, memiliki pesona tersendiri. Selain warga-warganya yang tegas nan murah senyum, mereka punya masa lalu gemilang, dengan beragam bentuk kecerdasan yang untuk ditakar saat ini tak bisa kita nilai harganya.
Orang Baranusa masih memegang beberapa kepercayaan, dan mereka pun selalu mengaitkan kepercayaan itu dengan beragam kejadian-kejadian aneh yang muncul, terutama di laut. Seperti dijelaskan Samsudin Laara, sekretaris Lembaga Adat Baranusa, sewaktu kami membawa undangan pertemuan dengan donor Mc-Cargill bersama Yayasan WWF Indonesia pada 8 Desember 2022 lalu, katanya pernah ada kapal pengangkut beras yang karena tertipu arah oleh roh-roh laut, akhirnya tersangkut karang di perairan dekat Pulau Batang dan Pulau Lapang. Warga setempat pun menjadikan besar yang terendam air laut itu penganan kue, walau rasanya sudah asin. “Sayangnya, air laut yang memutih itu mematikan rumput-rumput laut liar, yang dulunya melimpah di wilayah itu,” kata Pak Sam.
Roh-roh laut itu disebut orang lokal sebagai nedah. Orang percaya mereka dapat diajak ngobrol, oleh satu garis keturunan, yaitu marga Sandiata. Katanya, leluhur Sandiata dulu menetap di Pulau Lapang, tapi karena tsunami, mereka pun mengungsi ke daratan yang lebih besar. Sayangnya, Sebagian warga menjelma menjadi buaya putih karena dalam perjalanan meninggalkan pulau, mereka masih menengok kebelakang. Saya tiba-tiba mengingat cerita si istri si Loth, karena rindu halaman, tak dapat melupakan jendela, atap, dan pepohonan di halaman rumahnya, kenangan-kenangan ia di masa kecil, pun menengok ke belakang dan menemukan dirinya menjadi tiang garam.
Mahluk halus atau buaya putih ini pun kata Pak Sam masih biasa datang di rumah keturunan-keturunannya. Ketika ada pesta adat atau hajatan. Tuan rumah pasti tahu, karena ketika mereka datang biasa disertai aroma laut. Ada satu keturunan Sandiata yang terkenal, dia Bernama Komarudin Gini, dia dianggap penerus almarhum ayahnya, Bapak Sangaji Gini, yang sebelumnya dianggap dapat menghubungkan dunia manusia darat dan dunia hantu laut. Kata Pak Sam, pernah orang melihat buaya yang datang di dekat rumahnya, yang memang dekat dengan laut.
Sangaji Gini adalah orang terakhir yang menyelenggarakan ritual suci Hading Mulung, atau pelarangan untuk menangkap ikan di suatu Kawasan, atau secara harfiah berupa penancapan tiang-tiang, yang menjadi lokasi pelarangan untuk mengambil hasil laut dalam hitungan tertentu, dahulu hitungan 3 bulan, nah yang terakhir ini hitungan satu tahun, yaitu pada 31 Oktober 2016 (Hading Mulung/tutup) dan 10 Mei 2018 (Hoba Mulung/buka).
Dari film documenter seri WWF Indonesia, “Hading Mulung: Warisan Buka Tutup Laut”, Pada 2016, Sangaji Gini melihat perlunya Kembali menyelenggarakan Hading Mulung, sebab kawasan perairan yang ikannya tak habis-habis dari dulu ini perlu dijaga dengan melihat maraknya budidaya rumput laut di sekitar Pulau Lapang, pembudidaya rumput laut bukan hanya warga Baranusa, tapi juga warga kampung lain seperti Kabir, Bana, dan Labuan. Tampaknya, orang lain perlu tahu, karena jika tak ada Hading-Hoba Mulung, maka orang akan seenaknya mengambil hasil laut, baik ikan, lola, siput, dan teripang. Tradisi mulung sudah tak dilakukan selama 20 tahun sebelum 2017 itu, jadi dengan dukungan Camat Pantar Barat, apalagi dapat dorongan besar dari Yayasan WWF Indonesia, tradisi mulung Kembali dibangkitkan.
