semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Umra Dg Lanusu, Penjaga Rumah Makassar di Alor Kecil

Umra Daeng Lanusu, generasi ke enam dari Lanusu pimpinan masyarakat Makassar di abad ke 19, yang juga keturunan dari Labaroci, salah satu pendahulu Wajo, pendatang mula mula Bugis Makassar, duduk-duduk di belakang rumah panggung kayu, bersama anaknya, Aco Lanusu. Umra mengenakan kemeja batik dengan bawahan sarung, yang dalam Bahasa Alor disebut Lipa’. Saya menyambanginya setelah minum es kelapa bareng Sudarmiyanto di pinggir jalan pasar Alor Kecil, menatap laut dan Pulau Kepa, serta beberapa perahu fiber yang melayang dan tertambat jangkar.
 
Saya memperkenalkan diri juga sebagai orang dari Jazirah Sulawesi Selatan, keturunan ayah Wajo dan Ibu Bulukumba. “Bapak saya juga ada La depan namanya, Lamalela Dg Materru’, cuma karena sejak sekolah SMP di Makassar, namanya berubah jadi Malik,” kataku. Mulanya kami berbincang tentang kata La di depan nama orang Bugis-Makassar. Lanusu mungkin saja sebuah gelar atau istilah Bugis Pa’daengang. Sebuah harapan akan sikap dan tindakan empunya nama.
 
Dari perbincangan awal itu, saya tahu kalau Umra Dg Lanusu sudah tak paham Bahasa Bugis. Iya lebih paham Bahasa Pantai Alor, terlihat begitu lancar berbincang dengan Yanto Zainudin. “Bapak saya yang terakhir bisa Bahasa Bugis,” katanya. Meski begitu, ia masih mempertahankan ingatan dan identitas tanah asal, Bugis Makassar. Ini terlihat dari dipertahankannya rumah panggung, yang dibangun kakeknya pada 1910 itu. Sepertinya inilah satu-satunya rumah panggung khas Makassar di Pulau Alor.
 
“Rumah ini sudah dua kali direnovasi, terakhir tahun 2015. Ada seorang Baba (keturunan etnis China) dari Kupang, yang pernah datang dan mengaku pernah dirawat oleh Ba’i (kakek Daeng Lanusu), Dia minta untuk dihitungkan semua seng untuk atap, dan semua kayu yang mau diganti,” jelas Umrah. Lalu, Umrah diminta untuk kontak Baba China itu, tak lama kemudian, bahan-bahan itu pun tersedia.
 
Rumah ini pun menjadi simbol kehadiran orang Bugis Makassar di Alor Kecil. “Dulu sering dijadikan tempat pertemuan KKSS (Kesatuan Keluarga Sulawesi Selatan), Cuma dalam tiga tahun terakhir tidak pernah lagi,” kata Umra. Umra pun terdaftar sebagai anggota KKSS. Katanya lagi, tahun 1950-an masih banyak rumah panggung di Alor kecil, namun karena dimakan usia, sejak 1970-an, rumah panggung Alor Kecil pelan-pelan berganti menjadi rumah batu.
 
Saya bertanya, apakah masih tersimpan pusaka-pusaka dari leluhur? Umra menjelaskan, benda-benda pusaka seperti badik sudah banyak yang lepas melalui proses perkawinan anak-anak dari beberapa generasi. Meski begitu, sebuah tombak masih ada. Benda-benda itu sebagai bukti masih adanya rasa keterikatan dengan warisan leluhur dan tanah asal. Salah satu bukti fisik nuansa Makassar, tentu rumah panggung, yang dalam bahasa Alor disebut Uma Adat Watang atau rumah adat pantai. Nama Makassar digunakan di sini sebagai nama kolektif, yang dalam artian mereka yang berasal dari Pelabuhan Makassar, Jazirah Sulawesi Selatan abad ke 17.
 
