Pesawat Lion Air mendarat di Kota Kupang, kota provinsi Nusa Tenggara Timur. Lewat tengah hari yang berangkat dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Terik begitu menyengat ketika kami turun dari pesawat dan melangkah-langkah kecil ke Bandara El-tari. Terang matahari memang panas, tapi tak membakar kami. Justru menambah semangat kami untuk terus melangkah masuk.
Padahal, perasaan was-was masih
menghantui saya ketika masih di bandara Eltari Kupang, pada 25 Oktober 2022 itu,
sembari mengangkut barang-barang bagasi ke luar arah luar. Bagaimana tidak,
uang di saku tersisa Rp. 50.000, belum lagi di ATM sepertinya hanya Rp.
130.000. Jika gaji hari itu tak masuk, bisa dipastikan uang itu hanya digunakan
untuk biaya angkut taksi dan makan siang. Syukur Ahlamdulillah, pada saat saya
ke ATM, dana di rekening bertambah, karena tepat pada tanggal itu adalah jadwal
gajian pertama saya di Yayasan WWF Indonesia, ditambah lagi dapat kiriman dana
kompensasi dari YKAN. Karena itu saya mengirimi beberapa teman yang saya utangi
sebelumnya. Hingga utang-utang dalam persiapan dan perjalanan dari Berau ke
Makassar, serta biaya hidup di Makassar beberapa hari terlunasi. Uang yang
tersisa akan kami gunakan sebaik-baiknya untuk berlibur di Kupang, dan menata
hidup baru ketika tiba di Alor.
Di Bandara Ngurah Rai sebelumnya,
kami sempat berfoto dengan ogoh-ogoh, serta beragam lukisan-lukisan khas bali,
yang di dalamnya ada monster bergigi panjang dan tubuh yang bermantelkan
dedaunan pisang. Ahimsa tampak senang, lantaran ogoh-ogoh adalah tontotan vaporitnya
di kanal youtube. Di Bandara kota Denpasar itu pula kami memperoleh oleh-oleh
dari Rahmat, adik kandung saya yang sudah menetap lama di kota dewata itu
sebagai pegawai Bea Cukai.
Kami pun memesan taksi dengan
hati gembira. Kami akan menempuh suatu jalan panjang perjuangan baru. Menatap
pohon-pohon Flamboyan yang masih mekar kemerahan, ketika melewati satu jembatan
sebagai batas kota kami menatap ke lembah-lembahnya yang dalam. Pohon lontar
terlihat dimana-mana, batu-batu kelabu melekat di tanah-tanah berdebu.
Serabutan tanaman perdu tumbuh kerdil di padang-padang kota. Kami melintasi
jalan-jalan lebar dan mulus, kota dengan minim kemacetan. Kami melihat
tugu-tugu dan slogan-slogan. Usneno Nokan Kit/Tuhan memberkati kita, seakan
memagari tugu Merpati.
Kami menuju hotel Aston Kupang,
ternyata terletak di lokasi paling cantik di kota karang (city of coral)
kamar hotel kami pun menghadap laut, di lantai delapan dengan kaca jendela yang
lapang. Kami bisa memandang orang-orang berlari-lari di teras lebar Kelapa
Lima. Remaja-remaja sedang memesan bakso di pinggir jalan, melihat perahu yang
bergoyang-goyang tak jauh dari bangunan khas rote, dengan atap serabut Jerami.
Sebelum tidur-tidur di kamar
hotel, kami sempat lama duduk-duduk di beranda, karena ternyata pihak travel
belum memesankan kami kamar hotel. Saya pun memastikan Kembali ke travel untuk
memesankan saja terlebih dahulu di Hotel Aston selama dua hari, satu hari
sisanya terserah di hotel mana saja. Beberapa hari itu, hotel dipenuhi peserta
lomba paduan suara gereja Katolik se Indonesia. Makanya, pihak travel tidak
bisa memesankan tiket untuk tiga hari full di hotel Aston.
Sore harinya, kami berjalan-jalan
ke luar, kami begitu kelaparan setelah berjam-jam dari bandara ke bandara. Kami
pun mencoba sebuah restoran agak mewah yang terletak dekat hotel, yaitu Taman
Laut Handayani. Jaraknya hanya sekitar 50 meter. Kami pun makan sepuasnya,
memesan sei sapi, ikan bakar, kekerangan, dan sayur mayur, jus jeruk dan air
kelapa. Restoran ini menghadap ke laut luas. Jadi kami dapat menikmati hidangan
sambil memandangi laut. kepuasan itu pun harus dibayar mahal, biaya makan kami
saat itu menghampiri Rp. 400 ribu.
Setelah makan, kami jalan-jalan
santai di area Kelapa Lima. Sambil mendengar rapat koordinasi tim marine WWF
Indonesia, saya menemani ahimsa melihat-lihat rumput laut liar di pantai. Aroma
rumput laut cukup menyengat, seperti sengatan matahari.
Malam hari pertama itu, saya
diajak ngopi oleh Miko di café Paradox. Miko adalah pimpinan Lesser Sunda
Seascafe (LSS) Yayasan WWF Indonesia, yang berdomisili di Kota Kupang. Kami
ngobrol banyak malam itu. Lebih ke refleksi pengalaman satu tahun terakhir di
Berau. Miko memberi jaminan bahwa Alor lebih damai dan kocak. Saya yakin juga
akan hal itu, sebab berdasarkan pengalaman, pertemanan dan jalinan komunikasi
di WWF Indonesia sebelumnya waktu masih bekerja di Sulawesi Selatan, seakan tak
ada hambatan. Pertemuan malam itu sebagai penanda waktu hubungan yang
harapannya akan berjalan baik, demi tujuan yang sama, yaitu perbaikan lingkungan
pesisir dan masyarakatnya.
