Di aula Kopdit Citra Hidup, pukul 09.00 wita, hari Rabu, 7 Februari 2024 itu, saya masuk ruangan. Belum banyak orang. Tak beberapa detik saya duduk di pojok, saya sudah diajak ngobrol berdiri oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Alor. Banyak tema kami bicara. Sambil saya menatap bola matanya yang besar, membuat saya agak pusing.
Tak disangka sudah ada banyak orang, Pak Kadis memperlihatkan kursi saya di ujung sana, di mejanya terdapat lipatan kertas bertuliskan ‘LSM’ berdampingan dengan ‘Tokoh Masyarakat’. Saya melihat di sana sudah ada bapak tua berkacamata duduk, tampak menunduk. Saya lalu duduk di sampingnya. Ia serius membaca buletin rohani. Saya membuatnya sedikit terkaget, lalu memperkenalkan diri sebagai orang yang bekerja di bidang konservasi perairan.
Namanya Mias Blegur, umur 64 tahun. Badan masih bugar. Katanya saban subuh ia menyempatkan diri berolahraga. Saya bilang, saya sudah 1 tahun 3 bulan di Alor, asal Makassar. Lalu ia mulai berangkat cerita.
“Orang Kristen dan Islam itu bukan seperti telapak tangan yang menempel seperti ini, tapi yang saling mengait. Coba lepas, yang saling mengait, susah kan?” katanya. Persatuan Islam dan Kristen di Alor boleh dibilang kokoh, bukan sekadar kuat. Kokoh dalam artian tidak dapat digoyang, tak dapat dirubuhkan.
Ia mencontohkan harmonisnya Kristen dan Islam di Kabir, Pantar. Orang Muslim turut membantu pembangunan gereja begitu halnya orang Kristen membantu pendirian mesjid. Bahkan, ada komunitas Islam yang memberikan tanahnya untuk dibangunkan gereja, begitu juga komunitas Kristen yang melapangkan tanahnya untuk pembangunan mesjid.
“Orang Alor kalau menikah beda agama itu istri harus ikut suami, jadi kalau suami Islam, Istri yang Kristen harus masuk Islam, begitu halnya dengan suami Kristen, Istri yang sebelumnya Islam harus masuk Kristen,” kata Mias. Jadi, tak ada istilah nikah beda agama di Kabupaten Alor. Karena itu, jangan heran jika nama muslim, ternyata orang Kristen. “Misal nama Saifuddin, itu orang Kristen,” lanjut Mias. Saya pun bilang, saya juga ada kenal orang yang bernama Hasan, ternyata Kristen.
Begitu halnya ketika mereka memiliki anak, biasanya keluarga Alor memberi nama bayi laki-laki dari nama kakeknya, biasanya ayah dan ibunya ingin memasukkan masing-masing nama ayah mereka, jadilah gabungan antara nama Islam dan Kristen di tambah nama fam, misalnya Hasan Marten Blegur.
Dia tahu saya orang Makassar, jadi dia menjelaskan tentang pandangannya tentang orang Makassar. “Orang Makassar itu terkenal pekerja keras, dulu waktu saya camat Orang Makassar selalu minta bantu pembelian tanah di Kalabahi. Orang Makassar beli tanah tidak tawar-tawar, misalnya harga Rp. 70.000/meter, mereka bilang, sudah Pak Camat, Rp. 100 ribu saja,” jelas Mias.
Mias membanggakan sikap orang Alor terhadap tamu. Ia pun mengambil kertas, dia gambarkan dua kotak yang terhubung, pada depan kotak pertama dia gambarkan ombak yang merupakan laut. katanya, ketika orang luar datang, pertama ia berhadapan dulu dengan orang pantai (Muslim), lalu dia dikasih makan jagung, beras dan ubi. Kalau pendatang itu naik lagi ke atas, dia lalu berhadapan dengan orang gunung (Kristen), orang gunung pun tak membiarkan mereka kelaparan, dan menyajikan jagung, ubi kenari, dan mente. “Tak boleh ada pendatang yang kelaparan,” kata Mias.
Tentang penghargaan terhadap pendatang ini juga saya rasakan betul. Selama tinggal di Alor, belum pernah saya mendapat perlakuan diskriminatif, hampir semua orang yang saya temui, bahkan untuk pertama kali selalu dengan senyuman ataupun sapaan. Kata Mias, “Saya pernah bilang, kita harus jaga pendatang, coba bayangkan anak-anak kita ada di Sulawesi, di Jawa, kalau kita kasar dengan pendatang, nanti orang lain juga mengasari anak kita”. Jadi pendatang harus dihormati baik-baik.
