Dari kisah Rudin Prasong pada Agustus lalu, salah satu tokoh pergerakan penting di Alor tahun 30-an adalah Abdurrahman Dg Matorang, kader dari PSI Makassar. Saat itu Dg Matorang menetap sebentar di Dulolong, setelah diajak oleh H. Dasing, tokoh pergerakan Islam Dulolong yang mencari mentor politik hingga ke Makassar. Tujuannya untuk mengimbangi satu versi Sarikat Islam yang sementara berkembang, dimentori langsung oleh Datuk Batuah, seorang interniran atau orang buangan dari Minangkabau, namun gerakan ini lebih mengarah ke pemikiran sosialisme materialisme di Dulolong. Sayangnya, Abdurrahman Dg Matorang nyatanya tidak dapat memberi pengaruh nyata pada tokoh-tokoh Dulolong, karena sudah terlanjur ‘merah’, jadinya dia pindah ke Baranusa di Pulau Pantar untuk melanjutkan dakwah politiknya.
Jadilah saya bersama Sudarmiyanto berinisiatif untuk mencari informasi lebih banyak tentang Dulolong. Saya pun singgah di rumah Adat Suku Lakaduli pada Rabu, 25 Oktober 2023. Penghuni rumah adat Lakaduli tak banyak omong, dia hanya sempat membenarkan jika beberapa tokoh pergerakan ada di Dulolong, diantaranya H. Dasing, Lesunae Kamahi, dan H. Abdul Syukur. Perbincangan berikutnya tidak lagi berlanjut, karena mereka mengaku hanya tahu sepotong-sepotong, mereka pun mengarahkan kami untuk bertemu Darwin Dj Duru, mantan Kepala Desa Dulolong untuk dua periode dan kakak kandung Almarhum Imran Duru, wakil bupati Kab. Alor. “Kalau sudah dengan Pak Mantan Desa, seluruh isi hati Bapak bisa tanyakan ke beliau,” begitu kata penghuni rumah.
Puji Syukur, sehari berikutnya, Kamis, 26 Oktober 2023, kami ketemu Pak Darwin, yang saat itu sedang memarkir motornya dekat lapangan bola Dulolong. Kami pun diajak ke rumahnya, yang terletak di atas bukit. Dari rumahnya sendiri itu, kita bisa menatap teluk, pemukiman hingga Mesjid tua ‘Babur Rahim’ Dulolong.
Mulanya saya memperkenalkan diri, saya bilang saya sudah kenal nama Pak Darwin dari Sabara Nurudin, seorang peneliti agama dan budaya dari BRIN. “Oh ya, yang sedikit gemuk itu ya? Saya ingat, dia pernah foto buku Sejarah Kristen di Adang,” kata Darwin sambil masuk ke kamar mengambil buku tersebut. Dia pun memperlihatkan ke saya daftar referensi buku itu, kalau dia adalah salah satu narasumber utama buku tersebut. Wah, laki-laki yang sudah berumur 60-an tahun ini terlihat semangat untuk memulai cerita. Jadi saya meminta dia untuk cerita seputar sejarah Dulolong.
“Hasil pertemuan raja Lokal, Raja Landola Banatang dengan Raja Nampira Bukang, Raja Alor di Dulolong pada 1910 melahirkan tiga rekomendasi. Pertama, penyerahan Kota Kalabahi (Arambah) kepada pemerintah Belanda melalui raja Alor, Nampira Bukang di Dulolong. Kedua, adanya rencana pembaptisan massal di Pantai Dulolong yang nantinya terjadi pada 11 Oktober 1911. Ketiga, pendirian sekolah Kristen di Dulolong pada 1913,” jelas Darwin Duru.
Saya tersentak mendengar penjelasan Darwin Duru, Dulolong memang bukan sembarang desa. Sebab desa ini sempat menjadi pusat pemerintahan, tempat Raja Alor bermukim. Nama Nampira Bukang, yang sebelum-sebelumnya hanya samar-samar itu pun menjadi jelas siang itu.
“Hasil penilaian kontroler Belanda dalam Keresidenan Timor, Kapitan Nampira Bukang ke depannya akan menjadi pemimpin. Setelah penyelesaian salah satu program, dia dianggap berhasil oleh Belanda, yaitu membuka jalan dari Kokar ke Kalabahi,” kata Darwin. Referensi lain menyebutkan Nampira Bukang cukup dekat dengan Belanda karena ia lebih berpendidikan dan fasih berbahasa Belanda. Karena itu, terjadi peralihan kekuasaan oleh Belanda dari Kerajaan Bunga Bali di bawah dinasti Tulimau ke Dinasti Nampira di Dulolong pada 1908. Sebelum menjadi raja, Nampira Bukang adalah Kapitan dari Kerajaan Bunga Bali, yaitu pada masa Kawiha pada 1903.
