Haji Lawang kian asyik saja. Setelah berkelana menemui pendekar-pendekar Makassar, Haji Lawang pun malang melintang menempuh relung waktu menuju kampung-kampung lama. Bapak tua dengan topi seniman, dengan cambang yang panjang ini tampak serupa dengan namanya, menjadi pintu ‘ajaib’, tempat kita berpindah kemana saja. Berlanjutlah obrolan kami pada Selasa, 31 Oktober 2023 itu, di kantor Desa Baranusa.
Mulailah perjalanan kita ke Gelubala. Kampung ini menjadi pemukiman pertama orang Baranusa. Penuh Semak dan pepohonan. Tak jauh dari sebuah papan nama raja-raja Baranusa, melalui jalan setapak, kita menemukan sebuah besi panjang dengan ada pucuk di tengahnya, serupa jangkar, bersama meriam belanda. Jangkar itu, tampak biasa saja sebenarnya, jika kita tak menemukan cerita di baliknya.
Suatu ketika, di perairan lembata terdapat hantu laut. Sudah banyak kapal yang lenyap di makan laut.
Orang Lembata sudah dibuat pusing olehnya. Sebab itu, mereka meminta orang Baranusa untuk mencari solusi. Diketahui penghuni laut itu adalah gurita raksasa, di Baranusa disebutnya Arambora atau Kalamburi. Seorang Baranusa, Komanahe Kaluma pun mencoba peruntungan. Ia membuat ramuan berupa kapur dari karang laut yang dicampur jeruk purut. Kemudian ia berangkat ke kawasan perairan tempat seringnya kejadian kapal tenggelam. Bersama kawan-kawannya ia memuat keramba besar dan menempatkan kambing sebagai umpan. Dia memancing gurita itu muncul untuk memangsa kambing itu. Saat gurita muncul, dia masuk ke dekat mulut gurita, lalu dia tuangkanlah kapur dan perasan jeruk. Gurita itu pun menggelinjat dan mati.
Peristiwa itu disambut sorak sorai. Sayang saja pahlawan itu orang biasa, itulah sebabnya ia tak menerima berbagai tawaran menarik di Pulau Lembata, seperti gadis cantik dan emas berlian. Kalau ia menerima itu, bisa saja gadis dan emas berlian itu bakalan direbut oleh raja ataupun bangsawan Baranusa, mengingat statusnya sebagai orang biasa. Orang itu hanya meminta besi panjang yang terletak di depan istana, di bawah pohon beringin. Benda itu disebut Ola Karangga, yang saat ini disebut jangkar Piringsina. Barangkali betul harapan Komanahe Kaluma, benda sebagai pengganti gading (gading digunakan sebagai belis perempuan), ibarat gelu yang ditukar dengan bala atau gading, agar dapat dinikmati oleh orang banyak dan dapat menjadi bukti sejarah.
Di sampingnya ada Meriam, “Dulu Meriam ini ada peluru di dalamnya. Sewaktu saya kecil sering memasukkan tangan ke dalamnya dan masih bisa memegang pelor itu,” kata Haji Lawang yang saat ini sudah berumur 63 tahun. Haji Lawang, sebelum menetap di Desa Baranusa saat ini, pernah lama tinggal di Pulau Qura’ atau saat ini disebut Piringsina. Piringsina sendiri artinya Piring Cina adalah lokasi pemukiman kaum Baramaolang, setelah Gelubala. Pulau ini sekilas bentuknya mirip piring cina. Di Piringsina ini dahulu tempat bermukim perantau dari Ternate, karena itu, Piringsina menjadi tempat salah satu suku Haluweka (gabungan suku dari luar) yaitu Suku Moloku. Asal mula suku ini dari Ternate, salah satu orang berpengaruh dari suku ini yaitu Muhtar Likur, penyebar agama Islam di Baranusa, pada abad ke 16. Makam-makam ulama itu ada di pulau tersebut. Pulau itu pun disebut Pulau Qura’, atau pulau Qur’an.
