semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kampung Tameming dan Umar Bara

 

Kami datang ke Kampung Tameming, Kalabahi Barat pada Minggu, 14 Januari 2024, untuk berdialog dengan nelayan setempat terkait aktivitas penangkapan ikan layang atau belo-belo.
 
Setiba di sana, kami langsung ke pantai untuk melihat suasana dan jika beruntung dapat melihat aktivitas nelayan Tamimeng. Dewi fortuna memihak kami, baru saja kapal mendarat dan ikan-ikan di hambur di hamparan tanah berbatu. Tampak anak-anak dan remaja menonton ikan-ikan itu, yang masih segar dan basah oleh air laut. Seorang anak menutupi kepalanya dengan ember. Mungkin ia adalah anak seorang nelayan yang baru pulang itu, sedang bersiap untuk mengangkut jatah pembagian ikan milik bapaknya.
 
Para nelayan sudah berkumpul di sebuah halaman tanah, berada di antara rumah dan jalanan, terdapat sebuah pohon yang membuat halaman itu menjadi lebih rindang. Kegiatan pun dimulai, saya menyapa para nelayan yang raut wajahnya seperti memantulkan cahaya. Teringat saya kalau kampung ini dibangun oleh salah satu tokoh pergerakan Islam pada masa-masa revolusi, yaitu Umar Bara. Saya sebut saja, bahwa beruntung saya bisa mendatangi kampung tempat Umar Bara menyebarkan agama Islam ini. Hal ini ditanggapi oleh Suharman, kepala Rukun Warga (RW) Kampung Tameming, kalau Umar Bara memang datang mengajarkan Islam dari Dulolong, membangun masjid yang bernama Mesjid Nurul Mujahiddin Tameming, tapi di sini sudah ada orang-orang tua asli, yang akhirnya mereka mengangkat Umar Bara sebagai pemimpin kampung dan pemimpin agama.
 
Dialog pun berlangsung dengan tema perikanan Tameming. Seorang nelayan mengangkat suara, “kegiatan perikanan di sini masih tradisional, kami menangkap ikan di laut-perairan sekitar sini saja, menggunakan kapal mesin tempel dengan alat tangkap jaring lingkar (jala lompo). Kami pun juga terkendala pasar karena pasar ikan hanya terpusat di Kalabahi. Lalu, pada perairan tempat kami mencari ikan juga terdapat budidaya kerang Mutiara yang mengambil ruang laut dan membatasi ruang penangkapan ikan nelayan Tameming,” ungkap Dahlan Azis.
 
Kami pun menanyakan cara mereka menangkap ikan, ternyata mereka juga menggunakan alat tangkap Jala Lompo atau dalam bahasa Indonesia disebut payang atau pukat kantong. Alat tangkap ikan yang sama dengan yang digunakan oleh nelayan Pantai Kokar yang biasa saya datangi di Kabupaten Alor. Seorang nelayan inisiatif untuk menggambar pada kertas plano teknik mereka menangkap ikan. “Pertama tangan (sayap) jaring dilepas berputar setengah lingkaran, lalu dekat dengan pelampung/gabus dilepas saku (kantong), kemudian berputar lagi mengelilingi ikan dengan melepas tangan (sayap) jaring. Ikan kemudian dipancing masuk ke dalam kantong,” kata Suharman. Teknologi ini kata mereka diperkenalkan oleh orang Binongko dari etnis Buton. Memang, secara pengetahuan kultural, ada dua etnis yang memahami teknologi rumpon, yaitu etnis Buton dan Mandar. Jala lompo ini pun disebut di Tameming sebagai Jala Binongko.
 
Jala ini panjangnya sekitar 70 meter, pada bagian sayap memiliki lebar mata jaring 25 cm, kemudian mengecil menjadi 15 cm, dan semakin ke arah saku mengecil hingga setengah cm. Pada bagian saku mereka membelinya di toko, baik di Kalabahi maupun di Kupang. Pada bagian lain mereka merakit/menjahitnya sendiri. “Hampir semua nelayan di sini tahu menjahit jaring,” kata Dahlan.
 
Saya bertanya, jika di Kokar menggunakan rumpon (alat bantu penangkapan ikan yang memancing ikan berkumpul di bawah rumpon/rumpun daun kelapa dengan pelampung berupa bambu atau gabus), kenapa di sini tidak menggunakan rumpon? Mereka menjawab kalau mereka menangkap ikan di perairan tempat lalu lalang kapal, karena itu, mereka betul-betul melakukan pemburuan ikan dengan menyesuaikan pola kemunculan ikan. “Saat ini lagi musim ikan tongkol, biasa ikan main pada sore hari, jadi pada hari ini kita menangkap ikan sore hari jam 4 dan kembali jam 6 atau jam 7 malam,” kata Sahid, seorang nelayan yang sudah sepuh.
 
