Malam yang pengap, pukul 20.00 wita, 21 Juni 2023. Kami akhirnya menyentuhkan kaki di Pelabuhan Lewoleba, Pulau Lembata. Perut melagukan keroncong dan anak-anak kian rewel. Tak sabar rasanya menikmati hembusan AC di homestay kecil di pinggir kota. Kami pun memilih homestay Chendrik sebagai tempat istirahat selama 3 hari, sembari menunggu kapal Pelni Bukit Siguntang tujuan Makassar.
Kami keluar pelabuhan, jalur dua arah yang cukup lebar, ada kios-kios kecil di pinggir jalan, cafe besar yang berada di tepi pantai, gerobak-gerobak penjaja gorengan, warung bandung di perempatan, lalu lapangan yang di malam hari penuh dengan cahaya, kios penjaja kopi dan minuman dingin, odong-odong dan wahana mandi bola. Kemudian ruko-ruko besar, ada penjual bahan baku grosir, ada bengkel, kemudian hotel, kemudian lapangan yang berada di pinggir laut, terdapat patung besar seorang jendral polisi Anton ENga Tifaona di pusat percabangan jalan.
Di kota Lewoleba ini, saya mengenang Om Maxi Wolor, ayah dari adik muda junior dari Koran Kampus identitas, Fransiska Sabu Wolor. Sekian tahun yang lalu, Fransiska bilang kalau ayahnya ada buku memoar, mendengar itu saya cukup penasaran, saya mintalah ke Frans. Cuma katanya, stoknya tinggal beberapa. Selang beberapa waktu, Buku Gerundelan Peristiwa dibaca oleh Om Maxi, berkatalah ia ke anaknya, “Nona, buku temanmu ini isinya terdengar seperti khotbah Pastor”. Jadilah saya diberi buku oleh Om Max, yang judulnya ‘Nyawa Terancam di Jalan Lurus, Memoar Jurnalis Maxi Wolor. Sebelumnya, saya pernah bertemu Om Max jauh sekian tahun lalu di kediamannya di Antang. Saat itu kami menikmati jamuan malam natal di rumah Fransiska.
Lewoleba terlihat lebih lengkap dari Kalabahi, tapi ada kesan yang sulit saya bahasakan, semacam ada gerowong, ada lubang besar yang hanya berisi angin. Mungkin saya terbiasa dengan jedag-jedug angkot kota, musik remix yang terus menerus memancing bulu bulu bergetar.
Pada 1977, Om Maxi tiba di Pelabuhan Cappa Ujung Pare-Pare, setelah menempuh perjalanan panjang menggunakan kapal Huria 10. Kapal ini berlayar dari Nunukan, Pare-Pare, Flores Timur. Om Maxi Pun meninggalkan Lewoleba menumpang Kapal Motor ke Waiwerang, Adonara. Dari Waiwerang ini terlihat hiruk-pikuk banyak orang yang berasal dari Adonara, Lembata, Solor, dan Flores Timur. Mereka umumnya pekerja migran yang hendak menjadi tenaga kerja di Malaysia via Nunukan. Sesampai di Pare-Pare, ternyata hanya dia sendiri yang bertujuan Makassar, rata-rata lanjut ke Nunukan.
Saat itu, begitu banyak orang Lembata yang mengadu nasib di Malaysia. Om Maxi menyebutnya ‘Demam Malaysia melanda Flores Timur’. Cerita-cerita hebat tentang negeri jiran terdengar hampir tiap hari. Belum lagi mantan pekerja migran membuat pikiran orang Lembata meleleh. Jaket tebal, celana jeans, sepatu kulit, kacamata hitam, dan rambut gondrong bercahaya. Ditambah lagi jam tangan dan gigi emas, sembari menenteng tape recorder. Jika begitu, mereka pun dikerumuni oleh anak-anak kecil untuk ikut menari-nari dihantam suara dentum musik. Gelombang migran ini lantaran sulitnya menahan godaan untuk hidup lebih baik, yang jika tinggal menetap di kampung, barangkali sulit membeli barang-barang serupa itu.
