semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bercakap-cakap dengan Donna, Mengunjungi Takpala

 

Siang itu, Jumat, 5 Januari 2024 memang berkata lain. ketika hendak keluar untuk makan siang, saya melihat seorang turis berjalan kaki menuruni tanjakan dekat kantor. Tak ayal, dia seorang tamu homestay yang hampir setiap hari saya lihat duduk-duduk di depan kamarnya membaca buku catatan. Saya pun meminggirkan motor dan memberanikan diri untuk menyapanya.
 
Ternyata dia juga hendak makan siang, duduk lah ia ke jok motor dan kami sama-sama ke rumah padang Sakato. Ini merupakan pengalaman baru bagi saya, mengantar turis ke tempat makan, habis itu saya mencoba ngobrol sebisanya. Saya menjelaskan tentang inti pekerjaan saya di Kabupaten Alor, seperti bekerja bersama nelayan dan pembudidaya rumput laut di bawah naungan sebuah organisasi konservasi perairan.
 
Akhirnya kami berkenalan, namanya Donna, asal Kanada. Sudah empat bulan ia di Alor berkeliling, ia cukup lama di Kolana, katanya ia sudah bertemu Baparaja. Selain itu, ia senang bersnorkling, seperti yang pernah ia lakukan di Pulau Kepa. Ternyata, suaminya yang saat itu entah kemana, sudah melanglang buana keliling Alor. Sang Suami yang bernama Stu, sejak 2014 bolak-balik ke Alor. Katanya, sang suami berminat dengan tema pertanian dan perkebunan.
 
Saya bertanya, kemana saja selama di homestay cantik. Dia bilang, saya tidak berbuat apa-apa, hanya menyendiri dan sedang belajar bahasa Indonesia. Oh, kalau begitu, bagaimana kalau saya ajak ke suatu tempat yang mungkin kamu suka, namanya Takpala. Sekalian saya belajar bahasa inggris dengan Donna. Itu kataku tentu dengan percakapan berbahasa Inggris, hehehe..
 
Jadilah kami ke Takpala, sekitar 30 menit perjalanan. Dalam perjalanan kami bercakap dengan beragam tema, mulai dari tema bahasa. Katanya, bahasa Inggrisku cukup baik, dibandingkan katanya orang-orang yang mengaku bisa bahasa Inggris yang telah ia temui di Alor. Wah, barusan ada yang memuji bahasa Inggrisku yang kacau begini. Dia bilang, jangan malu, harus terus dipraktikkan itu bahasa. Saya setuju, sepertinya sejauh ini saya cukup malu mempraktikkan penggunaan bahasa Inggris ini.
 
Kami pun mendiskusikan tentang bahasa-bahasa Lokal. Kita sepakat, terdapat lebih dari 40 bahasa lokal di Alor dan itu suatu berkat. Hanya saja, kami menyimpulkan secara bersama kekhawatiran jika suatu saat nanti satu persatu bahasa kehabisan penutur. Saya bilang, satu bahasa adalah satu jiwa, satu filosofi, satu kekayaan. Saat ini banyak bahasa kehilangan penutur, beruntung bahasa ibuku, bahasa Bugis, sudah tersedia kamus Bahasa Bugis, yang disusun oleh Douglas Laskowske, yang punya sapaan Bugis Makkuraga, yang artinya pekerja keras. Dauglas masih sangat muda, tapi hasil karyanya ini tak ternilai bagi orang Bugis, apalagi generasi muda yang sudah mulai tercerabut dari para tetua-tetua yang betul-betul paham maksud dari suatu bahasa.
 
Saya bilang sepertinya perlu banyak peneliti bahasa lagi yang ke Alor yang jika perlu juga membuat kamus bahasa Alor yang jumlahnya banyak itu. Kemudian, kampus Universitas Tribuana Kalabahi perlu menambah departemennya dengan studi budaya dan bahasa-bahasa lokal. Donna menanggapi, di Kanada sudah tak terdengar lagi bahasa lokal, semua menggunakan bahasa Inggris. Kemudian, latar belakang orang Kanada umumnya adalah imigran, Donna sendiri bapaknya keturunan Belanda, sedangkan mamanya keturunan Jerman. Di Kanada katanya sudah sangat modern, tidak ditemukan lagi kehidupan tradisional seperti yang ia saksikan di Alor ini. Kemudian, yang betul-betul membedakan, di Indonesia dan Alor ini dipenuhi oleh cahaya matahari, di sana katanya rumah-rumah harus terdapat pemanas ruangan.
 
Sampailah kami di Kampung Adat Takpala, langsung saja kami disambut oleh Bapak Martinus, tokoh Adat Takpala. Kami di ajak naik ke rumah panggung. Istrinya pun membuatkan kami kopi hitam, gulanya dipisahkan dalam gelas kecil.
 
Martin pun bercerita, kalau di Takpala terancam gagal panen. Hujan tidak turun-turun. Padahal, baru saja hujan turun di Kalabahi, tapi tak ada awan gelap di bukit Takpala, yang terletak di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara tersebut. Tanaman jagung sudah disiapkan sejak Desember 2023, namun, tumbuhan jagung ini jika ingin menghasilkan buah yang bagus, harus selalu diairi oleh air hujan. Sayangnya, hujan datang terlambat, yang biasanya hujan sudah mulai pada pertengahan atau sepuluh hari sebelum akhir tahun, kini sepertinya baru mulai di 6 Januari 2024. Jadi, tanaman jagung Takpala, begitu juga daerah-daerah pegunungan yang lain, maupun lahan-lahan di pesisir bakalan gagal panen, dan itu berdampak pada ancaman kelaparan warga Alor.
 