Sebuah ulasan menarik dari Sabara Nuruddin dalam Jurnal Pusaka, berjudul “Strategi Integrasi Sosial Makassar Diaspora di Pulau Alor”, menyebutkan pendahulu dan keturunan-keturunan Bugis-Makassar berupaya untuk melakukan adaptasi terhadap masyarakat setempat. Sejak tiba di Pantai Alor Kecil, para pelaut-pedagang Makassar yang berjumlah empat perahu, yaitu Erom Palea-Perahu Bugis Bone, Tamalatea-Perahu Makassar, Bondeng Mamai-Perahu Wajo, Bintang Betawi-Perahu Cina tidak langsung sandar, ia masih di perahu selama tiga hari. Empat perahu ini merupakan bagian kecil dari rombongan sejumlah 40 perahu, yang mendarat di antara Sumbawa, Flores hingga Alor.
 
Baru setelah kedatangan utusan dari Suku Baoraja (salah satu klan di Alor Kecil) yang meminta mereka untuk turun, dan mengantarkan Lagoga selaku ketua rombongan, untuk bertemu dengan Raja Balolong, yang merupakan penguasar Kerajaan Bungabali. Sang raja sangat gembira dengan kedatangan pelaut-pedagang Bugis Makassar ini, mereka pun diberi tanah di pinggir Pantai yang saat ini disebut Pantai Makassar, sebelumnya tanah itu kepunyaan sub suku Baoraja, yang juga merupakan orang Alor keturunan Jawa. Kehadiran mereka sepertinya dianggap penting untuk membangun masyarakat kerajaan, mengingat kiprahnya selama ini yang sudah berlalu lalang untuk massompe, membawa hasil-hasil perkebunan dan perikanan, juga diketahui Kepulauan Alor sebagai tempat transit perjalanan para pelaut Bugis Makassar ke Australia untuk pencarian teripang.
 
Betul, di samping karakter kosmopolitan Orang Alor, dalam artikel Sabara yang menurut Cora du Bois yang meneliti Masyarakat Atengmelang pada 1944 menyebutkan Orang Alor cukup terbuka dengan orang luar. Begitu halnya pendapat Antonio Pigafetta, pelaut spanyol yang singgah di pesisir Alor pada 1522 mengatakan bahwa Masyarakat Alor adalah Masyarakat yang penuh dengan senyuman, damai dan mudah berinteraksi dengan orang asing. Mereka sudah terbiasa dengan kedatangan bangsa-bangsa lain, mulai dari bangsa Ternate yang memperkenalkan Islam serta sebagai basis kekuasaan dan perdagangan mereka sejak abad ke 16, kedatangan Bangsa Makassar, Bugis, Cina, Jawa, hingga Minangkabau untuk berdagang ataupun transit, dimana Alor termasuk daerah persinggahan penting untuk jalur perdagangan hasil bumi maupun hasil laut, khususnya teripang dan sirip hiu. Menetapnya orang Makassar, berarti menambah saling silang budaya di Pulau Alor, khususnya di Alor Kecil.
 
“Saat mereka tiba, mereka tidak pulang lagi ke Sulawesi. Layar sudah jadi atap, badan perahu sudah menjadi badan rumah, dan Sebagian menjadi tangga,” jelas Umrah Lanusu. Ini pun disebut sebagai “malekke dapureng” atau pindah dapur. Sikap ini diambil sebagai respon dari memburuknya situasi di Pelabuhan Makassar pasca Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 antara Kerajaan Makassar dan sekutunya dengan VOC-Belanda. Mereka datang ke Alor dua tahun setelahnya, yaitu 1669 menurut Abdul Rahman Pantji, dan pada 1683 jika merujuk artikel Sabara Nurudin.
 
Dengan sikap itu, mereka pun mulai beradaptasi dan mengitegrasikan diri dengan penduduk setempat. Mereka memulai usaha penjualan dan dulu lebih ke barter barang-barang kebutuhan pokok, seperti ikan, hasil bumi, peralatan dapur, sarung, dan baju. Karena sebelumnya belum dikenal pasar, maka pendatang Bugis Makassar ini memulai aktivitas penjualan di daerah itu, juga di daerah-daerah lain, sehingga terbentuklah sebuah hari-hari pertemuan antara pedagang dan pembeli, kini disebut sebagai hari pasar. Dimana kapal orang-orang Bugis-Makassar ini sandar, dihari-hari itulah terbentuk kebiasaan hari pasar.
 