Betul, pada sore hari kami menyambangi mereka lagi, tepat pada pukul 16.00 wita mereka satu persatu melajukan kapal yang berukuran 6 meter, boleh dibilang kecil, dengan bantuan bambu pada kedua sisinya untuk membantu menyeimbangkan kapal saat melaju. Masing-masing kapal ditumpangi 7 orang, dengan tiap orang memiliki tugas, seperti penarik jaring di bagian sayap kanan dan kiri. Kemudian setiap kapal diikuti satu kapal sampan kecil, yang bertugas juga menarik jaring. Mereka menangkap ikan pada satu hingga dua mil, dapat mencapai perairan Dulolong hingga perairan Kalabahi.
 
Saya jadinya tidak ikut melaut lantaran tidak tersedianya kapal yang cukup. Karena itu saya berinisiatif untuk mengunjungi makam Umar Bara. Seorang pemuda lokal menemani saya ke makam tokoh besar itu. Tibalah saya di makam itu, saya menyentuh dinding makam dan membacakan Alfatiha, semoga beliau tenang di alam sana. Saya berdiam diri saja di sana beberapa saat, kemudian seorang ibu-ibu bilang kalau anaknya ada tak jauh dari makam itu, sedang duduk-duduk di bawah pohon.
 
Namanya Suparman Umar Bara, umur sudah 60-an, dia pensiunan tentara yang ternyata lebih 30 tahun bertugas di Sulawesi Selatan. “Saya bertugas di Sulawesi sewaktu jaman gerombolan (pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Pernah saya tinggal di Sambueja dan Konstrad Tanralili Maros,” katanya. Saya bertanya tentang Umar Bara, “Bapak saya dulu berguru di belakang Bandara Sultan Hasanuddin (bandara lama). Hanya saja ketika diakhir-akhir hidupnya. Ilmunya itu sudah dia buang dan lebih mendalami ilmu agama,” ungkap Suparman.
 
Memang, Umar Bara dikenal masyarakat Alor memiliki kesaktian. Suparman bilang dulu waktu rapat Open Bar partai PSI di Makassar, terjadi perdebatan yang hangat antar pengurus, tiba-tiba Umar Bara menepuk meja, dan benda-benda di atas meja naik ke atas dan melayang. Saat itu orang mulai mengakui kesaktiannya. Tentang kesaktian Umar Bara ini, saya sudah mendengar dari beberapa orang, pertama dari Fajrian, ketua Pemuda Ansor Kabupaten Alor yang juga asal Dulolong. “Waktu itu Umar Bara dan kawan-kawan revolusionernya diminta ke Kalabahi dari Dulolong untuk diintrogasi. Orang-orang sudah cukup takut karena kemungkinan bakalan dipenjara. Ternyata mereka hanya betul-betul diintrogoasi. Tapi saat pulang, songkok Umar Bara tertinggal di meja introgasi dan dia meminta songkok itu dikembalikan. Entah bagaimana songkok itu melengket di meja dan tak dapat lepas, jadilah songkok itu diangkut bersama mejanya hingga ke Dulolong,” ujar Fajrian.
 
Kata Beno, seorang warga Tameming yang saat ini sudah bermukim di Baranusa, kalau Umar Bara memiliki guru yang sama dengan Kahar Muzakkar. “Umar Bara juga sempat berguru dengan orang Turki,” sebutnya. Pernyataan ini saya dengar kembali dari Suharman, RW Tameming, “Umar Bara satu pemikiran dengan Kahar Muzakkar, jika Kahar punya ilmu tinggi, begitu juga Umar Bara,” katanya. Sepertinya, pandangan ini adalah pandangan umum di Tameming. Kahar Muzakkar pun dianggap manusia setengah dewa. Seperti kata seorang nelayan yang bernama Sahid. “Kahar Muzakkar itu tidak mati ditembak, tapi bersembunyi,” ujarnya. Terus, Kahar dan Umar punya kesamaan misi, yaitu penegakan syariat Islam.
 
Jika Kahar melawan tentara nasional dan membangun basis di gunung-gunung/pedalaman Sulawesi Selatan, Umar Bara lebih membangun basis di Tameming. Ia menjadi imam mesjid dan membuat aturan-aturan bagi warga Tamimeng. Saya sempat kaget mendengar penyataan nelayan kalau di kampung itu mereka dilarang untuk konsumsi alkohol, di samping dilarang bermain judi dan menyelenggarakan pesta joget. Tampaknya ini merupakan antithesis terhadap pendapat dekatnya gaya hidup nelayan dengan gaya pesta pora sebagai kompensasi kerasnya hidup melaut. Nelayan Tameming justru lebih tenang, lebih dapat mengendalikan diri, tampak bersahabat dengan orang-orang baru.
 