Dalam film itu, Sangaji Gini adalah tokoh utamanya, usianya waktu itu sudah sepuh, rambut dan jenggotnya putih, kacamatanya besar dengan kumis putih yang menutupi bibir. Iya tampil dengan membasuh ayam hitam dan melepaskannya, kemudian sirih dan pinang ditaruh dekat tiang, semua dengan kata-kata, “Lawo tanah-kampung yang suruh, nuba nara Baranusa yang suruh”. Jadi, yang melanggar akan menuai resikonya, “Bukan kurus, langsung pedis di mulut”. Resiko banyak, bisa gatal-gatal, sakit perut, hingga meninggal.
Dengan mantra-mantra itu, Sangaji Gini berkomunikasi dengan yang punya tanah-laut Baranusa, juga barangkali saling hubung secara intim dengan roh-roh halus, yang menjaga laut. Orang pun percaya, sebab mungkin saja dulu banyak kejadian, orang terkena penyakit karena melanggar adat Mulung. Di samping masih dipegangnya petuah adat, untuk cinta kepada Allah (Taku Nong Lahatala), cinta kepada sesame (Taku Nong Mangsia), dan cinta kepada alam (Taku Nong Ekang).
Mangkup Raja Baso, pewaris kerajaan Baranusa mengatakan tradisi mulung ini biasa dilakukan pada musim penghujan, laut ditutup agar orang-orang dapat berkumpul dan bersama-sama bekerja di kebun. Sehingga, praktik tata Kelola ini boleh dikata, jika mengutip penulis buku “Mulung: Warisan Leluhur Baranusa, Kajian Aspek Ekologis” yang ditulis oleh Paulus Edison Plaimo (Dosen Universitas Tribuana Kalabahi) dan Zakarias Atapada (Social Staff_WWF Indonesia), adalah bentuk kecerdasan ekologis/Ecology Intelligence, kemampuan manusia dalam merespon keadaan yang terjadi di sekitarnya atau kepekaan manusia dalam memahami gejala-gejala alam atau menanggapi situasi alam agar daya lenting (resilience) lingkungan bisa terjaga.
Berbicara mengenai kecerdasan ekologis ini bisa banyak hipotesa, yang membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui asal muasalnya. Boleh terjadi karena kaum Baranusa sudah sejak abad ke-15 berbentuk kerajaan, dengan memanfaatkan kekayaan alam laut dan darat, sehingga terdapat surplus dan terbentuknya masyarakat konsumen/konsumtif ikan, kelebihan konsumtif yang berakibat baik bagi kesehatan (pikiran dan mental) tapi akan berdampak kurang baik bagi lingkungan, barangkali mendorong para tetua-tetua atau orang-orang cerdas di zamannya untuk melakukan adaptasi lingkungan dengan tradisi Tutup (hading) dan Hoba (buka) dengan hitungan waktu tertentu.
Kecerdasan ini pun diperkaya dengan kepercayaan pada leluhur yang setia menjaga laut. Namun, kita tidak tahu sampai kapan warga Baranusa percaya pada kesaktian mantra marga Sandiata, yang sekarang ada di tangan Kamarudin. Ketika anak-anak dan generasi muda sedang gencar-gencarnya mengikuti setiap tahapan Pendidikan, bahkan hingga ke Jawa dan Makassar untuk menempuh jenjang perguruan tinggi. Hasil dari budidaya rumput laut telah banyak digunakan untuk menyekolahkan anak-anak ke luar Alor. Apakah para sarjana-sarjana ini masih percaya dengan kecerdasan tradisi yang lahir dari buminya sendiri?
Saya masih menaruh harapan, pada 23 November 2022 lalu, diadakan lomba tari Lego-Lego di halaman Sekolah SMP, semua anak-anak gembira menghafal syair-syair, dengan kain tenun melilit tubuhnya, dan anyaman daun kelapa muda melingkar di kepalanya.
0 komentar:
Posting Komentar