Menjelang gelap, Kami mampir kembali ke rumah Amran Santoso, Minggu, 8 Oktober 2023. Beruntung, nelayan kelahiran Bau-bau itu ada di rumah. Melihat kami, yang tampak kepayahan di atas motor, ia mengangkat gulungan sarungnya, bola matanya membesar keluar, lalu pikirannya yang sempat kosong itu kembali terisi oleh janji kalau Alexa hendak ikut panah malam. Makanya, setelah mengambilkan kami kursi plastik untuk duduk depan rumah, ia segera ke rumah Pak Udin, untuk mengabarkan rencana panah malam bersama.
Tak lama, Pak Udin datang dengan peralatan panahnya. Alexa pun Bersiap-siap, mengenakan stelan baju selam yang dapat mengantisipasi dinginnya air laut, beserta masker dan snorkel, juga kaki kataknya. Turunlah mereka ke laut dengan senter di tangan. Pelan-pelan mereka menjauh dari pantai.
Saya pun ngobrol dengan Pak Amran, dengan ditemani kopi hitam. Pak Amran mencicipi pinang yang diberikan Alexa. Percakapan mulanya tentang pentingnya mendorong ekonomi nelayan melalui pendekatan pasar. “Begini Pak Idham, mengulang yang kemarin, masalah utama di sini adalah pasar.” Kata Amran. Amran mencoba untuk membuat skema dalam kata-katanya. “Coba bayangkan Pak Idam, kalau masing-masing istri nelayan juga sebagai papalele?” Lanjut Amran.
Apa yang akan terjadi? Barangkali adalah naiknya pendapatan keluarga nelayan. Sebab, nelayan tidak lagi bergantung pada papalele. Ikan yang sebelumnya dihargai Rp. 20.000 untuk lima ekor, ketika dijual langsung ke pasar, bisa seharga Rp. 20.000 untuk empat ekor. Amran mengatakan, belum banyak istri nelayan yang membantu penjualan ikan suaminya, jika mereka turut terlibat dalam bisnis, kemungkinan mereka untuk akumulasi menjadi lebih besar.
Hanya saja, mereka harus betul-betul lepas dari ketergantungan dengan papalele, harus melunasi semua hutangnya, dan penting untuk mencari cara-cara lain untuk mengatasi masa sulit, yang selalu menghantui nelayan. Pada masa-masa itu, papalele biasanya mengulurkan tangan. Sistem ekonomi moral, yang biasanya dijalankan oleh masyarakat subsisten atau masyarakat bertahan hidup, yang memiliki prinsip dasar ‘dahulukan selamat’ dan minimalisir resiko, mulai tak cocok dengan Amran. Amran berfikir dengan rasional, jika hasil perikanan dikelola sendiri oleh keluarga, keluarga itu akan mendapat lebih banyak.
Saya menyimaknya dengan hikmat, saya mengatakan ke bapak tua ini, kalau ia mampu melihat persoalan ini secara sistemik (dinamika sistem/struktural), bukan sepotong-sepotong. Seperti apa keluarga nelayan dapat keluarga dari lingkaran tertutup-imanen, dan menemukan ruang terbuka-untuk lepas dan bebas-transenden. Ia menyakini juga, dengan seperti itu, akan memicu papalele untuk lebih semangat merangkul para nelayan, dan mungkin saja berfikir untuk menaikkan harga tukar, karena munculnya pesaing-pesaing baru.
Jadi, pendampingan yang dilakukan tidak saja pada nelayan, tapi juga kepada istri-istri nelayan. Meski begitu, ide ini perlu dipertimbangkan masak-masak, papalele sejauh ini memiliki peran signifikan, menyediakan modal, bahkan ada yang membantu ongkos operasional. Jadi, menurutku, peran mereka sulit digeser, walaupun tidak mustahil.
Pak Udin dan Alexa akhirnya naik ke permukaan, Pak Udin berhasil memanah 4 ekor ikan dasar-karang, Alexa pun senang karena bisa melihat langsung aktivitas memanah, memperoleh edukasi tentang nama-nama lokal ikan, dan jalur-jalur kegiatan pemanahan ikan.