Ia pun melihat Kota Pare-Pare demikian kagum, di Pare-Pare semua ada, jenis makanan dan minuman, jalanan pun telah diaspal dengan mulus, sangat berbeda dengan Lembata, yang saat itu hanya ada Kantor Pembantu Lembata, Kompleks Pastoran, Rumah Sakit Bukit, Rumah Sakit Kusta, dan Asrama Susteran. Di bawah Pohon-pohon asam ada pasar, yang jika hujan berlarut-larut digenangi air bak kubangan kerbau. Pada malam hari waktu itu, Lembata gelap gulita, karena belum ada lampu jalan. Saat ia singgah sebentar di warung pinggir jalan kotamadya itu, ia tergiur oleh kue Pawa-bakpao, karena saking nikmatnya, tak sengaja ia ikut menelan kertas putih alas bakpao. Hehe..
Esoknya kami menyusuri sepotong kota dengan meminjam motor pemilik homestay. Kami membawa cucian ke laundry, kemudian ke pasar pada yang cukup jauh di pinggir kota. Terlihat banyak jenis biji-bijian, juga beragam jenis ikan yang sudah dikeringkan. Di pasar ini Ahimsa membeli Toya-toya, tiruan merek mobil bus Tayo-Tayo. Saya pun membeli sendal tiruan Spengler. Kami pun lekas pulang, dengan singgah sebentar di rumah makan jawa, memesan nasi ayam, perkedel dan tempe. Malamnya, kami menyantap coto Makassar, sayang saja karena rasanya tak sesuai harapan, padahal sudah ngidam coto berbulan-bulan. Meski begitu, saya cukup senang ngobrol dengan pemilik warung coto yang juga berasal dari daratan Sulawesi.
Sore, 23 Juni 2023, saya bertemu dengan senior saya di kampus yang Bernama Rivai Apin, di sebuah taman kota. Dalam buku Om Max, lapangan itu disebut sebagai Swaolsa, yang berarti milik bersama. Di lapangan ini ada monument tarian khas Lamaholot, dolo-dolo, di monument itu tertulis, “Satu Lembata, Satu NTT, Satu Indonesia”.
Om Max punya banyak kenangan tentang lapangan itu. Tahun 1976, seorang Pembantu Bupati Bernama Soemarmo terbakar di lapangan, karena ia membelah priuk yang berisi minyak tanah. Minyak itu tampias ke kemejanya dan api menyambar, terbakar lah, Alhamdulillah karena ia dengan segera mendapatkan pertolongan. Di lapangan itu juga ada kejadian pembunuhan, seorang pria Bernama Philipus mati dikeroyok orang, karena Philipus tiba-tiba saja membacok orang-orang di lapangan.
Hari berikutnya, kami dipinjamkan mobil oleh Om Jhon, sebuah mobil Pick up, jalan-jalan lah kami ke tempat wisata terdekat, yaitu Bukit Cinta Lembata (BCL) dan Bukit Doa untuk melihat patung St. Petrus dan Bunda Maria. Dari cerita Fransiska, dulu beberapa anak muda menahan Om Max dan istri yang hendak berjualan di Wolor Pass Bukit Cinta Lembata. Om Maxi emosi, “Eh adek, kau tahu siapa yang punya ini tanah?” anak muda itu pun bersungut sungut menyilahkan saja mereka lewat.
Om Maxi sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Lembata, ia cukup dikenal orang Lembata, apalagi kalangan wartawan, tak ada yang tak kenal. Juni lalu, saya sempat ikut Festival dugong, kebetulan saya bertemu seorang wartawan asal Lembata, saya menyebut nama Om Max, dia bilang, ah itu senior kami.
Cerita tentang wartawan, Om Maxi dari sejak mahasiswa di akedemi pelayaran menjadi wartawan muda di Pedoman Rakyat, setelahnya ia pernah berkarir di Harian Surya dan Kupang Pos. Om Maxi penasaran bagaimana cara kerja wartawan, saat masih tinggal di Jl Onta, Mamajang, yang sebelumnya di Asrama Mattoanging dengan menumpang nginap di rumah tentara yang Bernama Joseph Masi, ia biasa membaca koran Pedoman Rakyat yang dibawa tetangganya. Om Maxi pun ikut seleksi wartawan, saat diwawancara, mengapa mau jadi wartawan, ia hanya bilang, “mau tahu bagaimana cara kerja wartawan, suatu peristiwa yang terjadi kemarin, hari ini sudah bisa dibaca di koran”. Tahu-tahunya ia diterima. Jadilah ia wartawan, yang memperoleh pelatihan jurnalistik dan bertugas untuk meliput berita-berita kriminal di pos-pos polisi.