Mias Blegur tidak sekadar ngomong soal hubungan Islam Kristen, ternyata dia mengaku pernah mengikuti praktik hidup warga Muhammadiyah. “Minta maaf ya, kami di Muhammadiyah sangat memegang prinsip, kalau subuh harus bangun Sholat, begitu juga saat sebelum tidur, tidak boleh melupakan sholat,” ungkapnya. Saya tanya ke dia, “Bapa Mias juga sholat?” Pasti itu, karena begitulah aturannya.
Mias sewaktu sekolah tinggal bersama pamannya yang beragama Islam dan warga Muhammadiyah, salah satu ormas muslim besar di Indonesia. Dia meyakini pandangan Muhammadiyah, misalnya tentang penetapan hari lebaran. “Kalau pemerintah hanya melihat bulan, kalau Muhammadiyah itu tiga yang dilihat, yaitu bulan, pasang surut air laut, dan kokok ayam, jadi harus ketiganya,” jelas Mias. Saya pun menimpali, kalau Muslim di Alor Besar dan Alor Kecil juga menentukan jadwal idul fitri dengan melihat pasang surut air laut.
Awalnya saya berfikir Muhammadiyah yang dimaksud ini adalah Kristen Muhammadiyah, seperti yang terdengar kabar terdapat di daratan Flores, ternyata bagi Mias, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi, tapi juga praktik hidup, yang turut ia lakoni, walaupun ia sebagai penganut Kristen yang taat. “Kepercayaan saya terhadap Yesus adalah harga mati, itu taruhannya nyawa”.
Kami berbincang sembari menunggu pembukaan FGD Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Alor hingga 2045. Ketika pembukaan berlangsung dan terdapat materi dari pusat, kami kompak menanyakan, apakah memungkinkan isu laut kembali dilirik, walaupun kewenangan pengurusan laut masih dalam wewenang Provinsi NTT. Hanya saja, jawaban fasilitator dan juga pemateri dari pusat kalau itu di luar wewenang kabupaten Alor, tapi memungkinkan untuk komunikasi secara langsung dengan Provinsi NTT.
Saya pun berbisik ke Mias Blegur, “Kita sudah membelakangi laut, Pak”. Mias Blegur merasa terganggu dengan istilah membelakangi laut, saya berbisik lagi, “itu istilah dari Hilmar Farid, Pak, Dirjen Kebudayaan”. Saya lanjut bilang, Orang Alor jadi tidak memikirkan laut hingga 20 tahun ke depan.
Tiba-tiba Bapa Mias mengingat siaran wawancara wartawan Indosiar kepada salah satu orang yang panjang umur di Jawa. Umur bapa itu sudah melampaui 100 tahun. “Saat ditanya berapa umurnya? Orang itu mengaku tidak tahu dan tidak pernah menghitung apalagi memikirkan itu. Orang tua itu justru heran, karena yang tahu umurnya justru si wartawan itu. “Rahasia umur panjang ternyata jangan terlalu berfikir,” kata Mias Blegur. Ternyata sederhana, orang tua itu setelah wawancara kembali memberi makan itik-itiknya. Saya pun kembali berbisik tetang pernyataan seorang filsuf, “Lupakan masa lalu, bakar masa depan, hidup sekarang! Nietzche”.
Bapa Mias bilang, kata bakar masa depan itu dahsyat. Bapa Mias pun menuliskan kalimat itu dalam buku kecil miliknya. Ternyata dalam buku itu telah tersusun kalimat-kalimat otentik, yang sepertinya ia temukan dalam hidup. Dan kalimat dari Nietzche ini menambah salah satu koleksi kalimatnya.
Ia pun bercerita tentang tempat-tempat gaib di Alor, salah satunya di pegunungan Koya-Koya, Desa Lantoka, Alor Timur. Mias Blegur sempat tanya berapa umur saya, saya bilang 37, oh itu belum cukup. “Kalau sudah 40 saya bisa ajak kamu untuk ke dunia gaib,” katanya. Kalau belum sampai 40, mental belum kuat, nanti tidak kembali. Haduh, bahaya juga jika tidak kembali.
Kami pun berpisah setelah acara selesai. Bapa Mias bukan tokoh sembarangan, ia pernah menjabat Camat Teluk Mutiara, terus menjadi Kepala Dinas Koperasi, pernah juga ia jadi pejabat di Bapelitbang. Dia sempat menunjuk beberapa bekas anak buahnya yang hadir juga pada acara itu. Seru juga diskusi dengan Bapa Mias di hari-hari begini, di tengah suasana gerah oleh Pilpres, mendengar cerita Mias, seperti hembusan angin pantai tiba-tiba yang menghempas wajah.
Sehat-sehat selalu Pak Mias Blegur, betul kesimpulan kita, jangan terlalu banyak berfikir, hiduplah sekarang. Saya bilang ke Bapa Mias, Makassar adalah masa lalu, masa depan tak tahu, tapi sekarang saya di Alor. Karena itu, saya harus membangun Alor, sekarang. Mias Blegur terkekeh..
10 Februari 2024
0 komentar:
Posting Komentar