Amran Santoso tiba di Pantai Kokar pada September 1999, pasca referendum kemerdekaan Timor Timur. Ia datang bersama nelayan dan keluarga etnik Buton dalam empat perahu dengan menegakkan bendera merah putih di buritan perahu. “Saat itu, laut berbau bangkai, banyak mayat di lautan,” ujar Amran yang biasa disapa Bapa Lulu, getir. Jika tak menegakkan bendera, ia barangkali sudah tewas dibrondong peluru militer Indonesia. Kapal-kapal militer sangat banyak di lautan.
Di hari-hari itu, manusia seakan-akan tak ada harga, Bapa Lulu melihat mayat dimana-mana, baik korban dari pro kemerdekaan maupun pro integrasi. “Kasihan, sebab yang baku bunuh adalah orang-orang mereka sendiri,” kata Amran. Ia pun, saat situasi mulai memanas, mulai hati-hati dalam bertindak, bagaimana tidak, ia berada di kampung pesisir yang umumnya pro kemerdekaan. Ia bersama para nelayan buton, setelah 7 tahun mencari hidup menangkap ikan, tiba-tiba terjebak dalam situasi konflik. Mau tidak mau ia harus berpartisipasi.
“Saat itu, saya juga ikut belajar merakit senjata. Kita tak boleh dekat dengan aparat, kalau ketahuan bisa dibunuh,” kata Amran lagi. Pengalaman masa mudanya ini demikian membekas, karena itu, ia tak ingin situasinya seperti itu, Amran ingin hidup damai. Penyebab konflik ini katanya lagi, sangat kompleks, mulanya dari ketidaksengajaan dua partai politik Timor Timur (Timor Lorosa’e-bahasa Tetun) yang meminta bantuan ke pemerintah Kupang, untuk melawan tiga partai lain di sana. Akhirnya mereka dibantu oleh pemerintah Indonesia, jadilah kudeta terhadap pemerintahan yang didukung oleh Portugal dan berintegrasilah dengan Indonesia pada 1976. Berikutnya, karena ikatan emosi antara Timtim dan Indonesia, tidak begitu terlalu, Timtim masuk jadi provinsi melalui suatu paksaan politik. Bapa Lulu mengakui, cukup banyak warga Timtim yang sudah nyaman dengan pemerintahan Indonesia, mulai dari penggunaan bahasa hingga ekonomi yang mulai membaik, serta fasilitas seperti sekolah dan rumah sakit. Meski begitu, saat referendum diumumkan lebih dari 70% warga memilih untuk berpisah dari NKRI. Menarik satu ulasan dari Vincent Bevins, dalam “Metode Jakarta” menyebut penyerobotan pemerintah Orde Baru ke Timor Lorosa’e, lebih karena di sana bergumul banyak orang orang kiri. Saat itu, sentimen perang dingin masih bergaung.
Tema perbincangan ini bermula, ketika saya ngobrol-ngobrol dengan nelayan kemarin, 6 Oktober 2023. Pasca Sholat Jumat, saya tengkurap di bale-bale bambu depan rumah Pak Hairul bersama Yanto Zainudin, Pak Amran tiba-tiba datang mengajak makan di rumahnya. Sebelum Sholat, sebenarnya sudah ada sesi diskusi antara nelayan Kelompok Buton dengan seorang kawan yang juga peneliti, yaitu Alexandra Maheswari Waskita yang mengajak omong-omong tentang kerentanan dan adaptasi Masyarakat pesisir terkait perubahan iklim dan lingkungan terumbu karang.
Entah bagaimana perbincangan panjang pasca menyantap kari ayam dan ikan tembang goreng itu berbelok, hingga saya menjelaskan kisah-kisah mistik saat singgah di Kaledupa, Wakatobi. Saat itu, saya merasa dibuntuti kuntilanak saat melewati-memotong hutan lebat di pulau Kaledupa. Amran pun menyambut, dia juga merasakan hal yang sama waktu menetap di Timtim, apalagi melewati kuburan massal Operasi Seroja, tahun 1976 atau saat melintasi kuburan massal pembantaian Santa Cruz tahun 1991. Katanya, itu karena mahluk-mahluk halus yang mati tak jelas.