Meski begitu, menurut Haji Lawang, sudah ada Islam sebelum kedatangan Muchtar Likur. Pembawanya bernama Bateloi. Saat mamanya hamil, bapaknya yang bernama Loe Sere pergi melaut, namun menghilang. Hingga sang ibu pergi mencari suaminya sampai ke Puntaru. Dia tahu dia ada di sana, karena alat pancingnya ditemukan di sana. Di Pulau Qura, terdapat batu bekas orang duduk, konon katanya dijadikan tempat sunat pertama.
Saat tinggal di sana, di tahun 1990-an pernah kejadian kapal pengangkut beras asal Sinjai bocor di sekitar pulau Qura’. Kapal itu mengangkut beras. Jadilah beras itu terendam dan air laut seketika menjadi putih. Lima orang anak buah kapal (ABK) berkunjung ke rumah Haji Lawang, untuk membeli perbekalan. Dihidangkanlah pisang goreng ke pemuda pemuda itu. Ketika hendak Kembali ke kapal, ABK itu hendak membayar, tapi Haji Lawang menolak untuk dibayar pisang goreng tersebut. Seorang ABK pun menyodorkan uang itu anak Haji Lawang. Diketahuilah kapal mereka bocor terhantam batu karang.
Akhirnya, Haji Lawang berinisiatif untuk mengajak orang-orang satu kampung untuk menolong mereka. Kata Haji Lawang ke para jemaat di masjid, “Perahu yang ada di pantai ini, kira-kira pa yang dapat kita bantu mereka? Punya beras, mereka punya, bantu uang, kita tak punya, kalau tenaga kita ada,” ujar Haji Lawang. Maka, bahu membahulah mereka membantu mengosongkan isi kapal tersebut dengan menggunakan ember, skop, tali, mengangkut pelan-pelan beras ke daratan agar perahu itu dapat mengapung dan diperbaiki segera. Orang-orang Bugis ini sangat bersyukur, mereka pun menyumbangkan sesuatu ke kas masjid, lalu kembali ke kampungnya.
Penghuni awal Baranusa sendiri ada banyak, ada yang berasal dari Kerajaan Ilu dan Sigang, dan ada yang datang dari Musawala, tapi keturunan aslinya sudah tidak ada. Cerita Baranusa tidak lepas dari cerita Watang Lema atau lima raja pantai Alor Pantar. Menurut Haji Lawang, asal mula Baranusa dari Baramaolang, salah satu dari pandawa lima Kerajaan atau Galiau Watang Lema, yaitu Kui dan Bungabali di Pulau Alor, serta Blagar, Pandai dan Baranusa di Pulau Pantar. Pendiri lima Kerajaan itu diyakini berasal dari 5 putra Mau Wolang dari Majapahit dan mereka dibesarkan di Pandai.
Sebelumnya, Kerajaan Baranusa bertempat di Waiwagang, sebuah daerah yang berdekatan dengan Pandai. Dahulu, Waiwagang bersekutu dengan Pandai untuk menaklukkan salah satu Kerajaan terbesar di Alor, yaitu Munaseli. Munaseli sendiri sebelumnya punya hubungan baik dengan majapahit. Karena itu, konon katanya satu datasemen tentara Majapahit datang ke Munaseli untuk membantu mengalahkan Pandai, tapi yang ditemukan hanya puing-puing, penduduknya sudah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor. Tentara ini pun memutuskan untuk tinggal saja di Munaseli, yang saat ini diyakini orang-orang Munaseli banyak merupakan keturunan Majapahit.
Haji Lawang punya cerita menarik tentang Munaseli. Suatu ketika, seorang nelayan menemukan makanan di bawah pohon beringin. Berikutnya juga begitu. Kali ketiga ia penasaran dan bersembunyi di balik pohon. Tiba-tiba dia mendengar sentuhan piring dan sendok, tersingkaplah seorang Perempuan cantik sedang menyajikan makanan. Bertanyalah nelayan itu, namamu siapa? Siapa ibu dan Bapakmu? Perempuan itu bilang tak punya ibu dan bapak. Nelayan itu mengancam akan bunuh diri jika tak menyebutkan. Jujurlah perempuan itu, bapaknya adalah Larra yang berarti matahari, dan ibunya adalah Wulang yang berarti bulan. Menurut Haji Lawang, Wulang itu berasal dari Lamalera Lembata atau di Sorro Watang Lema, Flores. Dari sini mungkin bisa ditarik hubungan antara Alor-Pantar dan Solor-Flores.