Kemudian datang juga Pak Djaffar turut gabung untuk bercakap. Tema percakapan beralih ke tema yang agak mistik. Mereka berbagi cerita dan pengalaman mistik. Pak Amran dengan serius mengatakan kalau baru di Alor ia melihat langsung sosok mahluk jadi-jadian, yang di sini dibilangkan ‘Suanggi’. “Saya melihatnya terbang di Baranusa,” kata Amran.
Pak Udin menambahi, kalau ia pernah mendengar ada Suanggi yang jatuh setelah menabrak tiang tower. Ketika ditanya dari mana, suanggi itu menjawab, ia dari pertemuan di negeri Cina. Bagaimana bisa? Negeri Cina sangat jauh. Dengar-dengar, mereka ini dapat terbang jauh dan melintasi beragam dimensi.
Makanya, kata Pak Amran, jangan sembarang cari ilmu di Alor, nanti bisa mengarah ke ilmu hitam. Pak Udin melanjutkan, katanya dulu ada orang Jawa yang datang ke Pantai Kokar, ingin bersemedi di bawah pohon beringin. Lalu, diajaknya orang itu ke kuburan raja di Alor Besar, belum sampai jam 12 malam, orang itu langsung kabur.
Tentang Suanggi ini, sering sekali saya mendengar, cukup banyak orang yang percaya tentang keberadaan semacam penampakan atau orang yang bisa berubah-ubah ini. Bahkan, teman saya sangat takut jika penyebab sakitnya berasal dari guna-guna orang yang memiliki ilmu sihir, yang juga dapat menjelma menjadi suanggi. Teman saya yang lain, tak berani melawan pimpinannya yang asli Alor, kebetulan dia adalah orang pulau lain di provinsi ini, karena takut kena sihir. Pak Amran sendiri, segan menampilkan teknik bertarungnya saat bertengkar di pertemuan pembahasan ikan tuna sebulan kemarin, karena dia semata-mata adalah pendatang. Suanggi ini dipercaya dimana-mana, tapi jarang bisa dibuktikan.
Dari skripsi Trisusanti Besimau, yang meneliti eksistensi Tani atau Suanggi dan persepsi Masyarakat untuk studi kasus Desa Pura Barat, Kecamatan Pura, Kab. Alor, mengatakan kalau Tani memiliki sisi positif, tani dipercaya masyarakat dapat melindungi kebun, hasil pertanian, harta, serta untuk melindungi diri. Bahkan ilmu tani ini digunakan untuk transportasi-terbang dari pulau satu ke pulau lainnya. Namun, di zaman ini kegunaan tani lebih pada ilmu sihir, digunakan untuk menyakiti orang lain, karena hal-hal yang bersifat iri hati, kalah dalam persaingan, atau karena dendam. Karena itu, menurut Trisusanti, dampak dari keberadaan atau kisah tani ini, dapat menyebabkan Masyarakat takut untuk melakukan sesuatu yang dapat mendominasi orang lain dan takut terlihat lebih mewah. Hal ini berujung pada menurunnya produktivitas masyarakat secara umum. Tapi, kenapa disebut Tani ya? Apakah ini ada hubungannya akrab antara praktik-praktik magis tersebut dengan kehidupan pertanian? Apakah saat berburu justru belum muncul?