“Saya bermimpi sedang menanak, tapi saya lihat isinya bukan air, tapi kotoran,” ujar Martin. Kemudian dia juga bermimpi memimpin orang Takpala dalam pencarian air. Mimpi ini barangkali bentuk kekhawatiran Martin terhadap situasi saat ini.
 
Saya berharap tidak sedramatis mimpinya itu, semoga di tempat-tempat lain jagung bisa tumbuh dengan baik, walaupun berjuang cukup keras menghadapi kesalahan waktu tanam, pembacaan musim yang keliru, atau mungkin memang saat ini hujan ataupun disebut iklim kian sulit diramal? Ya, perubahan iklim sudah terpampang nyata. Lebih terlihat untuk pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini. Seperti yang digambarkan oleh Melkior Koli Baran, dalam bukunya Ura Timu: Etnografi Iklim Mikro Flores, ‘arus si bocah lelaki’ atau ‘corriente del nino’ semakin panjang, sehingga waktu mempengaruhi waktu perhitungan bercocok tanam para petani.
 
Betul, Martinus juga menyebut El nino ini. Saya juga agak terkejut, mungkin Donna juga. Sebab, Martin, yang tinggal digunung ini begitu fasih menyebut El Nino.
 
Lanjutlah kami membicarakan tentang strategi agar dapat mengatasi situasi ini, “Waktu bercocok tanam sudah lewat, kalau pun ditanam kembali karena ini sudah mulai hujan, buahnya tak akan berkembang dengan baik,” kata Martin. Jadi seperti apa? Apalagi melihat beberapa daerah di bagian timur pulau Alor sebenarnya punya potensi besar untuk pertanian dan Perkebunan, sebutlah Lantoka, di sana penduduk mengolah lahan persawahan. Hanya saja Martin bilang, masih sangat kurang penyuluh ke sana. “Sebaiknya harus bertahap, 2-3 tahun pertama ujicoba dulu oleh orang-orang berpendidikan untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan, tahun-tahun berikutnya baru pengembangan, jika sudah menunjukkan hasil,” jelas Martin. “Jangan langsung mau lihat hasil,” tambahnya lagi.
 
Kita pun berharap, pemimpin yang baru nanti, baik bupati dan anggota DPR Alor yang baru dapat memperhatikan perkembangan pertanian dan perkebunan ini. Masyarakat Alor umumnya adalah masyarakat petani/pekebun yang mungkin sebagiannya masih subsisten atau pendapatan hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini sudah berlangsung cukup lama, jauh pada abad-abad sebelumnya pula, adalah masyarakat subsisten. Sehingga, untuk perkembangan masyarakat secara akumulatif membutuhkan waktu, pertama untuk pengembangan modal masing-masing keluarga, yang berdampak pada pengembangan pendidikan, alternatif usaha dan perluasan usaha, dan pengembangan strategi kebudayaan. 
 
Hebatnya, meski hidup dalam serba keterbatasan, misalnya di kampung Takpala ini belum teraliri listrik, air masih bergantung oleh hujan, dan mereka pun membeli air tangka, atau mereka turun naik bukit untuk mengangkut air, mereka masih dapat terseyum. Begitulah cara nenek moyang hidup, mereka menerima kenyataan. Meski begitu, kita tak boleh tutup mata oleh keterbatasan-keterbatasan itu. Harus ada tindakan yang jelas dan terukur untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Takpala maupun warga Suku Abui yang berarti masyarakat yang tinggal di Gunung Besar. Pariwisata? Okelah, tapi juga tidak melupakan dasar-dasar hidup mereka, yaitu bercocok tanam.
 
Donna pun sibuk bercakap dengan perempuan penduduk setempat. Sepertinya dia sedang belajar bahasa Indonesia.
 
Lama berbincang, Saya tertarik untuk mengenakan pakaian adat Takpala yang tak lain pakaian adat Suku Abui. Saya pun mengajak Donna untuk mengenakan kostum lokal, dia pun tertarik. Jadilah saya berfose a la pasukan perang Suku Abui, memanggul parang dan anak panah, mengenakan sarung bermotif kenari, dan tangan kiri memegang busur panah, pada bagian kepala dipasangkan mahkota bulu ayam dan kain ikat.
 
Kami sangat menikmati adegan foto-foto ini, ya sesekali merasakan sensasi menjadi pasukan Alor yang siap berperang, dengan era yang lain, saatnya menjadi panglima untuk melawan kebodohan, dan juga melawan ketidakadilan. 
 
Besoknya, Sabtu, 6 Januari 2024, sore hari saya dipertemukan dengan Stu, suami Donna. Rambutnya gondrong berwarna perak. Ia bisa bahasa Indonesia, katanya, di kantor mu ada peta? Saya bilang ada. Di kantor-kantor lain tidak ada peta. Itu salah satu bentuk sindirannya terhadap pemerintah Alor.. 
 
Sebelum berpisah dengan Donna, yang saat itu meninggalkan homestay cantik, saya memberinya buku Gerundelan Peristiwa 2, "Untuk belajar bahasa Indonesia," kataku. Dia senang sekali.
 
Kami pun berpisah, sampai jumpa Donna dan Stu.. 
 
 





0 komentar:

Bercakap-cakap dengan Donna, Mengunjungi Takpala