Hampir tengah malam saya tiba di kamar
hotel, Ahimsa dan Ashim sudah tertidur. Kedua bocah ini sudah menjadi bocah-bocah
hotel sejak kepulangannya dari Berau. Mereka tampaknya menikmati pindah dari
kamar yang satu ke kamar yang lain, menginap di Bontang, kemudian Balikpapan,
kemudian di kota Kupang ini.
Besoknya, tanggal 26 Oktober
2022, kami mencari tempat makan enak lagi, mulanya kami ke café Petir, hanya
saja tampak panas karena tempat terbuka dan tak ada orang. Olehnya itu, kami
memilih ke Subasuka, lagi-lagi berada dalam suasana pantai. Kami pun makan
besar lagi, ikan baronang berukuran besar, sayur, dan lauk berupa tempe tahu
kami pesan. Ahimsa senang memakan ikan bakar, ia memang yang meminta menu itu. Sehabis
menikmati ikan, kami menuju pantai, di sana ada Cana Capel, gereja mini yang
berbentuk segi tiga. Secara arsitektual tampak cantik. Riyami mengambil pose di
situ.
Habis itu, saya mengunjungi Bang Farhan di Timur Café, yang lokasinya tak jauh dari Universitas Muhammadiyah Kupang. Bang Farhan ini tokoh Kahmi Kupang, cafenya tempat kumpul anak-anak muda yang kepengen belajar atau banyak mendengar tentang cerita-cerita Farhan atau alumi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang ada di Kota Kupang. Saat itu saya bercerita tentang rencana berdomisili di Kab. Alor untuk pendampingan petani rumput laut. Dia senang mendengarnya. Kemudian tema berganti ke tema HMI. Dia ternyata lama di Jakarta untuk menjadi pengurus besar HMI, dan saat ini focus pada pengembangan usaha dan pendampingan adik-adik HMI di kota Kupang.
Dari café Timur saya melanjutkan
perjalanan ke kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kota Kupang.
Bertemu dengan Faisal, staf DKP, dan juga Ibu Stefani, kepala DKP yang baru.
Saat itu masih dalam rangka kenal-kenalan, sehingga maksud dan tujuan tidak
dalam, hanya menjelaskan kalau saya akan bertugas di Kab. Alor dan sepertinya
akan lama di Alor. Ibu Stefani menyambut baik, dan mengatakan bahwa orang timur/Alor
itu baik-baik, dan Alor itu cantik. Saya pun meminta untuk pamit.
Dalam perjalanan pulang, saya
memberanikan diri untuk berjalan kaki, yang dimulai dari Jalan Basuki Rahmat,
Kec. Maulafa, berbelok ke arah jalan Soeharto, melewati toko-toko, rumah sakit
Universitas Nusa Cendana, warung-warung penjaja nasi babi bakar di pinggir
jalan. Saya menikmati betul jalan-jalan di kota kupang ini, melihat taman-taman
kota yang membelah kota, saya menyeberangi taman itu untuk berjalan ke arah kantor
gubernur NTT, dimana terlintas juga halaman luas rumah jabatan gubernur NTT. Menjelang
magrib, saya singgah sebentar untuk menikmati bubur kacang ijo di tepi jalan El
Tari. Harganya tak mahal, Cuma Rp. 8000, sudah cukup membuat dahaga dan energi Kembali
pulih. Saat itu, waktu tempuh perjalanan sekitar tiga jam, kaki ku betul-betul
pegal setiba di kamar hotel. Alhamdulillah, saya merasa betul-betul sehat malam
itu.
Besoknya, Kamis, 27 Oktober 2022,
kami pun pindah hotel, yaitu penginapan murah di dekat bandara El Tari. Pada seharian
itu kami menyewa mobil untuk berwisata ke gua Kristal, di Desa Bolok, Kec.
Kupang Barat. Waktu tempuh sekitar 1 jam. Dalam perjalanan itu, santap siang
kami di warung pinggir jalan, tepatnya di Rumah Makan Ikan Kuah Asam Tenau.
Saat berada di sana, terlihat kursi-kursi sudah penuh. Kami pun mendapat jatah
kursi paling ujung. Bersama Pak Supir, kami memesan tiga porsi ikan kuah asam. Betul-betul
segar dan mengenyangkan. Tidak salah memilih warung ini untuk makan, akhirnya
kami pun melaju ke Gua kristal. Di Gua ini, kami diantar oleh anak berusia 10
tahun. Ternyata dari mulut gua ke bawah harus turun sekitar 20 meter dengan
menginjak batu-batu gunung yang agak licin. Cukup berbahaya sepertinya, apalagi
saat itu saya sedang menggendong Ashim, sedangkan Ahimsa digendong oleh Pak Supir.
Setiba di bawah, tempat orang menyegarkan diri dengan air gua, kaki saya
gemetar, saya tidak yakin bisa manjat lagi ke atas. Tapi dengan istirahat
sebentar, menikmati air segar yang dibasuhkan ke muka, pikiran Kembali jernih. Sudah
ada pengalaman baru kami lagi di Pulau Timor ini.
Sepulang dari Gua Kristal, saya tidak langsung pulang, tapi nongkrong kembali di Paradox, saat itu saya janjian dengan Kak Ridwan Likur dan Yusuf Oang, dua-duanya orang Alor. Kami pun bertemu dan ngobrol panjang. Tema pembicaraan saat itu lebih ke korban-korban Kapal Cepat Cantika Kupang Alor, yang pada 24 Oktober lalu terbakar dan tenggelam, menelan belasan korban, sehingga cukup banyak warga Alor yang berduka di hari-hari itu.
0 komentar:
Posting Komentar