12-16 Juni 2023 lalu, Alor mengadakan pesta, dengan nama Alor Expo. Menurutku ini adalah pesta besar dan penting. Puluhan stan berdinding bambu dan beratap alang-alang didirikan mengelilingi lapangan Kalabahi. Di bagunan itu, masing-masing kecamatan menampilkan dirinya yang terbaik, sebagai ekspresi budaya komunitas yang berputar di dalamnya. Sehari sebelumnya, saya menyaksikan orang-orang yang berasal dari banyak kampung sedang bahu membahu membangun ‘rumah’, ada yang manjat tangga untuk memaku atap dan ada yang mengikat balok. Suasana tampak riang gembira.
Sewaktu pembukaan, terlihat belasan pemuda-pemudi menampilkan secara berantai tarian nusantara. Sepertinya mereka berasal anak-anak sini, terlihat dari raut wajah dan warna kulit, yang daging dan tulangnya sinset. Sepertinya tak kurang dari sepuluh tarian nusantara diperagakan dengan lincah, laki-laki dan perempuan, satu persatu, mengikuti irama musik yang berganti-ganti. Melihat itu, saya menjadi percaya, Alor ini tak kekurangan bakat.
Apalagi saat masing-masing kecamatan yang diwakili 17 kecamatan, tampil satu persatu secara singkat di karpet merah. Walau masing-masing hanya dikasih waktu lima menit, tiap-tiap komunitas menunjukkan parasnya, anak panah diacungkan ke hadapan penonton, kaki-kaki tua para penari cakalele yang lincah begerak ke sana kemari dengan ekspresi patah-patah, sedangkan mama-mama melompat-lompat dengan tangan meninju ke atas. Begitu banyak variasi adegan, ada sebaris remaja yang jalan membungkuk sebaris, kaki melangkah satu persatu sembari kepala lenggak lenggok, ada juga yang langsung melingkar dan bersyair bersama dalam lego-lego atau bersyair dalam satu lingkaran sambil merangkul satu sama lain. suara menggema disertai Langkah-langkah kaki yang pelan. Amin Djobo selaku Bupati Alor, turut ikut dalam Lego-lego.
Betul, momen hari-hari itu, malam-malam saya melihat ekspresi dari beragam latar, asal usul budaya, rasa-rasanya seperti menemukan kembali sesuatu yang hilang atau barangkali, sesuatu itu sudah menjadi komoditas, sehingga tampak sebagai alat tukar. Di Kota Kenari ini, saya memiliki keyakinan, ekspresi ini muncul apa adanya, sebab ia merengkuh hidup sehari-hari Masyarakat Alor. Ia ada bersama berkembangnya komunitas-komunitas di Alor.
Soal komunitas ini, hal-hal purba yang kadang ditafsirkan atau dimunculkan oleh karena kepentingan lain, seperti politik, seperti dagang. Anggaplah tari-tarian itu sebagai bentuk kasar dari jati diri atau kita kenalnya sebagai identitas, yang jika kita kenali, atau kita merasa memiliki, menjadi lebih hidup, kita ada di dalam dan bersama budaya. Yang kira-kiranya dapat berdampak baik, sebab ada keterikatan emosional, ada hubungan yang dapat ditarik, serta ada niat yang kuat untuk berkorban atau minimal berkontribusi.
Namun, di sisi yang lain, hubungan yang kuat pada nilai, pada etnik, pada suatu bentuk seni yang merupakan corak suatu identitas, dapat menimbulkan cinta yang mendorong pada identifkasi identitas Tunggal, dengan mengatakan, Saya Abui, Saya Aboi, Saya Kabola, Saya Baranusa. Karena itu, identias-identitas lain dapat tenggelam, misalnya identitasnya sebagai Kristen atau sebagai Islam, atau sebagai penduduk Alor, atau sebagai Pegawai Negeri, sebagai pecinta laut, sebagai nelayan, sebagai petani.
Sebab, setiap orang memiliki lapis-lapis identitas, misalnya saja saya sendiri sebagai orang Bugis yang kurang begitu baik berbahasa bugis, agama Islam, organisasi Muhammadiyah tapi ke NU-NU-an, mencintai Ahlul Bait dan memilih gaya hidup santai dalam menjalankan ajaran agama, yang saat ini menggali Pelajaran tentang Sejarah Kristen Alor, pegiat LSM lingkungan, latar belakang kampus Unhas, seorang penulis kisah, seorang ayah, pecinta buku, dan lain-lain dan lain-lain.