Menurut Penjaga rumah adat Lakaduli, ‘kapitan’ boleh disebut sebagai panglima perang Kerajaan Bunga Bali. Nampira Bukang berkuasa hingga mangkat pada 1915 dan digantikan oleh Mardjuki Bala Nampira, anak dari Nampira Bukang.
Sepertinya, sejak Hindia Belanda eksis di Kepulauan Alor, status Kerajaan-kerajaan yang sudah ada di Alor dan Pantar seperti mati suri. “Kekuasaan raja kawiha tuli (dinasti Tulimau) berakhir setelah belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan penguasa-penguasa lokal pada 1912,” ujar Darwin Duru.
Dalam perjalanannya, raja-raja lain yang tergabung dalam aliansi lima kerajaan, Galiau Watang Lima, harus tunduk kepada Raja Alor di bawah pengawasan Belanda. Dari catatan Eka R Abdurachman Nampira, hal ini tentu menimbulkan polemik dan protes dari aliansi Kerajaan Bunga Bali. Jika merujuk pendapat lain, masyarakat dan Kerajaan lain saat itu juga memprotes soal pajak. Nantinya berbuntut pada terbunuhnya Mardjuki Bala Nampira di Atengmelang pada 1918, yang penyebabnya masih diperdebatkan.
Darwin berkomentar soal ini, “Namanya Belanda, menggunakan politik adu domba”. Kami pun tidak melanjutkan kisah itu, lebih menelusuri jejak-jejak warisan Nampira Bukang yang lain.
Menurut Darwin, Belanda pertama kali tiba di Alor Kecil. Saat itu Alor Kecil telah berkembang pesat sebagai pusat kota perdagangan. Sayangnya, Belanda tak dapat berbuat apa-apa di Alor Kecil, karena di sana sudah menjadi kota dengan komunitas Islam yang kuat. Itulah sebabnya, dilakukan pemindahan pusat kota dari Alor Kecil ke Kalabahi atas dukungan Raja Alor, Nampira Bukang.
Saya pun bertanya, “Seperti apa peran warga Dulolong dalam pemindahan kota itu?” Darwin mengatakan, pertama-tama yang memenuhi kota itu adalah orang Dulolong, bersama Alor Kecil dan Alor Besar. “Beberapa masjid di Kalabahi itu dibangun oleh orang Dulolong, seperti di Moepali, Wetabua, hingga Kadelang. Sebab Rajanya dari Dulolong, maka Dulolong mendapat tempat,” kata Darwin. Saat ini penghuni Kalabahi berasal dari mana saja, orang pantai dan orang gunung, bahkan juga banyak berasal dari etnis luar Alor, seperti Buton, Bugis dan Jawa.
Nampira Bukang punya intuisi yang kuat, ia melihat pentingnya harmonisasi dalam kehidupan beragama. Karena itu, menggunakan otoritasnya sebagai raja, maka diperintahkanlah orang-orang yang tinggal di gunung, seperti di bukit-bukit Adang untuk beralih ke agama Kristen. Beberapa orang Islam di gunung pun juga memeluk agama Kristen yang juga merupakan misi Pemerintah Belanda. Sebelumnya, beberapa komunitas yang berada di wilayah pegunungan belum begitu mengenal agama dan masih menyembah batu besar, sehingga dalam rentang waktu dekat, mereka pun berbondong-bondong untuk memeluk agama Nasrani.
Terjadilah pembaptisan massal di pantai Dulolong, sekitar 100 orang yang berasal dari area pegunungan di baptis dengan cara disiram pada 11 Oktober 1911. “Waktu itu, terjadi pembaptisan terhadap 1000 orang secara berturut-turut di Dulolong, Alor Kecil dan juga Kalabahi,” jelas Darwin.
Setelah ngobrol, kami diajaknya ke lokasi pembaptisan. Letaknya tak jauh dari rumah Darwin, pas turunan ke pantai, setelah Masjid tua (dibangun 1910) Babur Rahim yang juga terdapat makam Raja Alor I Nampira Bukang, serta diseberang jalan masjid, dalam area halaman rumah Raja, terdapat makam Ibu dari Raja Alor, Enang Dopong.