Nelayan dan Perempuan itu pun berdiam di bawah pohon itu, hingga perempuan itu hamil. Diketahui nama Perempuan itu adalah Wauno Sere (Bintang tujuh), yang juga jelmaan burung elang. Nelayan itu sendiri adalah jelmaan kiai, yang saat itu disebut Akiai. Wauno Sere sendiri diyakitini adalah putri Kerajaan Majapahit, jelmaan burung elang itu melahirkan lima putra dan dua putri. Lima putra itu, Baramawolang mendirikan Baranusa, Daimaolang mendirikan Pandai, Tulimaolang mendirikan Blagar, Maorebong mendirikan Kerajaan Kui, kemudian Teditumawolang ada yang bilang di Solor, namun menghilang tidak ada yang tahu.
Kedua putrinya yaitu Mone dan Ati. Haji Lawang mulai menerawang. Cerita ini sambung menyambung. Tentang benar tidaknya tak perlu kita risaukan. Tentang lompatan cerita dan rentang waktunya pun tak perlu kita pusingkan. Toh ini adalah legenda, kisah-kisah yang hidup dalam kepala banyak orang.
Sewaktu suami mereka terbunuh saat perang besar, mereka berada di Pandai. Mereka pun disuguhkan buah sirih. Namun, pembungkus buah siri itu mereka kenali. Pembungkus buah sirih itu seperti kulit ikan buntal, tebal dan berduri. Mereka pun mengetahui kalau itu adalah kulit buah pelir suami mereka, yang memang kebal, dan jika dipotong bulu-bulunya tegak. Mereka pun tidak memakan sirih itu, dan pulang, lalu lari dari Pandai, dan akhirnya tiba di salah satu pulau di Maluku. Maka dinamakanlah pulau itu sebagai Pulau Kei, berasal dari nama Mona Ati Kei. “jadi kalau Jhon Kei begitu hebat, tidak salah itu,” kata Haji Lawang.
Cerita bergulir, sewaktu meninggalkan Munaseli, mereka pergi membawa kunci peti, yang dibawa lari hingga ke Kei. Sambung cerita, sekitar tiga tahun lalu datanglah tiga Perempuan yang hendak meneliti hubungan antar Majapahit dan Munaseli, judulnya Menikam Jejak Majapahit. Kebetulan, Baranusa sendiri dulu juga sempat diserang oleh orang-orang gunung, dan harta-harta banyak dibuang ke laut, hanya kunci saja yang dibawa. Karena itulah Perempuan-perempuan itu melakukan wawancara dengannya serta dengan tokoh adat Baranusa mengenai sejarah majapahit di Pantar.
Memang, ada kesamaan dari segi bahasa antara Majapahit dan Baranusa, misalnya asu (anjing), manu (ayam), wae (air), tapi barang bukti tidak ada. Maka dianjurkanlah mereka ke Pantar Timur, ke rumah ada Lakatuli. Sampai di sana, mereka diajak masuk ke rumah raja Sirambabu, di sana ada pusaka, berupa peti besi yang tergembok. Kebetulan penjaga rumah sedang berada dikebun. Kemudian, peneliti itu sontak saja memegang gembok tersebut.
“Perempuan itu mundur karena takut. Datang penjaga peti lalu mereka wawancara. Peti itu isinya apa? Isinya kami tidak tahu, karena dari dulu tidak pernah dibuka. Gembok itu tidak ada kuncinya,” kata Haji Lawang mencoba menirukan. Lalu peneliti itu kembali memegang gembok, peti pun terbuka. Peti itu berisi emas, pisau dan rantai-rantai. Itulah harta kerajaan yang kuncinya dibawa hingga ke Pulau Kei. Barulah penjaga rumah itu bilang, kalau peti ini bisa terbuka jika dipegang oleh pemilik atau keturunan langsung pemilik.