Menurut Amartya Sen, “banyak konflik dan kekejaman di dunia ini dipupuk melalui ilusi tentang adanya sebuah identitas Tunggal dan tanpa pilihan”. Bahkan, ilusi identitas Tunggal ini, misalnya saya sebagai Islam atau Pembela Islam, dapat mengalahkan rasa simpati dan kebaikan manusiawi yang kita miliki. Kerancuan ini begitu berbahaya jika dihembuskan, kita mengenal konflik Ambon-Poso, kita mengenal lebih jauh konflik Islam-Hindu di India, kita juga mengenal banyaknya diskriminasi kepada etnis China. Hal-hal ini pun makin terlihat dalam 20 tahun terakhir, sejak merebaknya teroris berbasis agama Islam, yang melakukan pengeboman-pengeboman atas dasar membela agama.
Melihat Alor Expo, dengan pagelaran-pagelaran budaya etnik, membuka wawasan kita pada keberagaman etnik Kab. Alor. Di sini terdapat pemikiran otentik dari Amartya Sen mengenai kebebasan budaya. Saya berfikir, ide Alor Expo ini sangat baik, kenapa, hal ini memberikan kesempatan kepada warga Alor untuk bebas mengembangkan budayanya masing-masing. Kebebasan Budaya secara pengertian berbeda dengan istilah menjaga/mempertahankan warisan budaya.
Kebebasan, dalam artian adanya pengertian tentang hak-hak setiap orang untuk tampil atau setiap komunitas, tanpa adanya intervensi atau penekanan-penekanan. Setiap ekspresi bebas untuk ada dengan menyerap perkembangan ataupun dengan corak-corak terdahulunya. Asumsi ini juga memberikan jaminan kepada pihak-pihak lain untuk berekspresi secara lain, misalnya orang Bugis dengan menampilkan kebiasaan-kebiasaan Bugis-Makassarnya, atau orang Jawa dengan Bahasa dan adat Jawa-nya, begitu pula Bali, pun juga bagi komunitas-komunitas unik, misalnya kelompok-kelompok transgender ataupun kelompok baru yang betul-betul lain dari ekspresi-ekspresi yang lalu-lalu.
Lomba Lego-Lego (tarian) yang diadakan oleh Pemerintah Alor, yang sebelumnya diinisiasi oleh Bapak Ansgerius Takalapeta ini sebagai ide yang betul-betul cemerlang. Masing-masing kecamatan berkompetisi secara sehat untuk memperlihatkan keunikannya, ekspresi nilai-nilainya. Karena itu, para penonton, atau pun peserta lomba sendiri dapat mendalami kebudayaannya masing-masing, sekaligus dapat menikmati atau juga memahami kebudayaan-kebudayaan yang lain. Di sini ada saling serap, saling belajar satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, sehingga dapat ditarik sisi-sisi yang sama dan sisi-sisi yang berbeda. Hingga ditemukan ujung-ujungnya, bahwa setiap kebudayaan memiliki akar yang sama. Begitu akhirnya ditemukan kesepahaman bahwa perbedaan itu adalah Rahmat, perbedaan itu memperkaya satu sama lain. Seperti semboyan suku Abui “Tara Miti Tomi Nuku”, berarti walaupun berbeda posisi duduk/kedudukan, status sosial, tetap dalam satu hati.
Itulah sebabnya, Alor hingga saat ini tidak begitu terancam oleh radikalisasi identitas-identitas tertentu, seperti radikalisasi agama. Beberapa kawan Alor yang saya ajak ngobrol, membenarkan kalau orang Alor memilih untuk kompromi-kompromi terhadap perbedaan-perbedaan, dan tidak begitu memusingkan perbedaan agama. Orang lebih peduli kalau kita itu dari suku mana, keluarganya siapa, kenal dengan ini, kenal dengan itu, dan terus menerus mencari titik temu. Sehingga, perbedaan-perbedaan pendapat, pemikiran, dan juga penderitaan yang diperoleh akibat pengambilan keputusan orang-orang tertentu, selalu dicerna terlebih dahulu dalam kerangka kekeluargaan dan kebudayaan.
Kemudian, dengan semangat itu pula, harapannya, setiap identitas dan ekspresi kebudayaan ini dapat beradaptasi terhadap tuntutan-tuntutan baru, yang kian kompleks dari hari ke hari.
0 komentar:
Posting Komentar