Berfotolah saya dengannya di batu permandian, tempat pertama kali orang Dulolong Alor ‘disiram’. Tempat seratus orang direndam air laut. Mereka dibatis oleh D.S Willem Beck, pendeta asal Jerman yang secara kebetulan berkunjung ke Alor. Pun diantara mereka yang dibaptis ada Lambertus Moata dan Mesak Kopoli, yang nantinya juga menjadi pendeta, serta Umar Watang Nampira, yang juga penganut Islam yang taat, saat itu dibatis sekadar sebagai penghormatan. Tak lama setelah itu, Nampira Bukang memerintah rakyatnya untuk membantu Pembangunan Gereja pertama di Kota Kalabahi, dengan nama saat ini Gereja Pola, pada 1912. Kayu-kayu gereja ini didatangkan langsung dari Kalimantan, sedangkan pekerja Pembangunan gereja Sebagian adalah muslim, diantaranya Pak Kamis dan Pak Jawad.
Selanjutnya, tentang pendirian sekolah Kristen di Dulolong pada 1913. Sekolah itu bertahan di Dulolong hingga 19 Oktober 1917, yang kemudian pindah ke Uheilelang, Kampung Lama Adang. Lalu, setelah 43 tahun di Adang, sekolah tersebut dipindahkan lagi ke Adang Buom. Penyebaran agama Kristen di Adang dan Adang Buom sudah berlangsung 100 tahun pada 2017, sejarah 100 tahun Kristen Adang sudah ditulis oleh Dr. Pdt. Ebenhaizer I. Nubon Timo, dimana Darwin Dj Duru selaku salah seorang narasumber utama.
Makanya, pada 10 Juni 2023, sebelum menuju Pulau Pura untuk peringatan 100 tahun Injil masuk Pura, masyarakat Alor terlebih dahulu melakukan seremoni di Pantai Dulolong, Kecamatan Alor Barat Laut. Dalam sambutannya di monumen pembaptisan massal pantai Dulolong itu, Muhammad Bajher Kamahi menyebutkan bahwa Desa Dulolong merupakan desa perintis Islam dan Kristen di Alor. “Dulolong sebagai kampung persaudaraan, kampung toleransi, kampung perintis, kampung penyebaran agama Islam dan Kristen di Alor,” kata Kamahi, ketua ta’mir Mesjid Babur Rahim Dulolong. Darwin pun menyitir hal ini dengan menyebut Dulolong sebagai Kampung Toleransi Antar Ummat Beragama.
Darwin pun sangat percaya diri dengan ingatannya. Saya sempat bertanya, dari mana ia memperoleh cerita-cerita ini, “Ya, sejak kecil saya sering mendengar orang tua dan ba’ih (kakek) bercerita,” katanya. Ia pun mengaku memperoleh kemampuan itu begitu saja. Kakeknya dulu pimpinan Kampung Dulolong, jadi dia punya previlese untuk mendengar cerita dari narasumber kunci. Darwin, selain fasih sejarah Alor, juga fasih dalam penggunaan beberapa Bahasa lokal Alor. Ia menghafal cukup banyak syair-syair beragam suku di Alor. Karena itu, Darwin dapat menjadi penyambung dan jembatan antar suku atau golongan komunitas di Alor. Sejauh ini, pada hajatan adat, Darwin sering diminta untuk bertutur tentang budaya Alor. Saat ini, dia sibuk menanam pohon di kebunnya, harapannya kebun jati yang ditanamnya itu, dapat dinikmati oleh cucunya kelak, 20-30 tahun di masa yang akan datang.
Setelah napak tilas di batu permandian, makam raja Alor dan Ibu dari raja Alor itu, kami berfoto pula di depan rumah Kapitan Dulolong, serta rumah Raja Alor, sebuah rumah klasik yang mungil. Kami pun siap-siap berpisah dengan Darwin Duru, dengan perjanjian bakalan ketemu lagi untuk kisah yang lain. “Setelah ini cobalah bertanya, misalnya tentang hubungan Alor dan Pantar, saya akan coba jawab,” ujarnya.
Saya pun membalas, dengan senang hati Bapak. Kami berdua melempar senyum, mengucap salam. Saya kembali ke Kalabahi, dengan kisah baru, semangat baru.
2 November 2023
0 komentar:
Posting Komentar