Pengalaman jurnalis Om Max bejibun, ia pernah bertugas sebagai wartawan sambil magang di Pelni Kupang untuk penyelesaian studi Akademi Pelayaran. Gara-gara itu, suatu ketika ada kapal tongkang pengangkut sapi yang bekerja hingga malam. Tiba-tiba tali penghubung perahu tongkang dengan perahu motor terlepas, hanyutlah perahu itu bersama beberapa buruh Pelabuhan di atasnya. Paniklah jajaran Pelni, pimpinannya agak takut mencari, karena gelombang laut juga tinggi, kata bos-nya, “adek saja yang arahkan pencarian”, jadilah Max muda mengarahkan kapal menggunakan insting, di tengah laut ia mencium bau tahi sapi, wah, akhirnya kapal itu ditemukan dan digiring ke Pelabuhan.
Sewaktu bertugas di Ambon, ia bersama wartawan Kompas berhadapan dengan Kaditlantas Polda Maluku di Ambon, untuk konfirmasi kelengkapan surat kendaraan bermotor. Sehabis wawancara, pejabat polisi itu memberi amplop. Ia dan temannya tak mau menerima amplop itu. Tapi mereka berdebat dan akhirnya Max mengalah, tapi setelah itu ia ke kantor pos untuk mengembalikan Kembali amplop itu melalui wesel. Seminggu kemudian, Kaditlantas mengundang semua wartawan di Ambon untuk jump apers di Rumah Makan Nelayan, “Gara-gara kamu orang menolak ampop, kita diundang makan ikan,” seloroh kawan wartawannya.
Di waktu-waktu itu juga dia sering ditugaskan ke Ternate yang saat itu masih Kabupaten Maluku Utara, di atas Kapal Tidar ia nongkrong di caferia yang kebetulan duduk juga dua orang cewek asal ternate, usut punya usut, keduanya adalah pemain voli asal Ternate yang pulang balik setelah pertandingan di Ambon. Tahu-Tahu, lantaran sering bertemu, salah satu dari dua cewek itu menjadi sahabat sejati Om Max, istri dan mama dari Fransiska Sabuwolor.
Tentang gadis voli ini, ada satu cerita. Saat itu Om Max berhari-hari nginap di hotel untuk liputan. Sampai-sampai di kekurangan uang untuk bayar hotel. Saat itu belum ada telepon genggam untuk hubungi kawan untuk bantuan cepat, itu pun kalau ditelpon melalui telepon umum belum tentu diterima secara langsung. setelah dag dia dug berfikir, Om Max akhirnya menelpon gadis Voli. Dengan jaminan nanti ketika balik kembali ke Ternate akan kembalikan uang pinjaman. Beruntung, gadis Voli menyanggupi.
Sewaktu di Lewoleba, saya bersama istri dan anak-anak menyempatkan waktu berkunjung ke Desa Bowur, sekitar setengah jam dari Lewoleba, melewati bukit-bukit gunung gersang dan kanan laut dimana menjulang Gunung Ile Ape. Saya bertemu dengan Ibu Tia, istri Almarhum Max. Mama Tia tinggal serumah dengan cucunya yang bernama Al. Kami diberi makan ikan dan terong goreng yang cukup diambil di kebun samping rumah. Ibu Tia dan Om Max membangun rumah di tanah keluarga, sayang juga meninggalkan rumah itu untuk Kembali menetap di Makassar, sebab, siapa lagi yang merawat kuburan Om Max jika ia tak tinggal di Bowur. Haduh, repot juga yah.. Selamat Jalan Om, semoga tenang di sana.
0 komentar:
Posting Komentar