Umra Dg Lanusu pun sebelumnya adalah pedagang barang-barang dapur, ia sudah dua tahun tidak berdagang lagi, karena sakit. Meski begitu, para pedagang di Alor Kecil ini banyak diantaranya adalah keturunan para leluhur pendatang. Istilah pedagang bagi, terlebih lagi para pengumpul ikan di Alor disebut sebagai Pappalele, istilah papalele diserap dari aktivitas memindahkan barang, dalam Bahasa Makassar.
 
Dari artikel Abdul Rachman Panjti dalam Jurnal Masyarakat & Budaya Volume 11 No. 2 tahun 2009, para pendahulu Makassar memulai penggalian sumur, sehingga warga Alor kecil tidak perlu lagi bergantung pada air tadah hujan. Mereka pun menghadiahkan tanaman kelapa ke beberapa raja di Alor untuk ditanam di daerah pesisir. Mereka juga membawa bibit pohon Lontar, pisang, bawang, dan lada, untuk ditanam di kebun-kebun Alor. Sedangkan, dari artikel Sabara, diaspora Bugis Makassar pun melatih orang-orang Alor dari segi pertukangan. Karena itu, Alor Kecil pun dikenal sebagai tempat penghasil tukang, yang membangun gereja dan masjid di seluruh Pulau Alor.
 
Di samping itu, dalam bidang sosial, keturunan Bugis Makassar memperoleh tempat dalam prosesi adat Alor Kecil. Begitu halnya dari segi keagamaan Islam, pendatang Bugis-Makassar dikenal taat dalam beragama. Salah satu pendatang diaspora yaitu Puang Bilal yang berasal dari Bone, dikenal sebagai pengajar agama di Alor Kecil. Bermodalkan Alquran tulisan tangan dari kulit kayu, ia memperkaya khazanah Islam, yang sebelumnya telah diperkenalkan oleh Gogo bersaudara, dimana Iang Gogo, abad sebelumnya telah memperkenalkan Islam dari Alor Besar, pusat Kerajaan Bungabali. Keturunan Puang Bilal juga melanjutkan pengajaran agama ke Masyarakat Alor Kecil. Hal ini mungkin yang dimaksud dari penyataan Sabara Nurudin, saat berjumpa dengannya di Alor pada September lalu, kalau Orang Alor di-Islamkan oleh orang Ternate dan disyariatkan oleh orang Bugis-Makassar.
 
Salah satu peran besar Keturunan Makassar, kata Dg Lanusu, yaitu pemindahan kota dari Alor Kecil ke Kalabahi. Saat itu, cukup banyak keturunan Makassar yang membuka usaha di Kota Kalabahi. “Saat hutan dibuka, pohon yang banyak ditebang yaitu pohon Kosambi, yang dalam Bahasa Alor disebut Kalabahi, maka jadilah kota itu dinamakan Kalabahi,” ungkap Umra Dg. Lanusu.

 
Waktu menunjukkan sore hari, kami harus bergegas ke Kalabahi. Kami pun meminta pamit ke Umrah Dg Lanusu dan Aco Dg Lanusu, tapi sebelum pulang, saya minta izin untuk melihat isi dalam rumah panggung itu. Dalam rumah itu, saya melihat di dinding papan terpajang lukisan perahu pinisi sedang melayari lautan, di sudut rumah, terdapat miniatur rumah adat Makassar. Sepertinya, ada kerinduan pada tanah leluhur di rumah ini.
 
Aco Dg Lanusu ternyata pernah kuliah di Makassar, yaitu di Universitas Islam Makassar (UIM). Saya bertanya, apakah sudah pernah menginjak tanah Wajo? Dia bilang, belum sempat. Kubilang, haduh, mestinya saat kuliah di Makassar, disempatkan jalan-jalan ke tanah leluhur. Pemuda yang kini menempati posisi Fasilitator Program Keluarga Harapan di Alor Kecil itu hanya senyum-senyum.
 
21 Oktober 2023 
 
 




0 komentar:

Umra Dg Lanusu, Penjaga Rumah Makassar di Alor Kecil