Nelayan-nelayan Buton tiba selamat dan langsung disambut oleh warga dan pemerintah Alor, yang memang menerima para pengungsi. Mereka membawa barang seadanya, bagaimana tidak, rumah mereka sudah rata dengan tanah. Selain itu, barang-barang sudah dijarah. “saat itu, barang-barang tumpah di pelabuhan, televisi, kulkas, motor dan lain-lain bertebaran,” kata Amran.
Himpunan nelayan ini pun bermukim di Pantai Kokar, yang saat itu budaya melautnya masih betul-betul tradisional. Saat itu, jaring nelayan masih memakai tali senar. Kemudian, nelayan buton pun memperkenalkan jala rumpon atau biasa juga disebut Jala Lompo, yang menggunakan benang. “Kelompok etnik yang paham tentang rumpon ini hanya dua, yaitu etnik Mandar dan Buton,” akunya.
Orang-orang lokal Kokar tertawa melihat model jaring yang bermata besar, mana bisa ikan tertangkap, kata orang-orang. Tapi, nelayan-nelayan Buton ini, yang saat ini cukup banyak di Kokar, terbagi dalam beberapa kelompok, seperti Kelompok Buton yang juga diketuai oleh Amran, dan Kelompok Kuda Laut yang diketuai oleh Khairul. Lambat laun, orang melihat hasilnya, mereka membawa ikan hingga 200-250 bak ikan layang dan tongkol, dengan bantuan rumpon kecil yang diapungkannya di Tengah laut, yang jaraknya 4-5 mil dari Pantai. Ramai-ramailah nelayan lokal yang pada dasarnya dari mana-mana, seperti Alor Kecil, Alor Besar, Dulolong, Kabir, Probur Pulau Buaya hingga orang Flores tinggal di situ, Sebagian dari mereka mulai membuat jala rumpon. Terbentuklah satuan-satuan unit kapal, terdiri dari bos, nakhoda/kapten/juragan, dan anak buah kapal. Satu unit tangkap dapat terdiri 10-12 orang.
Bapa Lulu dkk tidak sekadar mengajarkan cara membuat jala rumpon (roppong) dan rumponnya, tapi juga mengajar banyak nelayan-nelayan lokal untuk memancing ikan dasar. Di awal-awal tinggal di Alor, dan juga sesekali di tahun-tahun terakhir, Amran rutin memancing ikan dasar, hingga ke perairan Alor Timor di Maritaing. Ikan karang di sana melimpah, kakap kerapu, baronang, hingga kakap yang ukurannya 1 meter lebih yang dikenal dengan nama ikan rubi (ruby snapper). Saat itu, Di Maritaing, terbilang tak banyak orang lokal menangkap ikan. Mereka umumnya takut melaut, dan menganggap laut dihuni oleh para arwah dan dianggap keramat. Lantas, saya bertanya, seperti apa cara Bapa Lulu mengatasi daerah-daerah keramat? “Kita meminta izin terlebih dahulu, dan kalau niat kita baik, pasti tidak akan diganggu,” katanya. Bapa Lulu paling senang memancing ikan dasar, di samping karena minim resiko. Coba bayangkan bagi para nelayan pancing tuna dan cakalang, mereka harus berhadapan dengan gelombang, apalagi ketika mereka mengejar lumba-lumba. Biasanya penanda keberadaan tuna jika banyak lumba-lumba di perairan. Tapi, menangkap ikan karang ada tekniknya juga, tak jarang orang gagal memancing karena tidak memahami teknik dan situasi perairan. Hal ini diakui oleh Bapak Udin, yang juga ikut berbincang, kalau ia juga belajar memancing dari Bapa Lulu.