Dalam buku Prof. Dr. C. A. Van Peursen, berjudul ‘Strategi Kebudayaan’ menjelaskan praktik sihir itu sebagai ‘magi’. Menurut Van Peursen, praktik magi adalah sisi lain dari mitos pada masyarakat tradisional yang disebut masyarat ‘alam berfikir mitis’. Mitos lebih sebagai cerita yang memberikan pedoman pada sekelompok orang, tentang cara-cara hidup, cara bekerjasama, cara mengatasi tantangan dan situasi sulit, seperti musim paceklik. Lewat mitos yang diperagakan dalam tarian-tarian, atau dalam gambar-gambar, atau dari kisah-kisah dewa atau leluhur, manusia dapat turut mengambil bagian dari kejadian-kejadian sekitar, dapat menanggapi atau berpartisipasi terhadap daya-daya kekuatan alam. Sementara magi, lebih pada cara manusia ingin menguasai manusia lainnya, atau menguasai daya-daya alam. Praktik magi lebih bersifat tertutup atau imanen, memanfaatkan kekuatan alam untuk mempengaruhi atau menguasai, hingga membunuh orang melalui mantra-mantra. Selalu, dalam praktik magi, mengasalkannya pada perbuatan dewa yang kemudian diturunkan lewat leluhur seorang dukun tertentu. Fungsi mitos menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan Ajaib yang mana mereka dapat berpartisipasi, nah, dalam praktik magi justru mengambil peran dan memanfaatkan kekuatan itu untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Perbincangan pun mengarah ke sikap dan tindakan para nelayan ketika menghadapi marabahaya di Tengah laut. Pak Amran, pernah terjebak dalam badai, yang katanya terdiri atas tujuh gelombang. Orang-orang di rumah sudah menangisi Pak Amran, mengingat badai besar di lautan. Pak Amran teguh, sembari mengingat pesan leluhur. “Saya menatap ke depan, dan tak boleh menatap ke belakang. Saya meminta teman saya (berdua dalam perahu) untuk mengangkat jangkar. Jika dalam mengangkat terhalang, maka lepas, tapi jika tak terhalang, terus angkat. Dengan tiga kali tarikan dalam satu nafas,” Kata Amran. Saat itu, ia mengingat mimpinya yang sedang tidur di atas kapas, dan dalam mimpi itu dia diminta untuk menatap langit, jika melihat satu bintang terang, maka ia akan selamat. “Saat itu, saya melihat satu Bintang terang saat menatap langit malam,” kenang Amran. Akhirnya ia berhasil melewati gulungan demi gulungan ombak.
Begitu halnya Pak Djaffar, saat berada di tengah badai, sembari menimba air keluar perahu, dia terus meminta izin kepada penghuni laut, agar ia dapat selamat. Ia mengingat petuah neneknya, bahwa leluhurnya berasal dari laut, maka jika memohon kepada laut, pasti akan diselamatkan.
Saya berfikir, dalam sudut pandang ontologis saya, yang mencoba menjaga jarak dengan realitas-objek. Dengan terjebak untuk bertanya apa dan kenapa? Jika praktik ‘baca-baca’, barangkali sebuah cara untuk membuat pikiran tetap hadir, sembari mengajak alam untuk berpartisipasi, untuk membantu keluar dari cobaan. Dalam kacamata Masyarakat ontologis yang dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu hukum alam, ‘Baca-baca’ ataupun ritual tertentu, lebih pada mengamankan pikiran, dan juga sebagai tindaklanjut dari tindakan-tindakan preventif sebelumnya, yaitu adanya jaminan kondisi fisik perahu dan mesin yang masih bagus, melalui perawatan sesering mungkin, serta pengetahuan akan kondisi dan situasi alam, sehingga membuatnya tidak terlalu takut, atau dapat mengatasi rasa takutnya dengan mengambil tindakan-tindakan taktis dan perlu.
Para nelayan masih tampak bersemangat, apalagi cerita beralih pada cerita Adam dan Iblis, kekuatan ucapan bismillah dan pengaruh huruf Ba pada Bismillah, pengaruh para sultan dalam penyebaran Islam. Apalah daya, malam semakin larut, kami harus kembali ke kota Kalabahi. Saya menarik buku Gerundelan Peristiwa: Corona dan Kebangsa-tan, dari dalam tas, lalu saya serahkan ke Pak Udin, sebagai tanda terimakasih atas diskusi seru malam itu. Dia tampak gembira sekali dengan buku itu.
Hemm.. Seandainya tidak harus pulang, bercakap dengan para nelayan ini bakalan bisa hingga subuh hari.. Pak Amran kemudian mengembalikan kantong plastik yang masih berisi 3 bungkus rokok dan beberapa sirih pinang, “Ini akan menjaga kalian di jalan.... maksudnya kalau ada yang tahan, tinggal kasih itu rokok” jelasnya sambil terkekeh. Kami pun Kembali ke Kalabahi dengan menembus malam, sembari merenung-renungi kisah nelayan yang kaya dan penuh makna.
0 komentar:
Posting Komentar