Haji Lawang tak habis cerita, yang memisahkan kita hanya batas waktu, hingga tiba dibagian Pulau Lapang dan Batang. Hingga kini, warga Baranusa masih menerapkan prosesi adat Hading dan Hoba Mulung. Seperti sasi di Maluku, Kawasan laut yang ditandai tidak boleh dilakukan pengambilan hasil laut, karena akan berdampak tuah atau kutukan. “Suku yang dapat membuka amornya itu adalah suku Sandiata. Mereka punya ikatan keluarga di laut, yaitu dengan buaya laut. Ceritanya, leluhur Suku Sandiata dulunya berasal dari Pulau Lapang dan Pulau Batang yang dulunya bersambung, yaitu suku Krokopukong,” cerita Haji Lawang.
Ceritanya Pulau Lapang Batang ini dahulu kala, lama sekali, terserang tsunami, menyebabkan pulau ini banjir dan tenggelam. Sekarang terpisah menjadi dua dan tak berpenghuni, yaitu Pulau Lapang dan Pulau Batang. Saat ini Pulau Lapang menjadi tempat sementara para pembudidaya rumput laut, sebab mereka membudidayakan rumput laut di perairan pulau Lapang.
“Konon, anak-anak kalau bermain sering hilang. Terus mereka telusuri, akhirnya ditemukan dalam pohon besar itu, ditemukan naga (ular besar). Mereka sepakat untuk membakar pohon ular tersebut. Akhirnya pulau itu dihantam air bah,” kata Haji Lawang. Penghuninya banyak yang lari ke Lembata, Sebagian ke Baranusa. Lembata sendiri, kata Syamsudin Laara, sekretaris dewan adat Baranusa, berasal dari kata Lapang dan Batang.
Ketika banjir, orang-orang menyelematkan diri. Kisahnya ada kemiripan dengan kisah Loth dan istrinya. Loth bilang kepada istrinya jangan balik ke belakang, menjauhlah dari kampung, kalau melihat lagi kampung Sodom itu, tubuh menjadi luruh seperti kapur. Dalam kisah Sandiata, orang-orang yang balik ke belakang menjadi buaya. Mereka pun meyakini buaya-buaya itu masih menghuni perairan Baranusa.
“Saat pemberian kurban kambing dalam prosesi adat Hading Mulung pada titik batas di laut, kambing itu langsung hilang diterkam buaya,” ujar Kadir, anggota dewan adat Baranusa yang saya temui sehari sebelumnya.
Haji Lawang kembali menjelaskan, “Jika ada hajatan, mereka biasa ikut naik. Kalau kita lego-lego, mereka ikut menari. Cuma biasa suaranya kecil. Jika misalnya pada suatu pesta, wajah salah satu penduduk terlihat dimana-mana, berarti mahluk itu ikut pesta,” kata Haji Lawang.
Namun, kedatangan mereka sudah sangat jarang. Sebab pernah suatu ketika, buaya naik ke darat dan mengubah wujud jadi manusia. Namun, setelah kembali hendak ke laut, ada orang yang mengambil dan membakar pakaiannya. Ini ada kemiripan dengan penjelasan Sudarmiyanto tentang Orang Hari di Alor Kecil, dari Suku Manglolong yang berwujud ikan merah di laut. Jika ada pesta, orang Hari (orang laut) naik ke darat. Saat itu salah satu dari mereka menitipkan anaknya untuk dijaga, hanya saja meminta untuk tidak membuka sarung pembungkus bayi. Hanya saja, bayi itu menangis dan memancing orang itu membukanya, ia menemukan seekor ikan. Orang itu membakar ikan tersebut. Murkalah Orang Hari. Mereka pun jadi malas untuk ikut pesta.
Haji Lawang bercerita banyak sekali, bukan hanya tentang cerita rakyat, tapi juga kisah pribadinya sendiri. Sayang saja, pada hari Selasa, 31 Oktober itu, setelah ngobrol panjang di Kantor Desa, kemudian lanjut lagi di kediamannya pada malam hari, sembari minum teh dan mengunyah kripik, kami pun berpisah. Pertemuan seharian itu begitu bermakna. Lantaran pikiran saya diasuh oleh kisah-kisah epik Baranusa, serta kampung-kampung Alor-Pantar. Cerita-cerita tentu punya nilai penting dan menjadi pemandu moral orang-orang Alor, seperti apa mereka bersikap, berprilaku, dan juga berfikir.
0 komentar:
Posting Komentar