Aktivitas memancing ikan karang, para pelaku nelayan rumpon dan nelayan pancing tuna dan cakalang ini pun saat ini sebagai alternatif saja. Mereka ke Maritaing, yang jarak tempuh bisa hingga 6 jam dari Pantai Kokar hanya pada saat mereka kurang mendapat ikan melalui jala rumpon dan kebetulan tuna dan cakalang lagi tidak musim. Biasanya, mereka ke Maritaing pada Maret hingga Mei. Mereka bisa 2-3 hari di laut. Ternyata, kebiasaan memancing di Maritaing ini sudah menjadi kebiasaan sejak lama oleh Bapa Lulu, sewaktu masih di Timor Lorosa’e, ia sudah bolak balik Dili-Maritaing. “Justru, lebih dekat Timtim-Maritaing, dibanding Kokar-Maritaing, jarak tempuh hanya 15 mil,” kata Bapa Lulu. Sewaktu saya berkunjung ke Maritaing, dekat Patung Jenderal Sudirman, saya melihat bentang pulau Timor di seberang.
Bapa Lulu atau Amran Santosa sudah lebih 20 tahun di Pantai Kokar, banyak perubahan telah terjadi. Saat ini sudah lebih 70 kapal beroperasi, baik kapal nelayan rumpon maupun nelayan pancing tuna. Ia termasuk nelayan senior, di samping nelayan senior lain seperti Husen Zainuddin atau Mangka Kolihar. Dulu, terumbu karang masih sangat baik dan memenuhi perairan Pantai Kokar. Tapi, lama kelamaan terumbu karang banyak mati dan menjadi pecahan karang. Dari perbincangan sore kemarin, banyak pendapat soal ini, ada yang mengatakan karena terumbu karang tertimbun pasir-lumpur akibat gempa Alor tahun 2004, ada juga yang berpendapat karena aktivitas pengeboman ikan pada tahun-tahun lalu. Tiga tahun terakhir, Amran sudah tidak pernah mendengar suara bom dari Pantai. Barangkali karena pengawasan sudah agak ketat.
Perbincangan cukup panjang, diskusi dengan Bapak Lulu, Djaffar dan Pak Udin, membawa imajinasi saya jauh hingga ke Australia, karena diskusi berbelok-belok, dari peristiwa Timor Timur, penangkapan ikan di Kokar, cerita-cerita penangkap teripang hingga ke Pulau Pasir, yaitu pulau antara Rote dan Pantai Utara Australia. Tentang teripang ini, saya tiba-tiba membayangkan perahu-perahu Makassar, yang dikendalikan oleh Puang Baso dari Bone, Daeng Manye, Unusu Daeng Remba, Sulaiman Daeng Magassing, yang malang melintang di Teluk Mangngellai/Teluk Grays dan Kampung Puang Baso/Father Nail serta Teluk Mangko/Teluk Nort West hingga ke Pelabuhan Makassar di tahun tahun 1700 dan 1800-an. Sepertinya, kegiatan mencari teripang ini tdak berhenti pada tahun 1910-an, saat-saat terakhir perahu Patti Jawaya dengan Nakhoda Daeng Gassing mengambil teripang di bawah pengawasan Tuan Brown, pejabat Australia, yang dikala senggang pejabat itu duduk duduk ngobrol dengan Daeng Moro (mantan penangkap teripang) sembari menegak ballo dan bir. Tatkala tuan Brown mengangkat gelas mengucap cheers, dibalas oleh anak perahu Daeng Moro yang juga mengangkat gelas ballo sambil berucap, panaiki. Menyambung cerita Nasaruddin Koro dalam buku ‘Makassar terkenang Masa Lalu, dengan cerita-cerita Bapa Lulu, sepertinya terjadi estafet secara parallel, antara pelaut Makassar dengan pelaut Buton dan juga pelaut-pelaut ulung kepulauan Alor, yaitu dari Pulau Buaya dan Ternate, pada tahun 1990-2000-an.
0 komentar:
Posting Komentar