Ajaran-ajaran Umar Bara baik dalam bersikap maupun untuk taat beribadah terlihat masih melekat bagi warga Tameming, apalagi warga yang lebih dewasa. Saat itu, beberapa di antara mereka sedang membenahi atap mesjid Nurul Mujahidin Tameming, nelayan peserta pertemuan pagi itu juga siangnya bakalan ikut membantu membenahi atap mesjid itu.
 
Suparman Umar Bara, sang anak pun bilang, pada masa senja Umar Bara, menekankan pada anak cucunya untuk tidak melupakan tiga hal, Jangan melupakan sholat (ibadah), jangan lupakan kampung halaman, jangan lupakan keluarga (sanak saudara).
 
Siapa Umar Bara ini? Dia dikenal sebagai tokoh Partai Syarikat Islam Alor cabang Dulolong, yang dahulu bersama PSI cabang Baranusa mendorong kemerdekaan rakyat Indonesia dari penjajahan Belanda. Pada pertengahan 1920-an dia tergabung bersama para aktivis Timorsch Verbond untuk mengembangkan cabang Syarikat Islam di Alor, di bawah binaan seorang interniran dari Minangkabau, yaitu Datuk Batuah atau disebut Angko Pada, yang bernama asli Syech Abdul Khatib, mengembangkan ide-ide SI ‘merah’ di Alor. Dia dibuang oleh Belanda lantaran pemberontakan yang ia lakukan pada 1926 bersama ribuan kaum komunis. Saat tiba di Kalabahi pada 1927, ia mendidik beberapa pemuda, diantaranya Oetoeng Date (Untung Duarte) dan Ismail Djawa. Oetoeng Date pun memimpin rekan-rekan revolusionernya ini, diantara yang menonjol yaitu Haji Dasing, Lenso Nae Kemahi, Gleko-Gleko, dan Umar Bara (artikel Saidi Abdullah dengan judul: Sejarah Pergerakan, Api Revolusi dari Pulau Kecil di Timor). Mereka pun digembleng dengan dasar-dasar berfikir berupa ajaran Islam terkait jihad, politik, dan revolusi. Ilmu “Kumuniah” yang memadukan ajaran Islam (sosialisme Islam) dengan sosialisme-Marxisme.
Menjelang kedatangan Jepang ke Alor, Umar Bara sempat dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun, dengan tuduhan menghasut pemberontakan. Tapi, dengan jatuhnya Belanda, Umar Bara berhasil keluar tahanan bersamaan dengan datangnya Jepang.
 
Pun ujung pengembaraan Umar Bara dalam menegakkan nilai-nilai keislaman dan sosialisme itu bermuara di Tameming. Ia memilih menetap di kampung pesisir ini hingga ia meninggal pada 4 April 1975. Umar Bara memiliki empat orang Istri, dari istri pertama itu lahir anak kedua Suparman Umar Bara, dan juga terdapat anak yang saat ini melanjutkan menjadi imam Masjid Nurul Mujahidin yang didirikan pada 1963 itu, yaitu Sahlul Umar Bara. “Waktu itu, warga lokal memberi tanah kepada Umar Bara berdekatan dengan mesjid Mujahidin,” kata Sahid, nelayan Tameming. Tiba-tiba saya mengingat kata Paman Saidi, kalau terdapat juga Mesjid Mujahidin di Kalabahi, mesjid itu dibangun oleh Oetoeng Date, yang juga adalah keluarga dekatnya. “Jadi di Alor ini ada dua mesjid Mujahidin, kalau di Tameming ada tambahan di depannya dengan ‘Nurul’,” lanjut Sahid lagi.
 
Malam hari itu, saya menyaksikan kembali nelayan kembali melaut, ada kapal yang mendapat cukup banyak ikan dan ada kapal yang tidak memperoleh ikan. Kapal yang memperoleh ikan membagi-bagi tumpukan ikan itu secara merata berdasarkan jumlah nelayan yang ikut terlibat. Hal ini saya pikir cukup adil, karena para nelayan dapat segera memperoleh uang dengan menjual sendiri bagian ikan yang mereka peroleh. Saat kami hendak pulang, seorang nelayan membungkuskan tujuh ekor ikantongkol segar untuk kami bawa pulang.

Saat mengantar tamu pulang, saya menyetir mobil ke Kalabahi. Saat itu saya mengingat ucapan Pak Sahid sore harinya. Ia mendengar Umar Bara datang secara gaib kepada istrinya (istrinya juga sudah meninggal) tadi malam. Umar Bara bilang ke istrinya, siapkan makanan, besok ada tamu datang, siapkan lebih dari dua piring. Orang-orang pun bilang, tiba-tiba kalian datang hari ini.
 
Hemm.. Terimakasih Umar Bara, hidup tenang di alam sana….
 
 15 Januari 2024
 

 




0 komentar:

Kampung Tameming dan Umar Bara